Sabtu, 31 Desember 2011

50 Miliar Untuk Pemakaman Ne' Sarrin

Butuh sekitar Rp50 miliar untuk menuntaskan seluruh rangkaian upacara adat Rambu Solo’ atau upacara kematian di Tana Toraja. Namun, bagi warga Tana Toraja, ini adalah bentuk pengabdian terhadap leluhur mereka. Rambu Solo’adalah upacara kematian yang dilestarikan secara turun temurun dari penganut Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Toraja sebelum masuknya Islam dan Nasrani) di daerah ini.
Upacara adat ini adalah salah satu daya tarik wisatawan domestik dan mancanegara. Selasa (27/12), jenazah Filipus Tappi atau dikenal dengan Ne' Sarrin dipindahkan dari tongkonan ke sebuah menara atau disebut lakkean oleh warga setempat. Lakkean ini dibangun di atas tanah lapang sebagai lokasi upacara adat yang disebut rante.
Upacara adat ini dilaksanakan oleh warga di Sereale, Kecamatan Tikala, Toraja Utara. Sebelumnya, jasad disimpan di Tongkonan selama dua hari sebelum dipindahkan ke rante. Prosesi pemindahan jenazah cukup unik. Jenazah diarak menggunakan duba-duba (keranda khas Toraja). Di depan duba-duba terdapat lamba-lamba (kain merah yang panjang, di depan keranda jenazah), dan dalam prosesi pengarakan ini kain tersebut ditarik oleh para wanita.
Sementara keranda diangkat oleh laki-laki. Dalam arak-arakan terdapat urut-urutan yakni pertama ada orang yang membawa gong besar. Selanjutnya diikuti dengan tompi saratu (atau yang biasa kita kenal dengan umbul-umbul), lalu di belakang tompi saratu diikuti lamba-lamba dan yang terakhir barulah duba-duba. Jasad diarak dari Tongkonan di Limbong sekitar dua kilometer dari lokasi upacara adat ini.
Sesampainya di rante, jasad kemudian disemayamkan di lakean sebelum akhirnya dikuburkan. Jenazah ditempatkan di lakkean paling tertinggi yakni di lantai. Di lantai paling bawah terdapat patung mendiang dalam posisi duduk yang dibuat semirip mungkin. Patung ini terbuat dari batu yang diukir. Lakkean yang menyerupai menara ini merupakan bangunan yang paling tinggi di antara bangunan lain di sekitarnya.
Di sekitar lakkean terdapat lantang-lantang yang terbuat dari bambu dengan bentuk rumah adat Toraja. Lantang ini berfungsi sebagai tempat tinggal sementara para sanak keluarga yang datang. Lantang ini diberi nomor .Ada 120 nomor. Keluarga mendiang umumnya mengenakan pakaian serba hitam. Sementara itu, di rante sudah siap puluhan ekor kerbau yang telah dipersembahkan oleh keluarga dan kerabat mendiang.
Kerbau diikat pada batang pinang yang sudah berbuah, ditanam di tengah rante. Sejumlah warga menyebutkan, tanah lapang ini adalah bekas sekolah SD Limbong Sereale Kecamatan Tikala Kabupaten Toraja Utara. Sekolah ini sengaja dirubuhkan beberapa waktu lalu karena akan digunakan sebagai lokasi upacara adat.
“Setelah upacara ini akan dibangun kembali. Muridnya ditampung sementara dan dibikinkan petak sementara,” kata seorang warga di lokasi upacara adat. Seusai jenazah disemayamkan di lakkean, selanjutnya, salah satu bagian dari upacara adat kematian yang unik adalah mengadu kerbau. Dua hewan ini diadu kekuatan yang oleh warga setempat menyebutnya Ma'pasilaga Tedong. Ma'pasilaga tedong dilakukan di atas tanah lapang berlumpur di belakang rumah warga.
Di areal seluas 50 kali 50 meter. Bak ring tinju, sekeliling arena diberi pembatas agar hewan yang beradu tidak keluar. Pembatas itu terbuat dari bambu yang melintang setinggi sekitar satu meter. Tak ada tribun atau tempat khusus bagi penonton. Penonton hanya duduk atau berdiri di pematang atau gundukan tanah. Sebagian lainnya di atas pohon atau duduk di atas batu cadas, mencari tempat yang aman.
Aroma lumpur yang menyengat tak menyurutkan niat penonton menyaksikan ma'pasilaga tedong yang hanya digelar saat upacara kematian. Pertarungan yang sesungguhnya dimulai. Satu lawan satu. Penonton pun mulai bersorak. Jika salah satu kerbau aduan lari meninggalkan arena, maka dianggap kalah. Ada puluhan kerbau yang diadu. Sementara di luar arena, sebagian penonton bertaruh uang.
Ma'pasilaga tedong hanya salah satu dari sekian banyak prosesi yang dilaksanakan oleh keluarga yang berduka. Ketua Asosiasi Pemandu dan Pemangku Adat Toraja, Pong Barumbun mengatakan, upacara Rambu Solo’ oleh penganut aluk to dolo dimaksudkan untuk mengantar arwah ke nirwana. “Ada juga penafsiran bahwa Rambu Solo’ adalah penghormatan kepada orang tua. Karena itu, mayat ditempatkan di tempat paling teratas karena ini penghormatan terkahir, apalagi Ne Sarrin adalah bangsawan di daerah ini,” kata Pong Barumbun.
Kepercayaan Aluk To Dolo, kata dia, sebelum masuknya Islam dan Nasrani, setiap pemakaman bangsawan harus dikorbankan manusia atau penyembelihan manusia. Namun, seiring dengan perkembangan zaman dan masuknya misionaris dari Belanda, akhirnya tradisi memotong kepala manusia tidak lagi dilaksanakan karena dianggap tidak manusiawi.
“Penyembelihan kepala manusia diganti dengan adu ayam,” katanya. Pong Barumbun menjelaskan, prosesi Rambu Solo’disesuaikan dengan strata sosial dalam mayarakat. Hal ini dapat dibedakan dari jumlah kerbau yang dipersembahkan. “Saya perkirakan dana yang dibutuhkan sekitar Rp40 miliar sampai Rp50 miliar untuk melaksanakan upacara rambu solo ini. Angka ini rasional sebab harga kerbau sekitar Rp 350 juta perekor,” katanya.
Salah seorang putra mendiang Ne' Sarrin, Yohannes Tappi mengatakan, ada sekitar 200 ekor kerbau yang dipersembahkan oleh sanak keluarnya. Selain itu, ada sekitar 500 ekor babi yang akan dipotong dalam upacara ini. Anak mantu mendiang, JM Lulun Bara menambahkan, menyumbangkan tujuh ekor kerbau yang masing-masing seharga sekitar Rp290 juta. Bagi dia, ini adalah bentuk pengabdiannya terhadap orang tuanya. “Satu ekor kerbau dibeli 290 juta. Saya sendiri menyumbang 7 ekor,” kata dia.
Mendiang Ne' Sarrin meninggal dalam usia 83 tahun pada 8 Maret 2010, namun upacara Rambu Solo’ baru dilaksanakan pertengahan Desember. Selama disemayamkan, jasad disuntik dengan formalin agar tetap awet sampai upacara Rambu Solo’ dilaksanakan. Selanjutnya, jasad akan dipindahkan dari lakkean ke tempat pemakaman yang terletak di bukit yang dipahat. Rencananya, pemindahan akan dilaksanakan pada 31 Desember. “Dikubur dalam liang batu yang dipahat,” kata dia.

Sumber : http://www.sangtorayan.com

"TONGKONAN" Masuk Warisan Budaya Dunia

TCN-Pemerintah Indonesia terus memperjuangkan rumah adat Tongkonan di Toraja, Provinsi Sulawesi Selatan untuk masuk dalam daftar warisan budaya dunia UNESCO.
Staf Ahli Bidang Multikultural Kementerian Pariwisata dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Hari Untoro Dradjat pada Pentas Budaya dan Kesenian Daerah menegaskan hal tersebut di Lapangan Kodim Rantepao Kabupaten Toraja Utara, Kamis (29/12), yang menjadi rangkaian akhir kegiatan wisata di Kabupaten Toraja dan Toraja Utara, “Lovely December” 2011.
Ia mengatakan, Tongkonan mulai diperjuangkan dalam daftar warisan dunia sejak 2002.
Kemudian, pada 2004, Tongkonan masuk dalam daftar antre warisan budaya dunia dengan nomor registrasi 1.038.
Hingga saat ini, lanjutnya, simbol kebudayaan di Tana Toraja itu masih terus diperjuangkan menjadi warisan budaya dunia.
Secara keseluruhan, potensi pariwisata budaya, tradisi dan alam Toraja serta kegiatan “Lovely December” telah menjadi salah satu agenda penting pariwisata nasional yang terus dipromosikan.
“Lovely December adalah kegiatan pariwisata yang memperlihatkan bahwa masyarakat Toraja sangat menghargai tradisi dan mengembangkannya sebagai destinasi budaya,” katanya yang mewakili Menteri Pariwisata dan Pengembangan Ekonomi Kreatif Mari E. Pangestu.
Dengan citra baru pariwisata Indonesia “Wonderful Indonesia”, kegiatan wisata tahunan “Lovely December” Toraja diharapkan dapat memberikan kontribusi terhadap pencapaian target wisatawan mancanegara dan wisatawan nusantara pada 2011.
“Mari kita kerja keras untuk terus mendorong peningkatan kunjungan wisatawan. Saya mengapresiasi Pemprov Sulsel serta Pemerintah Kabupaten Tanah Toraja dan Toraja Utara yang terus menerus melakukan percepatan pengembangan pariwisata mandiri, modern melalui berbagai kegiatan “Lovely December”. Budaya masyarakat yang terlahir dari tradisi harus terus dikembangkan,” jelasnya.
Ia juga menyampaikan penghargaan kepada seluruh pihak yang terlibat dan menilai bahwa kegiatan wisata yang telah ketiga kalinya digelar tersebut memiliki arti penting dalam pengembangan pariwisata, budaya serta peningkatan kesejahteraan masyarakat.
Sebelumnya, pertemuan pemuda internasional 2011 tentang MDGs and Cultural Heritage Preservation yang digelar IYF Committee bersama Komunitas Pemuda Toraja didukung Youth Desk-Indonesian National Commission for UNESCO telah menyatakan mendukung Toraja agar diakui sebagai Warisan Budaya Dunia UNESCO. Yuk, kita dukung Tongkonan Toraja masuk salah satu Warisan Budaya Dunia.
Bila kamu tergerak ikut mendukung langkah ini, like and share berita ini ke teman-teman kamu.

Jumat, 30 Desember 2011

Prabowo Subianto Mendapat Gelar "TARUK LANGI"

Taruk Langi adalah gelar kebangsawanan di Toraja yang berarti Tunas Emas Manusia dari Langit. Kemarin, gelar itu disematkan kepada Ketua Dewan Pembina Partai Gerindra, Prabowo Subiyanto oleh pemangku adat Toraja Utara.
Kini, Prabowo resmi menjadi keluarga besar Toraja dengan gelar Taruk Langi’. Pemberian gelar ini dilakukan saat upacara Rambu Solo’ atau upacara adat kematian di Siguntu, Kabupaten Toraja Utara. Rambu Solo’ adalah upacara kematian yang turun temurun diwariskan oleh penganut Aluk To Dolo (kepercayaan masyarakat Toraja sebelum masuknya Islam dan Nasrani) di daerah ini.
Prabowo dianggap sebagai keluarga besar masyarakat Toraja Utara. Dia diberi penghargaan sebagai permata bertahta cahaya dari tanah Jawa, pemimpin yang kokoh, dan kesatria perkasa Nusantara. Saat pemberian anugerah ini, Prabowo yang juga bakal menjadi calon presiden 2014 ini mengenakan pakaian khas Toraja, passapu atau penutup kepala. Pemangku adat juga memberikan parang Toraja.
Prabowo didampingi Permadi dan Ketua Partai Gerindra Sulsel Rudiyanto Asapa yang tak lain Bupati Sinjai. Hadir pula Gubernur Sulsel Syahrul Yasin Limpo dalam upacara adat adat kematian ini. Hadir juga Panglima Kodam VII Wirabuana Mayjen TNI Nizar, mantan Ketua PSSI Nurdin Halid, dan anggota DPRD Sulsel Kadir Halid.
Menurut Prabowo, adat istiadat di masyarakat harus terus dilestarikan sebagai bagian dari kekayaan bangsa ini. Dia mengatakan, gelar Taruk Langi’ yang diberikan pemangku adat Toraja adalah suatu kehormatan. Dia mengajak masyarakat Toraja hidup rukun dan damai dan rukun. “Itulah cita-cita kita bersama membangun masyarakat yang sejahtera, aman, dan adil.
Semoga saya tidak mengecewakan harapan kita semua,” katanya. Prabowo membantah kehadirannya di Sulsel sebagai upaya membangun kekuatan jelang Pemilu dan Pilpres 2014. Dia mengaku datang ke Toraja Utara atas undangan keluarga yang menggelar Rambu Solo’ dan tidak ada agenda politik. “Gak ada. Ini hanya undangan kekeluargaan saja,” katanya.
Prabowo diundang khusus oleh keluarga Rudiyanto Asapa atas meninggalnya ibu mertua Bupati Sinjai ini, Agnes Datu Sarungallo. Mertua Rudiyanto ini meninggal 16 Agustus lalu dan Rambu Solo’-nya baru dihelat kemarin. Rudiyanto memperistri putri pertama mendiang. Soal figur yang akan diusung Gerindra pada Pilgub Sulsel, Prabowo, enggan berkomentar banyak.
Dia mengatakan, sampai saat ini Gerindra belum menentukan sikap. “Nanti diolah oleh kader-kader di Sulsel sesuai kehendak rakyat Sulsel. Nanti akan kita godok siapa yang terbaik untuk rakyat,” ujarnya. Prosesi Rambu Solo’ kemarin adalah mappalao atau memindahkan jenazah mendiang dari alang ke sarigan. Jasad akan disemayamkan di lakkean sampai upacara Rambu Solo’ berakhir.
Mendiang Agnes meninggal 16 Agustus 2011 lalu. Namun, Rambu Solo’ baru dilaksana kan kemarin. Anak menantu mendiang, Kapten Inf Robinson Tallupadang yang tak lain Wadan Intel Kodam VII Wirabuana mengatakan, prosesi adat ini adalah bentuk pengabdian keluarga kepada orang tua yang telah meninggal.
Selain itu, menurut dia menjadi ajang pertemuan dengan sanak keluarga yang ada di perantauan. “Saya merantau di Jakarta dan pulang kampung khusus untuk menghadiri upacara adat rambu solo,”. 


Sumber : http://www.sangtorayan.com

Jumat, 28 Oktober 2011

"Toraja" Taman Surgawi

Toraja, sebuah kata yang indah dan sangat bersahabat di telinga siapapun yang mendengarnya. Seperti saat mendengar orang menyebut Bali. Dua daerah yang dari segi budaya dan adat istiadatnya hampir memiliki kesamaan. Demikian juga keindahan alamnya. Bedanya bahwa Bali lebih mengandalkan keindahan panorama laut sementara Toraja menawarkan keindahan panorama alamnya. Bali disebut-sebut 'pulau dewata', Toraja disebut sebagai 'tondok madeata' (paling tidak untuk saya sendiri, ckckckck…). Bali mengenal dewa-dewa, Toraja mengenal juga deata (dewa-dewa). Bali dan Toraja menjadi taman firdausnya Indonesia di mana wisatawan mancanegara dan domestik serasa dihipnotis untuk datang, melihat, dan merasakan indahnya negeri kayangan di bumi Indonesia.

Tetapi kini "Pulau dewata – Bali", semakin menunjukkan kepantasannya menyandang 'pujian' tersebut, dan Toraja sedang menuju alam baka dan perlahan ditinggalkan para wisatawan mancanegara dan domestik. Barangkali tepatlah kata anak-anak muda sekarang, "E,… malemo sau'". Kalau saya terjemahkan lurus-lurus ungkapan tersebut kira-kira sama dengan 'sudah sedang menuju ke alam baka'.
Kalau anda datang ke 'Pulau dewata – Bali', anda akan menjumpai patung para dewa dalam kemegahannya yang gagah, serasa sedang menghadirkan yang ilahi di tengah-tengah pulau dewata. Bahkan tidak tanggung-tanggung hotel-hotel berbintang dirancang sedemikian rupa untuk sungguh menghadirkan 'negeri para dewa' bagi anda, lengkap dengan bunyi gong berpadu dengan kesatuan alam yang tertata indah dan bersih. Bunga-bunga dan sesaji dipersembahkan oleh masyarakat bali untuk dewa-dewa mereka setiap hari serasa tidak pusing dengan modernitas yang sedang membanjiri negeri para dewa tersebut.
Tetapi 'negeri deata-negeri to madeata' Toraja telah dan sedang mengubur budaya dan tradisi leluhurnya. Bayangan "negeri kayangan" masih akan terasa saat sedang dalam perjalanan dari Endrekan ke arah Toraja, dengan pemandangan indah yang sungguh-sungguh mempesona. Panorama indah gunung nona di daerah Bamba Puang (Pintu Gerbang bertemu Tuhan atau tuan) seolah-olah sedang seperti sebuah pemanasan untuk masuk ke negeri kayangan yang sesungguhnya. Gunung nona yang sedang telanjang itu serasa sedang berkisah bahwa sesuatu yang lebih indah berada di balik sana, di negeri kayangan, Toraja. Ia seakan-akan berbicara dan mengundang siapa saja yang berhenti mengambil gambar untuk terus dan terus lagi bahwa sesuatu yang lebih indah akan anda jumpai di sana. Pemandangan indah itu seakan mengingatkan saja bahwa anda baru berada di gerbannya (Bamba).
Saat anda meneruskan perjalanan dengan harapa akan berjumpa dengan pemandangan yang lebih indah dari apa yang ada di gerbang (bamba), anda masih akan disambut dengan sebuah gerbang indah bertuliskan Selamat Datang di Toraja. Anda sekarang berada di daerah Salubarani, perbatasan Endrekang dengan Toraja, negeri kayangan yang sedang ada dalam bayangan anda. Di gerbang tersebut anda akan melihat sebuah rumah tongkonan di apit dengan empat patung sebuah keluarga yang sedang melambaikan tangan kepada anda dengan sejuta keramahan, persis di atas jalan raya yang anda lewati.
Rasa penasaran dalam diri anda semakin menggebu-gebu ingin segera melihat negeri kayangan itu, maka anda akan terpancing untuk menambah laju kendaraan kendati jalan dari Salubarani ke arah kota Makale berlekuk-lekuk, dengan tikungan yang tajam, tetapi jalan tersebut serasa tidak akan menghalangi anda untuk menekan gas kendaraan.

Anda pasti akan semakin penasaran karena bayangan negeri kayangan itu tidak nampak-nampak. Pemangdangan sekitar Mebali – Mengkendek tidak terlalu indah, rumah-rumah adat di jalan-jalan hampir tidak akan anda jumpai. Anda akan sedikit terhibur saat anda tiba di kilometer sembilan dari kota Makale, saat anda menyaksikan pemandangan indah daerah Randanan-Pangngulu-Marinding dengan gunung Kandora yang tampak indah menjulang tinggi bagai tangga ke surge (eran di langi').
Anda akan sedikit yakin dan tersadar bahwa sekarang anda sekarang sedang masuk ke daerah kayangan yang ada dalam bayangan anda.
Bila anda terus melaju, anda akan segera tiba di kota kecil Makale. Di kota kecil tersebut, anda akan disambut dengan pemandangan yang sedikit mengecewakan. Jalan-jalan masuk kota Makale sedikit macet dan tampak kumuh. Kendaraan-kendaraan diparkir seenaknya di kiri-kanan jalan. Setelah anda bersabar sedikit untuk lolos masuk ke pintu yang sempit kota Makale, anda akan disambut dengan patung raksasa Lakipadada yang tampak sedikit seram dan sangar. Sangat berbeda dengan patung para dewa di pulau dewata-Bali. Anda sekarang berada di "negeri deata – to madeata" Toraja. Patung raksasa Lakipadada di tengah kolam kota Makale sedang menyambut anda dengan wajah yang kaku dan keras; otot-ototnya yang kekar dan wajahnya tampak sangar dengan mulut yang sedikit terbuka seolah-olah ia sedang berteriak sambil memegang obor raksasa dengan pedang pusaka di pinggangnya. Sungguh menakutkan buat anda. Tetapi jangan anda terkejut. Konon patung itu adalah patung seorang Toraja yang tidak ingin mati kemudian mencari seorang mahaguru yang bisa mengajarinya ilmu tidak mati (hidup abadi) tetapi kemudian gagal mendapatkannya. Anda jangan terkejut melihat patung raksasa yang tampak tidak bersahabat tersebut. Barangkali ia sedang berteriak jengkel dan marah karena pulang tanpa hasil. Atau barangkali ia sedang menyambut anda dengan mimik jengkel layaknya seorang pembesar yang sedang marah dengan rakyatnya. Atau boleh jadi ia sedang menyambut anda dengan rasa malu ala pembesar karena anda akan pulang dengan kisah sedih dari negeri kayangan Toraja. Entahlah, silahkan lanjutkan perjalanan anda di negeri ini.
Kalau anda seorang pendatang baru dalam rangka melancong ke negeri kayangan Toraja, anda pasti lebih memilih untu terus berjalan ke utara, ke kota Rantepao di mana hotel-hotel bertebaran tak terhitung jumlahnya layaknya di pulau dewata Bali.
Tidak ada pemandangan indah antara Makale dan Rantepao. Tetapi saat anda meninggalkan kota Makale rasa penat yang sempat menerkam anda akan sedikit setelah menyaksikan alam negeri ini yang luas membentang kiri dan kanan jalan. Perjalanan anda akan sedikit terganggu dengan kondisi jalan poros Makale dengan Rantepao yang sedikit tidak terurus. Tetapi berjalan dan berjalanlah terus ke arah utara.
Mendekati kota Rantepao, lagi-lagi anda jangat terkejut karena anda tidak akan disambut dengan patung para dewa, atau to madeata, tetapi justur akan disambut dengan sebuah patung cantik kerbau belang yang sedang dipegang oleh seorang manusia pendek kecil (ne' pento') dan tampak seperti sedang berteriak kegirangan.
Lagi-lagi anda jangan terkejut melihat patung kerbau belang (saleko) tersebut. Anda memang sedang mengarah ke pasar hewan Pasar Bolu, di mana semua jenis kerbau, kecuali kerbau putih polos (tedong bulan) ditawarkan kepada siapa saja yang ingin membelinya. Atau jangan sampai anda sedang berpikir kalau anda akan sedang menuju kebun binatang. Tidak, anda sekarang sungguh-sungguh ada di negeri kayangan Toraja. Silahkan melanjutkan perjalanan anda.
Tinggal beberapa kilo saja anda akan berada di pusat kota Rantepao. Tetapi sekali lagi anda jangan terkejut menyaksikan kondisi kota yang kumuh dan tidak beraturan, sangat jauh dari apa yang anda lihat di Bali. Sekarang anda sedang berada di Toraja dan bukan Bali. Jangan anda bermimpi melihat kota Rantepao seperti Denpasar di Bali. Den duka pasa' (ada juga pasar) di Rantepao tetapi bukan seperti di Bali, tetapi pasa' tedong (pasar hewan kerbau) di Bolu. Hahaha, mari kita tertawa sejenak, karena anda pasti sudah lelah dan barangkali sedikit kecewa datang ke negeri kayangan Toraja.
Perjalanan anda belum berakhir. Toraja yang anda bayangkan tidak seluas Makale atau Rantepao saja. Silahkan anda ke hotel dan mintalah keterangan di sana tentang maksud kedatangan anda di negeri kayangan Toraja. Ada banyak hotel di kota Rantepao dan sekitarnya. Anda tinggal memilih sesuai dengan selera dan ketebalan dompet saja.
Kalau anda seorang tourist lokal dan tidak ingin ditemani oleh pemandu wisata hotel, anda bisa menyewa mobil sendiri lengkap dengan sopirnya, atau menyewa ojek juga lengkap dengan tukang ojeknya, atau hanya menyewa motor ojek saja. Kalau yang terakhir ini yang anda pilih, barangkali hati-hati saja. Boleh jadi anda mahir menggunakan kendaraan di jalan mulus tetapi tidak di jalan berbatu-batu. Karena hampir semua tempat wisata di daerah ini berada di daerah yang terpencil dengan kondisi jalan yang cukup parah. Belum lagi pengendara-pengendara roda dua dan roda empat termasuk roda enam dan juga roda tiga tidak terlalu disiplin dalam berlalu lintas.
Kalau anda ingin menyaksikan pemandangan alam yang indah, silahkan berjalan ke arah utara lewat kampung bernama Baranak – Tallunglipu dan terus ke Batutumonga. Saat kedatangan anda tepat waktu musim padi menguning, cost yang anda keluarkan boleh jadi cukup impas dengan apa yang anda lihat dan alami di negeri kayangan ini. Apalagi kalau anda cukup beruntung dan bisa mendapatkan pesta adat rambu tuka' dan rambu solo' yang kadang menelan biaya ratusan bahkan miliaran rupiah itu. Tetapi anda lagi-lagi jangan pulang dengan kesimpulan seperti itu. Sebagian terbesar juga pesta rambu tuka' dan rambu solo' yang dibuat dengan sangat sederhana.
Kalau anda ingin menikmati pemandangan indah dari atas puncak Batutumonga, jangan lupa membawa jaket karena udara di atas puncak itu cukup dingin untuk mereka yang datang dari kota. Jalan ke tempat tersebut cukup rusak parah. Tetapi dalam perjalanan tersebut mudah-mudahan anda bermenung sambil berkontemplasi karena anda akan segera menyaksikan pemandangan alam yang amat indah. Perjalanan yang melelahkan dengan kondisi jalan yang rusak akan memberi kenangan tersendiri bagi anda bahwa jalan menuju puncak selalu berbatu-batu dan tidak enak, tetapi setelah berada di atas anda akan segera lupa jalan berbatu-batu itu, karena anda sedang menyaksikan karya tangan Allah yang luar biasa. Di dekat Batutumoga indah itu ditawarkan sebuah tempat dimana anda akan bertanya dan bertanya terus tentang manusia Toraja. Lo'ko' Mata, sebuah batu besar yang dipahat untuk kemudian dijadikan makam atau kuburan. Lagi-lagi anda jangan terkejut saat mendengar bahwa untuk membuat lubang pada batu besar itu dibutuhkan waktu berbulan-bulan, tentunya dengan biaya yang mahal. Karena itu anda jangan membayangkan bahwa mereka yang dikuburkan di situ adalah orang sembarangan. Tetapi anda tidak perlu mencari di mana kuburan orang kecil, karena pasti tidak menjadi tempat tujuan wisata. Kecuali kalau turisnya adalah turis yang aneh.
Pemandangan indah yang lain ada di sebelah timur kota Rantepao. Nama tempatnya sudah sangat tidak asing lagi di telinga para pecandu kopi arabika Toraja asli, Bokin-Kare-Pantilang. Tetapi anda tidak perlu ke tempat ini karena tempat ini hanya dijangkau dengan kendaraan roda enam pada musim hujan. Itupun anda harus rela berdiri di atas trek, di antara barang-barang yang lain. Bersyukurlah kalau saat itu anda tidak sedang sial dan harus naik di atas trek yang sedang mengangkut babi atau barang-barang jualan para pedagang kampung. Jaraknya tidak terlalu jauh dari kota Rantepao, tetapi waktu yang akan anda habiskan dalam perjalanan ke tempat ini hampir dua kali lipat dari waktu anda ke Batutumonga indah. Kalaupun anda punya planing ke tempat tersebut, barangkali ditunda saja sampai mendapatkan informasi bahwa jalan-jalan sudah bagus, karena konon katanya pemerinta akan mengusahakan perbaikan jalan ke sana. Daerah ini menyimpan harta karun yang terlupakan tetapi lagi-lagi anda akan pulang dengan badan yang ngilu karena peralanan yang melelahkan. Di tempat tersebut selain dengan pemandangan alamnya yang indah, rumah-rumah adat 'tongkona' dibangun dimana-mana, tetapi juga karena di tempat tersebut terdapat beberapa peristiwa tak terselami oleh pikiran manusia. Ada mummi, jenazah manusia yang tidak termakan zaman seperti jenazah santa Bernadeth di Eropa sana. Ada juga daging hewan dengan nasi yang membatu dan konon setiap waktu bertambah besar. Tetapi lagi-lagi anda tidak perlu ke tempat itu, kecuali kalau anda seorang petualang sejati dan penikmat benda-benda antik. Kecuali itu, kalau anda seorang penikmat sejarah di tempat inilah dibangun pertama kalinya rumah batu bagaikan istana raja oleh Belanda. "Istana kecil" yang dibuat oleh Parengnge' Rante (satu-satunya parengnge' perempuan yang dipercaya Belanda kala itu), saudara dari Puang Rante Kata (seorang parengnge' terkenal pada zamannya) sudah tidak terurus lagi. Tempatnya sangat terpencil dan jalan ke tempat itu sangat sulit. Anda jangan bertanya mengapa Belanda kala itu meminta Toparengge' di tempat tersebut membangun 'istana kecil' di tengah hutan. Tidak jauh dari tempat tersebut ada sebuah batu raksasa di pinggir kolam yang menurut cerita rakyat menjadi tempat masuknya seorang anak remaja yang dikejar oleh ibunya akibat kesalahan fatal yang telah dibuatnya. Batu itu sebesar rumah Toraja. Kalaupun anda nekat datang ke tempat tersebut, mohon anda menjaga sopan santun dalam hal berbicara. Anda jangan coba-coba takabur saat berada dekat kolam di dekat batu raksasa itu. Di daerah yang indah dengan harta karun yang terlupakan itu juga anda bisa mampir menikmati panorama wiata pertanian (agro wisata). Anda bisa mampir ke tempat pengolahan kopi Toraja arabika asli yang diolah secara tradisional; mulai dari penanaman (tanpa pupuk kimia), pemetikan, pengolahan di ruang penggorengan sampai pengepakan semuanya serba tradisional. Segelas kopi Toraja arabika tumbuk dari lereng pedamaran Bokin ini akan membuat anda mampu memahami mengapa pada abad-abad yang lalu terjadi apa yang dicatata dalam sejarah Toraja dengan catatan 'perang kopi di Toraja'. Anda tidak perlu mencari tahu mengapa perang itu terjadi karena akan terjawab sendiri saat anda menikmati kopi Toraja arabika asli dari daerah tersebut.
Perjalanan anda di negeri kayangan belum berakhir. Anda barangkali sudah lelah berjalan menyusuri jalan-jalan yang rusak dan berbatu-batu, lagi-lagi tidak seperti jalan-jalan di pulau dewata – Bali, dan aku sendiri rupanya sudah muali lelah juga menemani perjalanan anda. Tetapi aku harus menemani anda sampai meniggalkan negeri kayangan Toraja ini.
Kalau anda seorang pencinta benda-benda bersejarah dan tidak menyempatkan diri mengunjungi daerah Bokin-Karre-Pantilang yang menyimpan harta karun terlupakan itu, anda bisa berjalan-jalan ke daerah Ke'te' Kesu'. Tempat seperti ini biasanya menjadi tempat yang selalu dikunjungi oleh para wisatawan mancanegara ataupun domestic. Karena itu jangan anda melewatkannya dalam catatan perjalanan anda di negeri kayangan Toraja ini. Anda jangan menghabiskan waktu mengagumi rumah-rumah Toraja dan lumbung-lumbung padi yang telah berusia sekitar seratusan tahun itu, karena anda bisa menjumpainya dalam perjalanan anda di kampung-kampung yang lain di negeri kayangan. Anda cukup mengagumi arsitekturnya saja karena rumah-rumah itu dibuat tanpa menggunakan satu biji paku atau baut. Kayu-kayu itu disambung dengan cara kait-mengait satu dengan yang lain. Atapnya rumah itu yang ditumbuhi dengan bunga-bunga dan angrek hutan sengaja dibiarkan tumbuh di atas. Anda jangan heran mengapa sang pemiliknya tidak mencabut rumput di atas atap rumah tersebut demi menambah keangkeran tongkonan tersebut. Di tempat itu, berjalanlah ke belakang untuk melihat bagaimana manusia Toraja pada zaman dahulu menyimpan dan menguburkan jenazah. Selain memahat batu seperti yang anda lihat di Lo'ko' Mata atau di tempat-tempat yang lain, manusia dari negeri kayangan ini juga menyimpan jenazah dalam peti kayu ulin yang tahan hujan dan panas terik alias tidak termakan zaman kemudian menggantungnya di tebing batu. Anda jangan terkejut kalau mendapat informasi dari orang-orang di sekitar tempat itu dan mengatakan kalau usia peti jenazah kayu yang digantung itu (erong) sudah berusia ratusan tahun. Anda harus percaya dan tidak perlu meragukannya. Anda juga tidak perlu bertanya mengapa kuburan gantung itu hanya beberapa saja. Karena mereka yang dikuburkan dalam peti kayu itu hanyalah orang-orang tertentu saja, yang dipesta dengan pesta paling meriah dalam beberapa hari bahkan minggu.
Anda baru mengunjungi beberapa sudut negeri kayangan ini. Di pelosok-pelosok desa masih ada puluhan tempat yang tidak mungkin anda kunjungi dalam kunjungan anda ke negeri kayangan Toraja ini. Tetapi baik kalau anda mengarahkan kemudi ke arah selatan dari Ke'te' Kesu' menuju daerah kelahiran Lakipadada yakni Sangalla'. Saat masuk dalam daerah ini, anda harus menjaga diri dengan baik dalah hal tutur kata dan bahasa karena anda sedang memasuki daera "Tallu lembangna" (tiga daerah kapuangan: negeri yang dipimpin seorang puang atau raja yakni Makale, Sangalla', dan Mengkendek). Saat anda masuk ke daerah tersebut, anda tidak perlu takut. Keamanan terjamin karena semua orang di daerah ini baik dan hormat pada tamu-tamu yang datang ke daerah mereka. Mereka punya prinsip, "Anda sopan kami pun segan, anda kurang ajar kami akan ajar".
Anda jangan terkejut saat masuk gerbang negeri ini dan mendengar kakek-kakek tua atau anak-anak kecil menyapa anda dalam bahasa Ingris atau Jerman. Mereka sudah terbiasa berjumpa dengan orang-orang asing yang datang ke tempat itu. Tapi sebelum masuk kota Sangalla', negeri kelahiran Puang Lakipadada yang diabadikan dengan patungnya raksasa Lakipadada di tengah kota Makale, sebaiknya anda menyempatkan jalan-jalan ke kambung sebelum negeri kelahiran Lakipadada. Sebuah kampung yang didaulat oleh dinas pariwisata Tana Toraja sebagai perkampungan wisata. Entah apa alasannya. Di kampung itu anda akan menyaksikan rumah-rumah adat Toraja yang menjamur dibangun di mana-mana. Barangkali karena itu dinas pariwisata mendaulatnya menjadi perkampungan wisata. Tetapi anda tidak perlu terlalu terpesona dengan bangunan-bangunan tua yang ada di tempat itu dan anda jangan menghabiskan waktu terlalu banyak untuk pemandangan indah dalam perjalanan sepanjang perkampungan wisata itu. Lebih baik anda mengarahkan langka anda ke sebuah tempat yang sangat bersejarah dalam sejarah Toraja. Di tempat itulah seorang genius dari daerah itu berhasil mengumpulkan semua orang-orang berpengaruh di setiap kampung di negeri ini untuk berkumpul dan mengadakan rapat raksasa sekaligus menyusun strategi perang untuk musuh yang mencoba memasuki negeri kayangan Toraja. Dari tempat itu jugalah diproklamirkan, atau setidak-tidaknya ditegaskan kembali oleh topadatindo (orang yang mimpinya sama pada malam yang sama, atau lebih tepat dikatakan orang-orang yang memiliki harapan atau dream yang sama untuk negeri kayangan Toraja ini) apa yang konon katanya pernah dicanangkan dan diimpikan oleh Puang Tamborolangi', yakni "Tondok Lepongan Bulan – Tana Matari'allo", yang diikat dalam semboyan perjuangan mereka "Misa' kada dipotuo – pantan kada dipomate". Tetapi anda harus rela jalan kaki sekitar satu setengah jam untuk sampai ke tempat bersejarah itu. Mohon anda tidak bertanya mengapa negeri lepongan bulan tana matari'allo sekarang telah terbagi dua? Katanya demi praktisnya pelayanan kepada rakyat di negeri kayangan Toraja ini. Tempat dimana para bijak dan para penguasa dari berbagai daerah di negeri ini berkumpul di Sarira adalah To' Sendana atau To' Pasa'. Disebut "To' Sendana" karena sewaktu terjadi perang melawan musuh semua rancangan dan strategi perang diatur dan disusun di tempat tersebut, termasuk hasil kombongan dengan semboyan di atas diproklamasikan atau ditegaskan sebagai sebuah komitmen bersama seluruh Toraja. Tidaka ada yang keberatan pada waktu itu maka ditanamlah sendana sebagai tanda kesepakatan bersama yang kemudian diikuti dengan namanya basse (kesepakatan bersama yang diikat dalam persembahan darah; tidak boleh ada yang melanggarnya).
Topadatindo ini kemudian pulang ke daerah masing-masing di seluruh negeri kayangan Toraja dan memberitahukan kepada warga apa yang mereka bicarakan dan putuskan bersama, termasuk memberitahukan warga rahasia taktik perang dari To' Sendana – Sarira. Dari tempat itu jugalah dipandu seluruh perintah terjun perang kepada semua warga di negeri kayagan Toraja saat sang pemimpin perang merasa sudah saatnya untuk perang. Tandanya hanya sebuah obor raksasa dinyalakan di tempat tersebut. Karena tempat itu berada di atas gunung Sarira yang tinggi maka saat obor raksasa sebagai tanda kode terjun ke medan perang dilihat oleh semua warga, maka tanpa menunggu perintah lain mereka langsung terjun dan menghabisi musu yang terlena karena tidak menyangka bahwa musuhnya datang bagaikan semut mengepung mereka tanpa melihat ada perintah dari siapapun. Sayang bahwa tempat itu sekarang terbengkalai dan tidak terurus.
Setelah sukses dalam perang, rasa syukur dinyatakan dan diungkapkan dengan mengambil persembahan menurut kebiasaan mereka pada zaman itu dan dari Sarira bertolak ke Pata'padang (pusar bumi) Manggape-Randanbatu. Anda tidak perlu bertanya mengapa tempat itu (Pata'padang) dianggap sebagai tempat syukuran besar-besaran dan mengapa dianggap sebagai pusatnya bumi.
Harap anda masih punya cukup energy untuk berjalan mengelilingi negeri kayangan Toraja ini. Sekarang anda berjalanlah ke arah selatan menuju negeri kelahiran Puang Lakipadada, seorang bangasawan yang tidak ingin mati itu. Anda belum tiba di daerah kelahiran Lakipadada. Daerah To' Sendana – Sarira tidak masuk dalam daerah kekuasaan Puang Sangalla' dari Tallu Lembangna. Anda terus ke selatan dan akan bertemu dengan daerah Sangalla', Suaya dan Kaera. Tetapi sebagian dari wisatawan lebih suka mengunjungi kuburan gantung di Suaya seperti yang ada di Ke'te' Kesu', dengan erong yang sudah berumur ratusan tahun tetapi sepertinya baru dibuat beberapa tahun lalu. Atau mengunjungi daerah Kambira', tempat yang sangat khas sebagai tempat menguburkan bayi-bayi dalam pohon yang masih hidup dan bertumbuh. Tidak semua daerah di negeri kayangan ini membuat kuburan bayi dalam pohon seperti di daerah Sangalla' dan sekitarnya. Di dalam pohon besar yang sedang bertumbuh layaknya pohon-pohon besar lainnya ditanam jenazah bayi-bayi tak berdosa saat meninggal dunia. Kalau anda bertanya, maka jawaban masyarakat di sekitar tempat itu hanya satu, mereka tetap hidup kendati sudah mati karenanya pohon hidup itu diminta untuk membiarkannya tetap hidup.
"Toraja, negeri yang indah", demikian kesan tamu-tamuku itu saat pamitan denganku. Sebuah kesan yang mengundang permenungan yang mendalam buatku. Sungguhkan Toraja ini sebagai sebuah negeri yang inda? Dan dimakah keindahanmu?
Toraja dengan kekayaan budaya dan keindahan alamnya yang sempat menghipnotis dunia tidak boleh tinggal kenangan di masa depan tetapi sungguh-sungguh menjadi negeri kayangan di jaman modern. Semuanya belum terlambat. Sisa-sisa keindahan dan kekayaan negeri ini masih sayup-sayup kelihatan. Inner beautynya masih tampak keluar kendati tidak seperti dulu saat inner beatynya menyatu dengan alam yang indah dan budayanya yang amat kaya. Sebagian besar tempat-tempat wisata masih bisa dibenahi. Keindahan kota yang menampilkan watak manusia ambradul masih bisa dipoles, alam yang mulai dirusak toh juga belum terlambat untuk dihentikan, dan seni budaya yang hampir hilang masih bisa dipupuk kembali. Semuanya hanya membutuhkan komitmen bersama, "Mari bermimpi bersama menghadirkan kembali negeri kayangan yang telah, sedang, dan akan berjalan ke alam baka".
Mimpi bersama semua masyarakat negeri ini di manapun berada untuk bekerja sama dengan pemerinta, bergandengan tangan bersama membangun negeri impian, Taman surgawi Toraja. Caranya tidak sulit dan sangat sederhana yakni membangun sebuah image sedang hidup di negeri kayangan layaknya orang-orang Bali membangun negeri para dewa di pulau dewata.
Setiap elemen daerah ini bertanggungjawab dalam tugas dan kapasitanya masing-masing. Pemerintah betanggunjawab dalam hal infrastruktur yang sekarang sangat memprihatinkan, keindahan kota yang sekarang sangat hancur, dan keamanan masyarakat dan semua wisatawan yang datang ke negeri ini. Sementara seluruh masyarakat bertanggung jawab mempercantik serta menciptakan suasana surgawi dalam kampung dan daerah masing-masing; keindahan rumah tongkonan, keramahan masyarakat kepada semua saja yang datang, dan kewajiban memelihara keindahan alam dan tempat-tempat wisata yang ada. Dan secara bersama-sama menggali dan menumbuhkan kembali seni budaya yang pernah ada di negeri Taman surgawi-negeri kayangan Toraja ini. Karena hanya dengan itu, kita boleh berkata kepada semua saja yang datang ke negeri ini, "Selamat datang di negeri kayangan – Taman surgawi Toraja. Semoga Anda pulang lebih bahagia daripada saat Anda datang ke negeri ini".
Sumber"

Selasa, 13 September 2011

Persekutuan Orang Toraja

  • Lambang persekutuan Toraja ialah Tongkonan berdasarkan hubungan kekerabatan/keturanan Darah Daging. Prinsip Tongkonan ialah  bahwa setiap keluarga- sepasang suami istri- membangun rumah atas usaha sendiri atau secara bersama-sama dengan anak-anak dan cucu-cucu. Rumah itu adalah Tongkonan dari setiap orang yang berada dalam garis keturunan dari suami-istri yang mendirikan rumah. Orang Toraja cukup mudah menelusuri garis keturunannya melalui hubungan Tongkonan. Seseorang biusa menjadi Tongkonan dari berbagai Tongkonan, karena orang Toraja tentunya kawin-kawin antara berbagai Tongkonan. Tongkonan yang pertama di kenal adalah Tongkonan Banua Puang di Marinding yang di bangun oleh Tangdilino’. Jadi orang Toraja adalah satu persekutuan, walaupun dengan struktur masyarakat yang berbeda-beda. Ossoran Nene’ Silsila orang Toraja – akhirnya bermuara pada persekutuan Sangtorayan yang berasal dari Tongkonan Banua Puang.
  • Gotong ronyong adalah ciri khas masyarakat tradisional. Motif utama adalah saling membutuhkan, teristimewa di bidang kerja sawah, atau dalam menghadapi Rambu Tuka’, Rambu Solo’. Kasiturusan ikatan gotong royong adalah semacam asuransi atau arisan sosial yang pada dasa mengharapkan imbalan, namum, tidak perlu ditagih, apalagi bahwa jasa yang diharapa itu setimpal dengan yang pernah di berikan. Nilai gotong royong disini bukanlah nilai ekonomis melainkan nilai partisipasi dalam persekutuan. Orang yang tidak ikut berpartisipasi bisa di cap Ti’pek Lanmai Kasiturusan/ atau Kada Kalebu keluar dari persekutuan. Contoh pada menjamu  tamu (Ma’toratu) : apabila satu keluarga tiba-tiba kedatangan tamu, apalagi tamu terhormat, maka menurut kebiasaan/adat tuan rumah akan berusaha menjamu tamu sebaik mungkin. Maka di potonglah seekor Babi bila itu memungkinkan. Para tetangga akan serentak berpartisipasi, buka saja dengahn sumbangan tenaga, melainkan dengan apa saja yang dibutuhkan untuk menjamu tamu itu sebaik mungkin.
  • Saling memberi adalah pula tanda persekutuan. Dalam bentuk modern sekarang tanda persekutuan itu masih dapat para peserta nikah kota-kota. Orang sering memberi hadiah bukan dari segi ekonomis untuk membantu keluarga baru itu, melainkan primer sebagai ungkapan hunbungan yang akrap,ungkapan rasa yang beradadalam satu persekutuan.
  • Pengembalian pemberian. Kalau seorang memberi garam atau lombok kepda tetangga lalu dibayar kembali, maka hal itu merupakan penghinaan atau penolakan hunbungan persekutuan. Hal itu berarti bahwa yang bersangkutuan tidak ingin orang lain meminta bantuan dari padanya, pembayaran utang pada Rambu Solo’ tidak dilihat dari segi ekonomis : melainkan dari segi saling mengakui sebagai anggota persekutuan, memberi bukanlah soal formal, melainkan merupakan kewajiban yang tidak tertulis dan tidak mutlak dianggap hutang. Namun perkembangan modern menformalkan saling memberi itu menjadi hutang- piutang yang akhirnya mengurangi atau bahkan membahayakan motif persekutuan.
  • Kehadiran pada suatu pesta baik pada Rambu Tuka’ atau Rambu Solo’, dalah tanda persekutuan. Kehadiran seseorang tidak bisa diganti oleh Babi atau Kerbau, sekalipun mungkin ada “Hutang” yang mau di bayar. Tidak pantas hanya mengirim Babi atau Kerbau. Absensia seseorang bisa dianggap penghinaan atau paling tidak menganggu hubungan persekutuan.
  • Dari ungkapan-ungkapan dapat pula kita menarik betapa tingginya nilai persekutuan itu dalam kehidupan orang Toraja. “Misa’ Kada di Potuo, Panta Kada di Pomate”. Asal mula ungkapan ini tidak terlalu jelas. Menurut beberapa informal asalnya dari “Tonna Titulak Buntunna Bone” – waktu perang melawan Bone, para pemimpin Toraja, To Paditindo, mempersatukan diri membendung kekuatan Bone, bahkan mengusir orang Bone kembali ke negerinya. “Besatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. “Tengko Situru’, batakan Siolanan”. Kebenaran ungkapan ini telah terbukti dalam sejarah Untulak Buntunna Bone. Ungkapan yang lebih asli menurut istilah konteksnya ialah : “ Sangkutu’ Banne, Sangbuke Amboran”...Persekutuan itu bagaikan serumpun seikat benih padi, bagaikan benih yang penuh takaran untuk ditaburkan. Gambaran paralelisme ini mengungkapkan suatu persekutuan tanpa perbedaan semuanya adalah benih-benih yang sama dan disatukan/dipersekutukan dalam satun ikatan atau dalam satu tempat benih. Kutu’ adalah himpunan butir-butir. Banne adalah bibit yang terpilih dari butir-butir yang terbaik, penuh dengan daya hidup. Buke = sangat penuh. Sangbuke berarti takaran dari butir-butir padi dari Kutu’ bibit. Istilah ini menggambarkan suatu persekutuan yang dinamis dan penuh vitalitas. Dari istilah “Misa’ Kada Di Potuo, Pantan Kada Di Pomate”, memang terbayang suatu persekutuan tetapi persekutuan demikian belum menjamin persamaan dalam persekutuan itu, karena orang bisa saja bersatu dibawah satu komando karena ketaatan entah kepada kepentingan bersama. Selanjutnya unsur persekutuan masih bisa di jabarkan dari nilai-nilai hidup lainnya.

Rabu, 31 Agustus 2011

Toraja Yang Berwawasan Budaya


Setiap unsur kebudayaan mengandung simbol yang sarat dengan makna denotasi dan pragmatis, yang saling berhubungan satu dengan lainnya dan dipraktikkan oleh unit sosial masyarakat tertentu dalam dimensi ruang dan waktu tertentu. Demikian halnya kebudayaan Toraja yang bersifat kompleks.
Kompleksitasnya itu ditandai dengan berbagai unsur seperti agama Alukta, upacara-upacara yang sarat makna, sistem pengetahuan, organisasi sosial, pertanian dan sebagainya. Simbol-simbol dari unsur kebudayaan masyarakat Toraja yang sarat dengan makna perlu untuk dikembangkan dan terus dipupuk sebagai perekat integrasi sosial masyarakat Toraja yang memiliki ciri dan keunikan dalam budayanya.
Kemajemukan masyarakat Toraja dapat dilihat adanya kelompok masyarakat di samping menganut falsafah Toraja, juga sudah menganut agama yang lain dari Alukta (agama leluhur). Kemajemukan pada tingkat ini semakin menjadi rumit oleh terdapatnya stratifikasi sosial tradisional yang cukup berpengaruh di beberapa tempat. Dengan demikian terdapat pula lapisan-lapisan budaya yang saling berinteraksi yang didukung oleh berbagai unit sosial masyarakat yang mempraktikkan budaya ini dengan maksud, rencana dan motivasi-motivasi tertentu. Hal inilah yang dapat menyebabkan konflik internal.
Di saat seperti inilah kembali dirindukannya sosok Lakipapa yang dapat mengembalikan dimensi ide dan cara berpikir masyarakat Toraja sebagai suatu entitas dan proses akal yang meliputi seluruh konsep, proposisi, sistem nilai yang dibagi bersama untuk masyarakat Toraja, dan bagaimana sikap-sikap dan cara menanganinya. Nilai-nilai tersebut yang bersifat abstrak perlu dieksternalisasikan ke dalam bentuk-bentuk budaya yang dicapai dan dimengerti oleh masyarakat Toraja pada umumnya. Hasil itu kemudian didistribusikan secara sosial dengan cara bagaimana makna budaya kolektif tersebut dan bentuk-bentuk eksternal yang sarat dengan makna tersebar di masyarakat luas dan bagaimana hubungan antara satu dengan yang lainnya.
Sekiranya ini dapat terwujud, maka kemungkinan besar ditemukan masyarakat Toraja yang saling berinteraksi dan membentuk suatu identitas ke-Toraja-an. Suatu identitas yang dapat menunjang integrasi nasional.
Budaya Toraja yang berkembang dari Aluk Todolo-Alukta (agama dan kepercayaan) mengandung makna yang luar biasa. Misalnya dalam upacara kematian (death ritual) dan syukuran (life ritual). Meskipun sebagian masyarakat menganggap upacara tersebut memakan biaya yang begitu tinggi (mahal), jauh lebih rumit dan menakutkan, namun jika ditilik dari segi dampak, secara sosial ekonomis, memberikan sesuatu makna minimal semangat kebersamaan. Misalnya, membangun Lantang secara bersama-sama dan tidak digaji, cukup dengan menyiapkan makanan dengan lauk dan setelah upacara mereka diberikan atau dibagikan daging kerbau yang dipotong.
Banyak keluarga dan handai tolan dari keluarga yang berduka untuk meluangkan waktunya berpartisipasi dalam kegiatan tersebut. Ada yang datang dengan rombongan menunjukkan simpatinya membawa sumbangan baik berupa kerbau, babi, tuak, gula atau rokok. Rombongan-rombongan tersebut dijamu sebagai tamu kehormatan.
Memang, kegiatan ini memakan biaya yang begitu besar. Akan tetapi, jika dilihat dari segi makro yaitu dari sisi masyarakat secara keseluruhan, ternyata upacara tersebut memberikan sumbangan yang menguntungkan bagi perekonomian masyarakat Toraja, sebab secara teoritis, pengeluaran seseorang yang besar akan menjadi pendapatan bagi orang lain. Hal ini berarti jumlah pengeluaran bagi penyelenggara upacara, merupakan pendapatan yang besar bagi kelompok masyarakat lainnya. Di samping itu, juga menopang sektor pariwisata.
Dalam membangun masyarakat Toraja, perlu memperhatikan aspek budayanya. Sebab nilai-nilai luhur yang muncul dalam tatanan simbol, mengandung makna yang dapat menunjang integrasi sosial seperti nilai keagamaan, nilai kemasyarakatan dan nilai yang berkaitan dengan manusia Toraja sebagai pencipta karya.
Manusia Toraja baru menjadi manusia sebenarnya (Tau Tongen) apabila dalam kehidupannya ia mampu dan berhasil melaksanakan upacara kehidupan (aluk rampe matallo) dan upacara kematian (aluk rampe matampu) mulai dari pelaksanaan aluk yang paling rendah sampai ke aluk yang lebih tinggi (bua). Dalam hal ini, perlu diketahui bahwa manusia Toraja adalah manusia yang religius.
Nilai tongkonan, misalnya menyimbolkan tentang pandangan orang Toraja tentang apa hakekat masyarakat di mana simbol ini lebih banyak berbicara mengenai hubungan sosial dalam masyarakat yaitu hubungan kekerabatan dan perkawinan, dan hubungan sosial lainnya baik secara horisontal maupun vertikal. Hubungan-hubungan tersebut dilandasi oleh tekad persatuan dan kesatuan, serta semangat kegotongroyongan. Hal ini dapat dilihat dari ungkapan-ungkapan masyarakat Toraja, di antaranya sipadiong lisunna pala, sipolan se?ponna kalepak, setia sekata, saling menghormati, saling melindungi satu sama lain. Misa' kada dipotuo pantan kad dipomate, bersatu kita teguh, bercerai kita runtuh.
Makna simbol tersebut dikaitkan dengan pembangunan masyarakat Toraja adalah pondasi yang sangat kuat, terutama keterpaduan antara agama dan masyarakat, bahwa dalam pandangan budaya Toraja, mustahil memikirkan masyarakat tanpa agama dan demikian pula sebaliknya.
Toraja dengan Tongkonannnya, merupakan suatu karya seni yang melambangkan bahwa manusia-manusia Toraja memiliki etos kerja. Tongkonan hanya dihasilkan oleh orang-orang yang mau bekerja keras, sebagaimana salah satu ciri orang Toraja yang ulet dan giat berusaha, etos kerja yang tinggi, inovatif kreatif, keharmonisan. Tongkonan mengandung makna keharmonisan di mana dalam berbagai aspek tergambar keharmonisan kosmos, ritus syukuran dan ritus kematian, hubungan sosial, semuanya ini tergambar dalam pranata tongkonan. Di samping itu, simbol kejujuran dan keikhlasan, yang tampak dalam tekad persatuan dan kesatuan, kegotongroyongan dan kekeluargaan yang sangat tampak dalam setiap pelaksanaan upacara.
Semangat atau spirit budaya Toraja itulah yang penting untuk menopang pembangunan masyarakat di Toraja, khususnya dalam pengambilan kebijakan pembangunan masyarakat Toraja. Dalam hal ini, Toraja yang melekat dengan budaya, Toraja dengan semangat kegotongroyongan, Toraja dengan semangat dan etos kerja yang tinggi, Toraja dengan inovasi dan kreativitasnya, Toraja dengan kehidupan masyarakat yang harmonis, penuh kejujuran dan keikhlasan, sebagaimana tergambar dalam upacara-upacara yang begitu bermakna. Tongkonan janganlah menjadi tontonan saja, tetapi simbol dan makna tongkonan memberikan semangat dan jati diri bagi masyarakat Toraja untuk terus maju.
Toraja dapat dibangun dengan kebersamaan, etos kerja, inovasi dan kreativitas, keharmonisan yang dilandasi oleh semangat kegotongroyongan yang bersimbol dari makna-makna budaya masyarakat Toraja. Toraja teruslah maju, selamat Hari Ulang Tahun bagi masyarakat Toraja, semoga cita-cita dan usaha kerja keras membawa kepada masyarakat Toraja yang maju dan sukses selalu. Sekali lagi, selamat hari ulang tahun Pemerintah Kabupatan Tana Toraja.

Sumber :Kompas

Senin, 29 Agustus 2011

Terancamnya Nilai Demokrasi dengan Kedatangan Tomanurun


Disisi lain keturunan Puang Tambora Langi sebagai pelaksana Aluk Sanda dalam perkembangannya memposisikan dirinya menjadi supra struktur di atas komunitas yang merupakan cikal bakal terbentuknya strata sosial, feodalisme atau pemerintahan kerajaan. Harapan semula untuk menjadi juru damai antar komunitas dalam perjalanan sejarahnya terpaksa mencari basis kekuasaan yaitu terbentuknya lembaga supra di atas komunitas yang dibeberapa tempat dilegitimasi melalui Kombongan Kalua antar Komunitas antara lain Sanggala yang digelar Limbu Apana dan To Sereala Penanianna (gabungan empat Komunitas adat besar yang terdiri dari 12 komunitas basis). Penguatan kelembagaan adat dan dapat dilihat di Sanggala dengan terbentuknya Kelembagaan Kombongan Kalua To Maduang Salu (rakyat banyak) yang mengontrol kelembagaan Supra Komunitas.
Oleh karena hasil Kombongan Kalua, maka nilai dan struktur kelembagaan tersebut bertahan terus dan dihormati oleh masyarakat sampai dikeluarkannya UU/5/79. Sanggala dijadikan kecamatan dan lembaga adat dibuat tidak berfungsi dan tidak berdaya.
Struktur Kelembagaan
Komunitas atau Lembang merupakan sebuah wilayah Masyarakat Hukum Adat yang mempunyai struktur dan perangkat lembaga adat yang dinamakanTongkonan dan dipimpin oleh Pemangku Adat atau To Parenge.
Sejak dari To Puan dalam perkembangannya sekarang ini ada beberapa aspek yang sangat mendasar serta melembaga dalam pergaulan sosial suku Toraja, yakni :
  • Hidup berkelompok dalam suatu komunitas yang dinamakan Lembang 
  • Ada pemimpin atau yang dituakan dan; 
  • Nilai demokrasi melalui Kombongan merupakan kekuasaan yang tertinggi(untesse batu mapipang).
Di Tana Toraja terdapat 32 Masyarakat Adat yang mandiri dan mempunyai aturan masing-masing yang berbeda. Namun tetap terikat dalam Sang Torayaan yang digelar To Sanglepongan Bulan Tana Matari Allo (bundar bagaikan bulan purnama bersinar bagaikan matahari pagi).  Diikat oleh nilai yang diwarisi dan leluhur yang sama.

Minggu, 28 Agustus 2011

Aluk Sanda Saratu'

To Manurun atau orang yang diturunkan dari kayangan. Setelah berlangsung beberapa generasi dimana manusia mulai berkembang dengan diiringi oleh terbentuknya Lembang baru. Hal ini mulai menimbulkan persaingan dan pertikaian antar kelompok. Karena Aluk Sanda Pitunna hanya mengatur intern kelompok, maka tidak dapat lagi mengatur hubungan antar Lembang. Maka oleh dewa diturunkanlah Aluk Sanda Saratu aturan serba seratus yang mengatur hubungan antar komunitas atau antar lembang. Prinsip dasar adalah persatuan dan kesatuan dengan motto “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada Dipomate.” Strategi sebagai pintu masuk adalah dengan pengembangan sejarah dan ikatan silsilah kekeluargaan antar Tongkonan yang menggambarkan kesatuan asal keturunan dan persamaan nasib. Seluruh wilayah permukiman To Lembang dikoordinir dalam satu kesatuan yang dinamakan Tondok Lepongan Bulan Tana Matari AlloDibentuk Forum Koordinasi yang mengatur tata hubungan antar lembang dan penyelesaian sengketa antar Lembang yang dinamakan Kombongan Kalua Sang Lepongan Bulan.
Aturan tersebut tidak dapat berjalan karena tidak ada yang menjalankan atau tidak ada satupun dari Lembang yang ada dan mampu mengkoordinir. Oleh karena itu diturunkanlah dari langit Puang Tamborolangi dan mendarat di Puncak Gunung Kandora sebagai pelaksana aturan Sanda Saratu. Puang Tamboro Langi inilah yang merupakan nenek moyang raja-raja di Sulawesi khususnya di Selatan, Tengah dan Tenggara.
Apabila dikaji secara mendalam maka makna dari cerita tersebut adalah “bahwa eksistensi raja atau pemimpin di Toraja diturunkan dari khayangan untuk melaksanakan peraturan demi kepentingan masyarakat,” jadi peraturan Sanda Saratu bukan untuk kepentingan raja tetapi untuk kepentingan rakyat dan bila tidak dapat mengemban tugas, maka raja diturunkan oleh dewa melalui Kombongan Kalua. Kombongan Kalua sebagai alat dari Dewa berarti suara rakyat peserta kombongan diindentikkan dengan suara Dewa atau dengan kata lain adalah dewa dan keputusan Kombongan Titah Dewa.
Upaya dan proses perkembangan tersebut di atas dimana komunitas dengan kelembagaan adatnya yang terbangun dari dan oleh mereka sendiri melalui musyawarah menciptakan suatu organisasi yang dinamis, mapan dan dapat menghadapi perubahan-perubahan.
Berasal dari sejarah asal-usul dan tradisi setempat dimana proses waktu serta dinamika pola interaksi sosial antar anggota komunitas serta dengan alam lingkungannya menghasilkan berbagai keragaman komunitas. Keragaman budaya, sistem pemerintahan, sistem hukum serta kearifan tradisional sangat dipengaruhi oleh hal-hal tersebut di atas. Dapat dipahami bila sebelum Pemerintahan Kolonial didapati berbagai ragam komunitas-komunitas yang berdaulat. Keragaman dalam tradisi, sejarah, adat-istiadat sistem pemerintahan merupakan kekayaan budaya bangsa yang diakui melalui semboyan “Bhinneka Tunggal Ika.” Di Toraja Komunitas Lembang diikat melalui semboyan “Misa Kada Dipotuo Pantan Kada di Pomate Lan Lilina Lepongan Bulan Tana Matari Allo.”