Ada beberapa kata dalam bahasa Toraja Sa’dan yang semuanya dapat diterjemahkan dengan jiwa manusia. Rupanya kata yang beragam yang dalam bahasa Indonesia dapat diterjemahkan dengan satu kata saja, yaitu jiwa, menunjuk kepada segi-segi rohanilah yang dalam kepercayaan Aluk To dolo digagaskan ada dalam kehidupan manusia. Kata pertama adalah Sumanga’ atau Sunga’, kedua bombo, ketiga deata. Sumanga’ yang artinya aroh kehidupan, daya hidup; bombo lebih diasosiasikan dengan jiwa manusia yang memisahkan diri dari badan pada waktu kematian; dan deata adalah zat hidup yang ada pada manusia.
Manusia itu sendiri menurut gagasan aluk to dolo bila telah menghembuskan nafasnya yang terakhir, jiwanya tidak langsung pergi ke negeri yang digagaskan sebagai negeri untuk jiwa orang yang telah meninggal, yaitu Puya. Selama beberapa waktu bombonya masih tinggal atau berkeliaran di sekitar tempat kediamannya.
Bila jenasah telah dikuburkan, maka bombo itu berangkat ke negeri Puya, dan di sana dia memerlukan hal-hal seperti yang diperlukannya di bumi, karena itu dia harus dibekali dengan paling sedikit seekor hewan (babi atau kerbau) yang disembelih. Daging dari hewan itu di makan oleh yang hidup; sarinya, jiwanya menemani jiwa si mati ke negeri Puya. Semakin banyak yang disembelih, maka semakin banyak pulah bekal yang dibawah oleh si mati.
Bila ada orang yang tidak mampu (miskin sekali) meninggal dunia di suatu Tondok (kampung) dan keluarganya tidak mampu menyembeli seekor babi kecilpun, maka penghuni Tondok berkewajiban untuk secara gotong royong menyembeli seekor babi. Babi yang disembelih secara demikian itu tidak menimbulkan hutang untuk keluarga si mati. Dipercaya bahwa kalau tidak ada yang disembelih pada saat penguburan, maka si mati akan mendatangka bahaya, bukan saja untuk rapu (Keluarga), tetapi untuk seluruh Tondok (Masyarakat).
Gagasan mengenai apakah yang terjadi dengan jiwa seseorang setelah ia meninggal dunia, paling jelas diuraikan mengenai orang yang keturunan bangsawan, seorang yang dianggap mempunyai garis keturunan yang langsung dapat dihubungkan ke salah seorang to manurun dilangi’. Orang yang demikian memperoleh upacara selama “Pesta Mati” untuk orang besar sedemikian, yang biasanya berlangsung beberapa malam, dinyanyikanlah apa yang dinamakan “Badong” (Syair-syair yang khsus diucapkan pada saat acara pemakaman), dan dalam Badong itu di syairkan jalan hidup si mati. Di lukiskan dalam badong itu bahwa untuk orang tersebut diberi upacara yang pantas dengan kelahirannya, dan sesudah selesai upacara itum maka jiwanya (bombonya) pergi ke negeri Puya, ke negeri jiwa, dan kemudia dari situ akan naik ke langit, menjadi satu dengan bintang yang menampakkan diri sebagai tanda dapat dimulainya masa penanaman padi.
Bila terjadi, bahwa seorang anggota keluarga meninggal di tempat yang jauh dari Toraja (di luar Tondok Lepongan Bulan), dengan keadaan tanpa terdapatnya bekas-bekas fisik dari si mati, maka keluarga yang ditinggalkan akan gelisah berhubung si mati dianggap tidak akan tenang bombonya. Suata cara untuk mengatasi hal demikian adalah untuk pergi ke suatu gunung dan memanggil roh si mati. Apapun yang kemudian datang terbang sesudah panggilan itu, seekor burung gagak atau hewan lainnya, maka itulah dianggap personifikasi dari dari jiwa itu. Dan itupun ditangkap lalu dibungkus, dan diberu balutan besar dan kemudian untuknya diberi upacara penguburan.
Bombo dari orang kelahiran rendah, yang cikal bakalnya bukan seorang yang dapat mengusut garis keturunannya ke manusia yang turun dari langit, rupanya akan tetap tinggal di negeri Puya. ada juga gagasan bahwa mereka itu masih berkali-kali lahir kembali dan akhirnya menjadi semut yang turut terbakar dengan alang-alang dan menjadi embun pagi yang turun membasahi bumi.
Demikianlah gagasan yangterdapat dalam kepercayaan aluk to dolo mengenai jiwa, mengenai kematian dan mengenai apa yang terjadi dengan jiwa orang yang telah meninggal dunia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar