Rabu, 31 Agustus 2011

Toraja Yang Berwawasan Budaya


Setiap unsur kebudayaan mengandung simbol yang sarat dengan makna denotasi dan pragmatis, yang saling berhubungan satu dengan lainnya dan dipraktikkan oleh unit sosial masyarakat tertentu dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Demikian halnya kebudayaan Toraja yang bersifat kompleks.
Kompleksitasnya itu ditandai dengan berbagai unsur seperti agama Alukta, upacara-upacara yang sarat makna, sistem pengetahuan, organisasi sosial, pertanian dan sebagainya. Simbol-simbol dari unsur kebudayaan masyarakat Toraja yang sarat dengan makna perlu untuk dikembangkan dan terus dipupuk sebagai perekat integrasi sosial masyarakat Toraja yang memiliki ciri dan keunikan dalam budayanya.
Kemajemukan masyarakat Toraja dapat dilihat adanya kelompok masyarakat di samping menganut falsafah Toraja, juga sudah menganut agama yang lain dari Alukta (agama leluhur). Kemajemukan pada tingkat ini semakin menjadi rumit oleh terdapatnya stratifikasi sosial tradisional yang cukup berpengaruh di beberapa tempat. Dengan demikian terdapat pula lapisan-lapisan budaya yang saling berinteraksi yang didukung oleh berbagai unit sosial masyarakat yang mempraktikkan budaya ini dengan maksud, rencana dan motivasi-motivasi tertentu. Hal inilah yang dapat menyebabkan konflik internal.
Di saat seperti inilah kembali dirindukannya sosok Lakipapa yang dapat mengembalikan dimensi ide dan cara berpikir masyarakat Toraja sebagai suatu entitas dan proses akal yang meliputi seluruh konsep, proposisi, sistem nilai yang dibagi bersama untuk masyarakat Toraja, dan bagaimana sikap-sikap dan cara menanganinya. Nilai-nilai tersebut yang bersifat abstrak perlu dieksternalisasikan ke dalam bentuk-bentuk budaya yang dicapai dan dimengerti oleh masyarakat Toraja pada umumnya. Hasil itu kemudian didistribusikan secara sosial dengan cara bagaimana makna budaya kolektif tersebut dan bentuk-bentuk eksternal yang sarat dengan makna tersebar di masyarakat luas dan bagaimana hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Sekiranya ini dapat terwujud, maka kemungkinan besar ditemukan masyarakat Toraja yang saling berinteraksi dan membentuk suatu identitas ke-Toraja-an. Suatu identitas yang dapat menunjang integrasi nasional.
Budaya Toraja yang berkembang dari Aluk Todolo-Alukta (agama dan kepercayaan) mengandung makna yang luar biasa. Misalnya dalam upacara kematian (death ritual) dan syukuran (life ritual). Meskipun sebagian masyarakat menganggap upacara tersebut memakan biaya yang begitu tinggi (mahal), jauh lebih rumit dan menakutkan, namun jika ditilik dari segi dampak, secara sosial ekonomis, memberikan sesuatu makna minimal semangat kebersamaan. Misalnya, membangun Lantang secara bersama-sama dan tidak digaji, cukup dengan menyiapkan makanan dengan lauk dan setelah upacara mereka diberikan atau dibagikan daging kerbau yang dipotong.
Banyak keluarga dan handai tolan dari keluarga yang berduka untuk meluangkan waktunya berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Ada yang datang dengan rombongan menunjukkan simpatinya membawa sumbangan baik berupa kerbau, babi, tuak, gula atau rokok. Rombongan-rombongan tersebut dijamu sebagai tamu kehormatan.
Memang, kegiatan ini memakan biaya yang begitu besar. Akan tetapi, jika dilihat dari segi makro yaitu dari sisi masyarakat secara keseluruhan, ternyata upacara tersebut memberikan sumbangan yang menguntungkan bagi perekonomian masyarakat Toraja, sebab secara teoritis, pengeluaran seseorang yang besar akan menjadi pendapatan bagi orang lain. Hal ini berarti jumlah pengeluaran bagi penyelenggara upacara, merupakan pendapatan yang besar bagi kelompok masyarakat lainnya. Di samping itu, juga menopang sektor pariwisata.
Dalam membangun masyarakat Toraja, perlu memperhatikan aspek budayanya. Sebab nilai-nilai luhur yang muncul dalam tatanan simbol, mengandung makna yang dapat menunjang integrasi sosial seperti nilai keagamaan, nilai kemasyarakatan dan nilai yang berkaitan dengan manusia Toraja sebagai pencipta karya.
Manusia Toraja baru menjadi manusia sebenarnya (Tau Tongen) apabila dalam kehidupannya ia mampu dan berhasil melaksanakan upacara kehidupan (aluk rampe matallo) dan upacara kematian (aluk rampe matampu) mulai dari pelaksanaan aluk yang paling rendah sampai ke aluk yang lebih tinggi (bua). Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa manusia Toraja adalah manusia yang religius.
Nilai tongkonan, misalnya menyimbolkan tentang pandangan orang Toraja tentang apa hakekat masyarakat di mana simbol ini lebih banyak berbicara mengenai hubungan sosial dalam masyarakat yaitu hubungan kekerabatan dan perkawinan, dan hubungan sosial lainnya baik secara horisontal maupun vertikal. Hubungan-hubungan tersebut dilandasi oleh tekad persatuan dan kesatuan, serta semangat kegotongroyongan. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan masyarakat Toraja, di antaranya sipadiong lisunna pala, sipolan se?ponna kalepak, setia sekata, saling menghormati, saling melindungi satu sama lain. Misa' kada dipotuo pantan kad dipomate, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Makna simbol tersebut dikaitkan dengan pembangunan masyarakat Toraja adalah pondasi yang sangat kuat, terutama keterpaduan antara agama dan masyarakat, bahwa dalam pandangan budaya Toraja, mustahil memikirkan masyarakat tanpa agama dan demikian pula sebaliknya.
Toraja dengan Tongkonannnya, merupakan suatu karya seni yang melambangkan bahwa manusia-manusia Toraja memiliki etos kerja. Tongkonan hanya dihasilkan oleh orang-orang yang mau bekerja keras, sebagaimana salah satu ciri orang Toraja yang ulet dan giat berusaha, etos kerja yang tinggi, inovatif kreatif, keharmonisan. Tongkonan mengandung makna keharmonisan di mana dalam berbagai aspek tergambar keharmonisan kosmos, ritus syukuran dan ritus kematian, hubungan sosial, semuanya ini tergambar dalam pranata tongkonan. Di samping itu, simbol kejujuran dan keikhlasan, yang tampak dalam tekad persatuan dan kesatuan, kegotongroyongan dan kekeluargaan yang sangat tampak dalam setiap pelaksanaan upacara.
Semangat atau spirit budaya Toraja itulah yang penting untuk menopang pembangunan masyarakat di Toraja, khususnya dalam pengambilan kebijakan pembangunan masyarakat Toraja. Dalam hal ini, Toraja yang melekat dengan budaya, Toraja dengan semangat kegotongroyongan, Toraja dengan semangat dan etos kerja yang tinggi, Toraja dengan inovasi dan kreativitasnya, Toraja dengan kehidupan masyarakat yang harmonis, penuh kejujuran dan keikhlasan, sebagaimana tergambar dalam upacara-upacara yang begitu bermakna. Tongkonan janganlah menjadi tontonan saja, tetapi simbol dan makna tongkonan memberikan semangat dan jati diri bagi masyarakat Toraja untuk terus maju.
Toraja dapat dibangun dengan kebersamaan, etos kerja, inovasi dan kreativitas, keharmonisan yang dilandasi oleh semangat kegotongroyongan yang bersimbol dari makna-makna budaya masyarakat Toraja. Toraja teruslah maju, selamat Hari Ulang Tahun bagi masyarakat Toraja, semoga cita-cita dan usaha kerja keras membawa kepada masyarakat Toraja yang maju dan sukses selalu. Sekali lagi, selamat hari ulang tahun Pemerintah Kabupatan Tana Toraja.

Sumber :Kompas

Senin, 29 Agustus 2011

Terancamnya Nilai Demokrasi dengan Kedatangan Tomanurun


Disisi lain keturunan Puang Tambora Langi sebagai pelaksana Aluk Sanda dalam perkembangannya memposisikan dirinya menjadi supra struktur di atas komunitas yang merupakan cikal bakal terbentuknya strata sosial, feodalisme atau pemerintahan kerajaan. Harapan semula untuk menjadi juru damai antar komunitas dalam perjalanan sejarahnya terpaksa mencari basis kekuasaan yaitu terbentuknya lembaga supra di atas komunitas yang dibeberapa tempat dilegitimasi melalui Kombongan Kalua antar Komunitas antara lain Sanggala yang digelar Limbu Apana dan To Sereala Penanianna (gabungan empat Komunitas adat besar yang terdiri dari 12 komunitas basis). Penguatan kelembagaan adat dan dapat dilihat di Sanggala dengan terbentuknya Kelembagaan Kombongan Kalua To Maduang Salu (rakyat banyak) yang mengontrol kelembagaan Supra Komunitas.
Oleh karena hasil Kombongan Kalua, maka nilai dan struktur kelembagaan tersebut bertahan terus dan dihormati oleh masyarakat sampai dikeluarkannya UU/5/79. Sanggala dijadikan kecamatan dan lembaga adat dibuat tidak berfungsi dan tidak berdaya.
Struktur Kelembagaan
Komunitas atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum Adat yang mempunyai struktur dan perangkat lembaga adat yang dinamakanTongkonan dan dipimpin oleh Pemangku Adat atau To Parenge.
Sejak dari To Puan dalam perkembangannya sekarang ini ada beberapa aspek yang sangat mendasar serta melembaga dalam pergaulan sosial suku Toraja, yakni :
  • Hidup berkelompok dalam suatu komunitas yang dinamakan Lembang 
  • Ada pemimpin atau yang dituakan dan; 
  • Nilai demokrasi melalui Kombongan merupakan kekuasaan yang tertinggi(untesse batu mapipang).
Di Tana Toraja terdapat 32 Masyarakat Adat yang mandiri dan mempunyai aturan masing-masing yang berbeda. Namun tetap terikat dalam Sang Torayaan yang digelar To Sanglepongan Bulan Tana Matari Allo (bundar bagaikan bulan purnama bersinar bagaikan matahari pagi).  Diikat oleh nilai yang diwarisi dan leluhur yang sama.

Minggu, 28 Agustus 2011

Aluk Sanda Saratu'

To Manurun atau orang yang diturunkan dari kayangan. Setelah berlangsung beberapa generasi dimana manusia mulai berkembang dengan diiringi oleh terbentuknya Lembang baru. Hal ini mulai menimbulkan persaingan dan pertikaian antar kelompok. Karena Aluk Sanda Pitunna hanya mengatur intern kelompok, maka tidak dapat lagi mengatur hubungan antar Lembang. Maka oleh dewa diturunkanlah Aluk Sanda Saratu aturan serba seratus yang mengatur hubungan antar komunitas atau antar lembang. Prinsip dasar adalah persatuan dan kesatuan dengan motto “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate.” Strategi sebagai pintu masuk adalah dengan pengembangan sejarah dan ikatan silsilah kekeluargaan antar Tongkonan yang menggambarkan kesatuan asal keturunan dan persamaan nasib. Seluruh wilayah permukiman To Lembang dikoordinir dalam satu kesatuan yang dinamakan Tondok Lepongan Bulan Tana Matari AlloDibentuk Forum Koordinasi yang mengatur tata hubungan antar lembang dan penyelesaian sengketa antar Lembang yang dinamakan Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan.
Aturan tersebut tidak dapat berjalan karena tidak ada yang menjalankan atau tidak ada satupun dari Lembang yang ada dan mampu mengkoordinir. Oleh karena itu diturunkanlah dari langit Puang Tamborolangi dan mendarat di Puncak Gunung Kandora sebagai pelaksana aturan Sanda Saratu. Puang Tamboro Langi inilah yang merupakan nenek moyang raja-raja di Sulawesi khususnya di Selatan, Tengah dan Tenggara.
Apabila dikaji secara mendalam maka makna dari cerita tersebut adalah “bahwa eksistensi raja atau pemimpin di Toraja diturunkan dari khayangan untuk melaksanakan peraturan demi kepentingan masyarakat,” jadi peraturan Sanda Saratu bukan untuk kepentingan raja tetapi untuk kepentingan rakyat dan bila tidak dapat mengemban tugas, maka raja diturunkan oleh dewa melalui Kombongan Kalua. Kombongan Kalua sebagai alat dari Dewa berarti suara rakyat peserta kombongan diindentikkan dengan suara Dewa atau dengan kata lain adalah dewa dan keputusan Kombongan Titah Dewa.
Upaya dan proses perkembangan tersebut di atas dimana komunitas dengan kelembagaan adatnya yang terbangun dari dan oleh mereka sendiri melalui musyawarah menciptakan suatu organisasi yang dinamis, mapan dan dapat menghadapi perubahan-perubahan.
Berasal dari sejarah asal-usul dan tradisi setempat dimana proses waktu serta dinamika pola interaksi sosial antar anggota komunitas serta dengan alam lingkungannya menghasilkan berbagai keragaman komunitas. Keragaman budaya, sistem pemerintahan, sistem hukum serta kearifan tradisional sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di atas. Dapat dipahami bila sebelum Pemerintahan Kolonial didapati berbagai ragam komunitas-komunitas yang berdaulat. Keragaman dalam tradisi, sejarah, adat-istiadat sistem pemerintahan merupakan kekayaan budaya bangsa yang diakui melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Di Toraja Komunitas Lembang diikat melalui semboyan “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada di Pomate Lan Lilina Lepongan Bulan Tana Matari Allo.”

Sabtu, 27 Agustus 2011

Tedong Toraya

Suku Toraja adalah suku yang menetap di pegunungan bagian utara Sulawesi Selatan, Indonesia. Mayoritas suku Toraja memeluk agama Kristen, sementara sebagian menganut Islam dan kepercayaan animisme yang dikenal sebagai Aluk To Dolo. Pemerintah Indonesia telah mengakui kepercayaan ini sebagai bagian dari Agama Hindu Dharma.
Kata toraja berasal dari bahasa Bugis, to riaja, yang berarti "orang yang berdiam di negeri atas". Pemerintah kolonial Belanda menamai suku ini Toraja pada tahun 1909. Suku Toraja terkenal akan ritual pemakaman, rumah adat Tongkonan dan ukiran kayunya. Ritual pemakaman Toraja merupakan peristiwa sosial yang penting, biasanya dihadiri oleh ratusan orang dan berlangsung selama beberapa hari. Akan tetapi ada satu hal yang memegang peranan yang cukup penting dalam adat istiadat masyarakat suku Toraja yakni Kerbau.
Kerbau adalah binatang paling penting bagi orang Toraja, salah satu etnis yang berada di Pulau Sulawesi, Indonesia. Bagi etnis Toraja, kerbau adalah binatang yang paling penting dalam kehidupan sosial mereka. Kerbau atau dalam bahasa setempat tedong tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari masyarakat. Selain sebagai hewan untuk memenuhi kebutuhan hidup sosial, ritual maupun kepercayaan tradisional, kerbau juga menjadi alat takaran status sosial, dan alat transaksi. Dari sisi sosial, kerbau merupakan harta yang bernilai tinggi bagi pemiliknya. Tidak mengherankan bila orang Toraja sangat dengan kerbau mereka. Hal ini dapat dilihat dari percakapan sehari-hari, pada saat hendak bertransaksi, mengadakan pesta, dalam menjalankan ibadah keagamaan.
Sehingga dengan adanya Kerbau sebagai perlambang Status Sosial masyarakat Toraja menjadikan nilai jual dari Kerbau ini cukup Fenomenal di Toraja, hal ini terlihat dalam upacara adat (orang meninggal) di Toraja, kerbau tersebut disembeli untuk mengantar mayat ke sorga. Biasanya, sekitar 10 hingga 100 kerbau disembelih dalam upacara adat tersebut.
Berikut beberapa kerbau yang mempunyai nilai jual yang sangat tinggi :
  • Tedong Saleko (Kerbau belang), Merupakan jenis Kerbau yang memiliki nilai status sosial yang sangat tinggi hingga nilai jual dari Tedong Saleko ini bisa mencapai Rp. 450 Juta per ekor 
TEDONG SALEKO
  • Tedong Bonga, menduduki peringkat kedua setelah Tedong Saleko, dan memiliki nilai jual yang hampir sama dengan Tedong Saleko. 

TEDONG BONGA
  • Tedong Pudu' umumnya berbadan kekar dan warna hitam. Kerbau jenis ini sangat kuat dalam bertarung. Pada acara adu kerbau pada pesta kematian, kerbau pudu umumnya tampil sebagai petarung yang kuat. harga jualnya sekitar Rp.40 juta sampai dengan Rp. 100 juta.
 
TEDONG PUDU'
    • Tedong Sokko, kerbau ini memiliki tanduk yang arahnya turun ke bawah dan hampir bertemu di bawah leher. Dengan warna tertentu nilainya menjadi sangat mahal. 

    TEDONG SOKKO

    • Tedong lotong boko, kerbau ini memiliki ciri ciri warnanya kulitnya putih tetapi di pundaknya terdapat warna hitam, kerbau jenis ini sangat langkah di Toraja, dan harganya pun tidak kalah dengan Tedong Saleko.  
    TEDONG LOTONG BOKO
    • Tedong bulan, Kerbau ini keseluruhan kulitnya berwarna putih, menurut legenda setempat jika seluruh tubuhnya berwarna putih (termasuk matanya) maka kerbau ini tidak akan bisa hidup biasanya akan langsung mati saat dilahirkan.
    TEDONG BULAN
    Dan masih banyak lagi jenis kerbau yang sangat dihargai dan dihormati oleh masyarakat Toraja, dan tentu juga kerbau tersebut memiliki nilai jual yang tinggi di banding dengan kerbau biasa.
     

    Rabu, 24 Agustus 2011

    “Ma`Tundan” (Membangunkan Arwah)


    Bagi suku Toraja, “Rambu Solo” adalah upacara untuk memakamkan leluhur atau orang tua tercinta. Tradisi leluhur ini sekaligus menjadi perekat kekerabatan masyarakat Toraja terhadap tanah kelahiran nenek moyang mereka.
    Suatu malam di dataran tinggi Tanah Toraja. Saat itu, malam kian larut ketika sang bulan memancarkan pantulan cahayanya. Di sekeliling halaman Tongkonan atau rumah adat Tana Toraja terlihat sanak saudara dan para keluarga berkumpul menandai dimulainya pembukaan ritual pemakaman adat Toraja. Suasana pun menjadi sakral ketika mereka bersama-sama melantunkan syair kesedihan dalam tarian Mabadong. Tarian ini menyimbolkan ratapan kesedihan mengingat jasa mendiang semasa hidupnya serta sebagai ungkapan dukacita bagi orang-orang yang ditinggalkannya.
    Tana Toraja di Sulawesi Selatan adalah daerah yang indah. Wilayah kabupaten ini didominasi dataran tinggi. Hamparan pegunungan dan perbukitan pun seolah menjadi saksi bisu asal muasal kehidupan manusia di sana. Di kaki pegunungan Kandora, misalnya beragam kisah dan legenda mengiringi munculnya masyarakat Toraja.
    Syahdan sekitar 15 abad yang lalu, sekumpulan imigran dari Teluk Tongkin, daratan Tiongkok, berlabuh di kawasan pegunungan sebelah barat Sulawesi Selatan. Para imigran asal Tiongkok ini akhirnya memilih menetap dan membaur dengan penduduk asli di pedalaman. Akulturasi atau percampuran budaya mereka inilah yang kemudian sering disebut kebudayaan Toraja.
    Tak mengherankan, bila di Tana Toraja banyak dijumpai rumah yang menyerupai perahu Tiongkok yang biasa disebut Tongkonan. Rumah adat ini dilengkapi dengan Lumbung tempat menyimpan padi sekaligus sebagai lambang kebesaran dan kesejahteraan masyarakat Toraja.
    Status kebangsawanan orang Toraja mudah dikenali, terutama saat mereka melakukan ritual pemakaman orang yang meninggal dunia. Berbeda dengan masyarakat biasa, para bangsawan suku Toraja jika meninggal dunia jenazahnya diawetkan terlebih dahulu sebelum dikuburkan. Ciri lainnya, jenazah bangsawan biasanya dimakamkan di atas tebing maupun gua-gua di wilayah Tana Toraja beserta harta benda kesukaan mereka.
    Saat prosesi pemakaman adat Toraja yang dinamakan upacara “Rambu Solo”. “Rambu Solo” adalah ritual yang sangat panjang dan melelahkan. Sebab kematian bukanlah akhir dari segala risalah hidup. Maka, suatu kewajiban bagi keluarga untuk merayakan pesta terakhir sebagai bentuk penghormatan kepada arwah yang akan menuju ke alam baka.
    Malam semakin larut. Ritual demi ritual pun telah dijalankan. Tiba  saatnya pihak keluarga melangsungkan ritual Ma`tundan atau membangunkan arwah. Seiring dimulainya Ma`tundan, suasana duka kembali tergurat di wajah sanak saudara dan orang-orang terdekat dari mendiang. Air mata pun jatuh bercucuran sebagai wujud orang yang mereka cintai bakal pergi selamanya.
    Bunyi-bunyian lesung dan bambu tersebut dilakukan bersamaan dengan prosesi pemindahan jasad mendiang dari rumah duka untuk disinggahkan ke rumah adat Tongkonan untuk disemayamkan selama satu malam.
    Maka, sanak saudara dan keluarga bahu-membahu mengangkat peti jenazah yang beratnya mencapai 100 kilogram untuk dinaikkan ke dalam rumah adat. Menurut adat Toraja prosesi ini melambangkan penyatuan kembali jenazah dengan para leluhurnya. Di dalam rumah adat, peti berisi jasad mendiang itu harus dijaga semalam suntuk oleh sanak keluarga.
    Hari pun berganti, kini saatnya melanjutkan prosesi pemindahan peti jenazah. Panas terik matahari pun tak mengurangi warga sekitar untuk menghormati yang meninggal. Mereka telah berkumpul di lumbung rumah adat untuk melanjutkan prosesi pemindahan peti jenazah dari rumah adat ke lumbung padi.
    Maka tarian penghormatan pun dilakukan. Kain merah dibentangkan sebagai lambang kebesaran suku Toraja. Sanak saudara dan warga bahu-membahu mengantarkan peti jenazah ke bawah lumbung. Ketika peti mati diturunkan, sorak-sorai bergema di antara penduduk. Warga mencoba mengatasi beban berat yang bertumpu di atas pundak mereka. Kain merah atau lamba-lamba ini dibentangkan sebagai simbol jalan yang harus dilalui jenazah.

    Akhirnya, sampailah peti jenazah di lumbung yang letaknya tepat di bawah rumah adat. Dalam keyakinan masyarakat Toraja, peletakan jasad ke dalam lumbung selama tiga malam itu menandakan jasad mendiang telah menuju pada fase kematian yang sebenarnya.

    Selasa, 23 Agustus 2011

    Arti dan Makna Ukiran

    J.S. SANDE 1988 Dalam bukunya menyatakan bahwa ukiran Toraja mengandung arti dan nilai-nilai kehidupan yang berhubungan erat dengan falsafah hidup orang Toraja. Ukiran Toraja umumnya berupa nasehat-nasehat agar menjalani hidup ini dengan baik dan benar, selalu bekerja keras, saling menghargai serta senantiasa membina persatuan dan kekeluargaan serta ketaqwaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Arti dan makna ukiran Toraja dijelaskan sebagai berikut:
    Sang Pencipta
    Pa’Barre Allo

    Berasal dari Bahasa Toraja, yaitu Barre: Bulatan atau Bundaran dan Allo: Matahari. Pa’Barre Allo berarti ukiran yang menyerupai matahari yang bersinar terang, memberi kehidupan kepada seluruh mahluk penghuni alam semesta. Ukiran ini diletakkan pada bagian rumah adat yang berbentuk segitiga dan mencuat condong keatas yang dalam bahasa Toraja disebut Para Longa, dan di letakkan di bagian belakang dan depan Rumah adat. Ukiran ini biasa diletakkan diatas ukiran Pa’Manuk Londong.
    Pa' Barre Allo
    Manusia
    Ne’ Lingbongan
    Menurut cerita, Ne’ Limbongan adalah nama seorang ahli bangunan pada zaman dahulu yang menciptakan ukiran-ukiran tradisional Toraja.
     
    Ne' Limbongan
    Sedangkang menurut arti katanya Limbong berarti danau atau sumber air yang tidak pernah kering, memberi kehidupan dan kesegaran bagi manusia, flora dan fauna di lingkungan sekitarnya. Ukiran ini bermakna bahwa orang Toraja bertekad memperoleh rexeki dari empat penjuru mata angin (utara, timur, barat, dan selatan) bagaikan mata air yang bersatu dalam satu danau dan memberi kebahagiaan kepada keturunannya.
    Pa’ Ulu Karua
    Berasal dari dua kata (Toraja) yaitu Ulu: Kepala, dan Karua: Delapan. Menurut mitos, Toraja dahulu kala ada delapan orang Toraja yang masing-masing menurunkan ilmu pengetahuan menyangkut kehidupan ini. Kehidupan orang ini diciptakan oleh Puang Anggemaritik (Puang Matua atau Tuhan) dalam sebuah puputan kembar ajaib dan masing-masing di karunia Ilmu pengetahuan yang berbeda-beda. Makna ukiran ini adalah orang Toraja mengharapkan dalam rumpun keluarga mereka, muncul orang yang memiliki ilmu yang tinggi dan berguna untuk kepentingan masyarakat.
    Pa' Ulu Karua
    Pa’ Talinga
    Talinga Artinya telinga. Telinga adalah salah satu alat indra manusia yang berfungsi untuk mendengar. Maknanya adalah agar semua hal yang kita dengar, baik dan buruk dapat memberi hikmah dan pelajaran dalam mengarungi kehidupan ini
    Pa' Talinga
    Pa’Re’po Sangbua
    Berasal dari dua kata (Toraja) yaitu : Re’po : Menari lincah sambil melipat lutut membentuk siku-siku, Sangbua : Tunggal.  Ukiran ini berupa garis siku-siku serong yang berlapis-lapis yang membentuk satu kesatuan. Bentuk ukiran ini biasanya pada lumbung disekeliling balok pelintang tumbuan dinding yang dalam bahasa Toraja disebut Samborinding
    Pa' Re'po Sangbua

    Ukiran ini melambangkan kebersamaan dan kegotong-royongan masyarakat Toraja. Segala sesuatu jika dikerjakan bersama pasti menjadi lebih mudah, lancar dan Ringan.
    Peralatan
    Pa’Kadong Pao
    Berasal dari dua kata (Toraja) yaitu Kadong: Kait dan Pao: Mangga. Ukiran ini menyerupai alat penjolok/pengait mangga yang biasa digunakan oleh orang Toraja. Pengait tanpa ada manusia yang menggunakannya tidak mungkin mendatangkan hasil, begitu juga sebaliknya. Makna ukiran bahwa untuk memperoleh hasil yang baik, membutuhkan kerjasama dengan pihak lain. Karena tidak semua hal bisa dikerjakan sendiri. Arti lainnya adalah bahwa untuk memperoleh harta benda yang akan masuk ke dalam rumah bagaikan dikait dengan cara yang jujur.
    Pa' Kadong Pao
    Pa’Sekong Kandaure
    Berasal dari dua kata (Toraja) yaitu Sekong: Lengkung, lingkar, atau kelok yang membentuk garis siku-siku. Kandaure : Perhiasan/aksesori yang digunakan oleh wanita bila mengenakan pakaian adat. Bahannya adalah manik-manik yang dianyam.
     
    Pa' Sekong Kandaure
    Ukiran ini bermakna agar keturunan atau anak cucu selalu hidup dalam kebahagiaan bagaikan cahaya dan indah seperti Kandaure.
    Pa’Sekong Anak
    Berasal dari dua kata (Toraja) yaitu Sekong: Lengkung, lingkar, atau kelok yang membentuk garis siku-siku. Anak: Anak.
    Pa' Sekong Anak
    Ujung pada lingkar yang paling dalam di ukiran ini bagaikan letak bayi dalam rahim ibunya. Maknanya, sebagai manusia, kita jangan tertutup dan berbelit-belit dalam setiap persoalan tetapi harus terbuka dan senantiasa berkata jujur karena hal itu akan mempermudah penyelesaian masalah.
    Pa’Sekong Dibungai
    Dibungai dalam bahasa Toraja berarti diberi bunga atau hiasan. Ukiran ini menyerupai segi empat sama sisi yang ujungnya tersembunyi pada bagian tengah dan bagian bingkai pingganggnya biasa diberi hiasan motif segitiga atau stengah lingkaran 
    Pa' Sekong Dibungai
    Maknanya bahwa dalam hidup ini ada hal-hal yang harus dirahasiakan demi kepentingan orang lain, keluarga maupun masyarakat.
    Pa’Papan Kandaure
    Ukiran yang berbentuk sebilah Papan yang bermotif seperti motif yang terdapat pada Kandaure. Kandaure adalah perhiasan yang dahulu hanya dimiliki oleh kaum bangsawan dan keluarga kaya. Terbuat dari untaian manik-manik yang beraneka warna.
    Pa' Papan Kandaure
    Ukiran ini maknanya agar kehidupan keluarga besar beserta anak cucunya hidup dalam kedamaian dan selalu bersatu dalam satu mata rantai bagaikan butir mani-manik tetap bersatu dalam seutas benang dan dapat menyenangkan dan berguna bagi kehidupan orang lain.
    Pa’Kabu’ Baka
    Kapu’ berarti ikatan atau simpulan dan Baka artinya bakul atau keranjang. Ukiran ini menyerupai simpul-simpul pada bakul yang dahulu diigunakan sebagai tempat menyimpan harta atau benda-benda berharga. Simpul ini sangat rapi sehigga ujung simpul dari tali tidak kelihatan.
    Pa' Kapu' Baka
    Maknanya bahwa kita harus menjadi orang yang dapat dipercaya, apabila ada rahasia, harus dijaga dengan sebaik-baiknya.
    Pa’Pollo Gayang
    Pollo’ artinya buntut atau bagia belakang dan Gayang artinya adalah keris emas. Ukiran ini berbentuk seperti bagian belakang keris emas tersebut. Gayang adalah harta benda yang berharga paling mahal dan bernilai tinggi bagi orang Toraja dan dianggap Mulia.
    Pa' Pollo' Gayang
    Ukiran ini dipercaya dapat membawa perasaan damai dalam kehidupan, mudah rezeki dalam mencari nafkah.
    Pa’Ulu Gayang
    Ulu berarti kepala dan Gayang berarti Keris Emas, ukiran ini berbentuk seperti hulu keris emas. Ukiran ini mempunyai makna agar kita sebagai manusia dalam berjuang untuk mendapatkan ketentraman dalam hidup ini harus senantiasa menghadapinya dengan kepala dingin serta cara yang jujur.
    Pa' Ulu Gayang
    Pa’Manik-manik
    Berasal dari kata Manik-manik, sejenis perhiasan tradisional yang terbuat dari emas yang bentuknya bulat atau seperti silinder yang berlubang di tengahnya. Biasanya disusun berderet dalam seutas benang. Ukiran ini umumnya diletakkan di dinding Rumah adat.
    Pa' Manik-manik
    Makna ukiran ini adalah agar rumpun keluarga mempunyai keturunan yang banyak seperti butiran manik-manik. Ukiran ini juga dapmengandung ajaran dan peringatan kepada keturunan supaya selalu berusaha dan bekerja keras agar sentosa dalam hidup.
    Pa’Boko’ Komba Kalua’
    Berasal dari kata Boko’ yang artinya belakang dan Komba yaitu perhiasan tradisional Toraja berupa Gelang. Kalua’ artinya lebar atau besar.
    Pa' Boko' Komba Kalua'
    Ukiran ini seperti motif bagian belakang gelang emas besar. Ukiran ini melambangkan tanda kewibawaan dan kebesaran bagi bangsawan-bangsawan Toraja. 
    Pa’ Sepu’ To Rongkong
    Sepu’ adalah pundi-pundi tempat sirih dan Rongkong adalah nama sebuah daerah di Kabupaten Luwu. Ukiran ini menyerupai motif saluman pada pundi tempat sirih orang rongkong yang masih serumpun dengan orang Toraja.
    Pa' Sepu' Torongkong

    Maknanya bahwa antar orang Toraja dan orang Rongkong masih mempunyai hubungan karena berasal dari rumpun yang sama.
    Pa’Sekong Sala
    Pa’sekong Salah artinya silang atau palang yang berbaik pada kedua ujungnya. Kedua ujung yang berbentuk siku-siku selalu salah, atau tidak pernah bertemu.

    Pa' Sekong Sala
    Ukiran ini biasa diletakkan pada dinding rumah adat Toraja. Sebagai tanda peringatan agar selalu berhati-hati dalam menempuh kehidupan ini. Tidak mencampuri urusan orang lain karena dapat menimbulkan hal-hal yang membahayakan.
    Pa’Sulan Sangbua
    Pa’Sulan Sangbua berarti sulaman atau lipatan tunggal, lipatan ini bisa ditemui pada sirih atau tembakau. Orang-orang tua di Toraja senang makan sirih karena baik untuk gigi dan sarana komunikasi dalam pergaulan. Ukiran ini melambangkan kebesaran bagi bangsawan
    Pa' Sulan Sangbua'
    Pa’ Sala’bi’ Dito’mokki
    Sala’bi’ berarti pagar yang dibuat dari belahan-belahan bambu atau penghalang. Tommok artinya ditekan dengan ujung jari.
    Pa' Sala'bi Dito'mokki
    Ukiran ini menyerupai anyaman bersilang dari belahan bambu yang biasanya diletakkan pada dinding rumah adat. Dalam hal ini Sala’bi’ berguna untuk menghalangi atau menangkal semua hal yang tidak baik. Maknanya agar anak cucu keturunan selalu terhindar dari segala wabah penyakit dan macam-macam bahaya.
    Pa’Sala’bi’ Dibungai
    Pa’Sala’bi’ Dibungai adalah ukiran yang menyerupai anyaman bersilang dari belaham bambu yang biasanya diletakkan pada dinding rumah adat terutama pada bagian depan rumah terutama yang dekat dengan pintu. Ujung-ujung belahan bambu ini biasa diruncingkan sehingga menyerupai ujung tombak yang sukar untuk dilewati
    Pa' Sala'bi Dibungai
    Maknanya agar kita harus selalu menjaga dan membekali diri dengan ilmu pengetahuan agar berhasil mengaruhi hidup yang penuh gelombang dan tantangan.
    Pa’Sempa
    Adalah ukiran berbentuk tanda silang. Ukiran ini sebagai simbol larangan, biasanya diletakkan pada pintu rumah dan pintu lumbung. Maknanya setiap orang yang melakukan perbuatan tidak terpuji akan mendapat hukuman. Itu hukum adat maupunun hukuman dari Sang Pencipta.
    Pa' Sempa
    Pa’Sala’bi Biasa
    Ukiran yang berbentuk seperti anyaman pagar bambu ini mempunyai makna agar kita senantiasa berhati-hati terhadap semua kemungkinan buruk, baik berupa serangan penyakit ataupun musuh. 
    Pa' Sala'bi Biasa