Rabu, 24 Agustus 2011

“Ma`Tundan” (Membangunkan Arwah)


Bagi suku Toraja, “Rambu Solo” adalah upacara untuk memakamkan leluhur atau orang tua tercinta. Tradisi leluhur ini sekaligus menjadi perekat kekerabatan masyarakat Toraja terhadap tanah kelahiran nenek moyang mereka.
Suatu malam di dataran tinggi Tanah Toraja. Saat itu, malam kian larut ketika sang bulan memancarkan pantulan cahayanya. Di sekeliling halaman Tongkonan atau rumah adat Tana Toraja terlihat sanak saudara dan para keluarga berkumpul menandai dimulainya pembukaan ritual pemakaman adat Toraja. Suasana pun menjadi sakral ketika mereka bersama-sama melantunkan syair kesedihan dalam tarian Mabadong. Tarian ini menyimbolkan ratapan kesedihan mengingat jasa mendiang semasa hidupnya serta sebagai ungkapan dukacita bagi orang-orang yang ditinggalkannya.
Tana Toraja di Sulawesi Selatan adalah daerah yang indah. Wilayah kabupaten ini didominasi dataran tinggi. Hamparan pegunungan dan perbukitan pun seolah menjadi saksi bisu asal muasal kehidupan manusia di sana. Di kaki pegunungan Kandora, misalnya beragam kisah dan legenda mengiringi munculnya masyarakat Toraja.
Syahdan sekitar 15 abad yang lalu, sekumpulan imigran dari Teluk Tongkin, daratan Tiongkok, berlabuh di kawasan pegunungan sebelah barat Sulawesi Selatan. Para imigran asal Tiongkok ini akhirnya memilih menetap dan membaur dengan penduduk asli di pedalaman. Akulturasi atau percampuran budaya mereka inilah yang kemudian sering disebut kebudayaan Toraja.
Tak mengherankan, bila di Tana Toraja banyak dijumpai rumah yang menyerupai perahu Tiongkok yang biasa disebut Tongkonan. Rumah adat ini dilengkapi dengan Lumbung tempat menyimpan padi sekaligus sebagai lambang kebesaran dan kesejahteraan masyarakat Toraja.
Status kebangsawanan orang Toraja mudah dikenali, terutama saat mereka melakukan ritual pemakaman orang yang meninggal dunia. Berbeda dengan masyarakat biasa, para bangsawan suku Toraja jika meninggal dunia jenazahnya diawetkan terlebih dahulu sebelum dikuburkan. Ciri lainnya, jenazah bangsawan biasanya dimakamkan di atas tebing maupun gua-gua di wilayah Tana Toraja beserta harta benda kesukaan mereka.
Saat prosesi pemakaman adat Toraja yang dinamakan upacara “Rambu Solo”. “Rambu Solo” adalah ritual yang sangat panjang dan melelahkan. Sebab kematian bukanlah akhir dari segala risalah hidup. Maka, suatu kewajiban bagi keluarga untuk merayakan pesta terakhir sebagai bentuk penghormatan kepada arwah yang akan menuju ke alam baka.
Malam semakin larut. Ritual demi ritual pun telah dijalankan. Tiba  saatnya pihak keluarga melangsungkan ritual Ma`tundan atau membangunkan arwah. Seiring dimulainya Ma`tundan, suasana duka kembali tergurat di wajah sanak saudara dan orang-orang terdekat dari mendiang. Air mata pun jatuh bercucuran sebagai wujud orang yang mereka cintai bakal pergi selamanya.
Bunyi-bunyian lesung dan bambu tersebut dilakukan bersamaan dengan prosesi pemindahan jasad mendiang dari rumah duka untuk disinggahkan ke rumah adat Tongkonan untuk disemayamkan selama satu malam.
Maka, sanak saudara dan keluarga bahu-membahu mengangkat peti jenazah yang beratnya mencapai 100 kilogram untuk dinaikkan ke dalam rumah adat. Menurut adat Toraja prosesi ini melambangkan penyatuan kembali jenazah dengan para leluhurnya. Di dalam rumah adat, peti berisi jasad mendiang itu harus dijaga semalam suntuk oleh sanak keluarga.
Hari pun berganti, kini saatnya melanjutkan prosesi pemindahan peti jenazah. Panas terik matahari pun tak mengurangi warga sekitar untuk menghormati yang meninggal. Mereka telah berkumpul di lumbung rumah adat untuk melanjutkan prosesi pemindahan peti jenazah dari rumah adat ke lumbung padi.
Maka tarian penghormatan pun dilakukan. Kain merah dibentangkan sebagai lambang kebesaran suku Toraja. Sanak saudara dan warga bahu-membahu mengantarkan peti jenazah ke bawah lumbung. Ketika peti mati diturunkan, sorak-sorai bergema di antara penduduk. Warga mencoba mengatasi beban berat yang bertumpu di atas pundak mereka. Kain merah atau lamba-lamba ini dibentangkan sebagai simbol jalan yang harus dilalui jenazah.

Akhirnya, sampailah peti jenazah di lumbung yang letaknya tepat di bawah rumah adat. Dalam keyakinan masyarakat Toraja, peletakan jasad ke dalam lumbung selama tiga malam itu menandakan jasad mendiang telah menuju pada fase kematian yang sebenarnya.

Tidak ada komentar: