Rabu, 13 April 2011

HIV/AIDS di Toraja Utara

Biar pun penularan HIV di satu daerah tidak terkait langsung dengan penduduk asli atau tidak, tapi tetap saja ada dikotomi antara kasus yang ditemukan pada penduduk asli atau pendatang. Seperti di Kab Toraja Utara (Torut), Prov Sulawesi Selatan (Sulsel) ini: Menurut Kepala Dinas Kesehatan Torut, Hendrik Kalatimang, “ …. dari hasil diagnosa, dua warga pendatang yang meninggal itu positif mengidap HIV/AIDS.” (HIV/AIDS Ancam Pariwisata Toraja Utara, Seputar Indonesia, 5/4-2011).
Bupati Torut, Frederik Batti Sorring, mengaku prihatin dengan penyebaran HIV/AIDS ke wilayah Torut, apalagi daerah ini merupakan tujuan wisata.
Kasus kematian dua penduduk Torut itu dikabarkan sebagai penyakit yang sudah mengancam Torut sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Sulsel. Dengan dua kasus kematian saja Pemkab Torut sudah panik, bagaimana jika kasus HIV/AIDS banyak yang terdeteksi kelak? Soalnya, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya bagian kecil (puncak gunung es yang menyembul ke atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut).
Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di satu daerah pada warga pendatang, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Disebutkan dari Januari–Maret 2011 dua warga pengidap HIV/AIDS meninggal.
Pertama, apakah pendatang yang terdeteksi HIV itu melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan penduduk asli? Jika jawabannya YA, maka ada risiko penyebaran HIV dari pendatang ke penduduk asli.
Kedua, ada kemungkinan yang terdetesi baru kasus HIV/AIDS pada pendatang karena mereka sudah memasuki masa AIDS yang ditandai dengan penyakit yang memaksa mereka berobat ke rumah sakit.
Ketiga, apakah ada jaminan bahwa laki-laki dewasa penduduk asli Torut tidak ada yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di Torut atau luar Torut dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK)?
Kalau jawabannya YA, maka tidak ada risiko penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual di Torut. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka di Torut ada risiko penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual.
Keempat, tidak dijelaskan sudah berapa lama dua penduduk pendatang itu bermukim di Torut. Untuk sampai pada masa AIDS, waktu terjadinya kematian, diperlukan waktu antara 5 – 15 tahun setelah tertular. Maka, perkiraan kedua penduduk yang meninggal itu tertular HIV antara tahun 1996 dan 2006
Kelima, kalau kedua orang itu sudah tinggal di Torut sebelum tahun 2006 maka ada kemungkinan mereka tertular di Torut. Tapi, kalau mereka menetap di Torut setelah tahun 2006 maka ada kemungkinan mereka tertular di luar Torut.
Disebutkan dalam berita: “Salah satu kesulitan mendeteksi seseorang mengalami gejala HIV adalah kurangnya kesadaran warga dalam melakukan pemeriksaan darah secara rutin.” Ini ngawur karena tidak semua orang harus memeriksakan darah secara rutin, apalagi terkait dengan HIV/AIDS.
Tidak semua orang berisiko tertular HIV. Lalu, siapa, saja, sih, yang berisiko tertular HIV? Selain itu banyak pula terjadi orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS. Tapi, mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Orang-orang yang berisiko tertular HIV adalah orang yang perilaku seksualnya berisiko yaitu yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kodom di dalam dan di luar nikah di Torut atau di luar Torut dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSKdi jalanan, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.).
Di Sulsel sendiri dikabarkan penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat)
Mereka itulah yang harus menjalani tes HIV. Untuk itulah penyuluhan harus digencarkan agar penduduk yang perilakunya berisiko menjalani tes HIV.
Kian banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka makin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Sebaliknya, jika kasus HIV/AIDS tidak banyak yang terdeteksi maka kasus-kasus itu akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.
Pilihan ada di tangan Pemkab Torut: menanggulangi penyebaran HIV dengan cara-cara yang rasional atau menunggu ‘ledakan AIDS’.

Jumat, 08 April 2011

Tarian Toraja

  1. Ma'badong Sebuah lingkaran orang menyanyikan nyanyian monoton untuk menghormati almarhum sepanjang malam seperti yang bisa didengar dan dilihat pada Maruang dan Palato Rante halaman.
  2. Ma'bua Pada upacara Mabua diadakan setiap dua belas tahun, imam dengan hiasan kepala kerbau tarian di sekitar pohon suci. The Ma'bua merupakan upacara besar yang terjadi pada interval 12 tahun, tarian spiritual dan ekologis yang tak ternilai ke Toraja. Bulan kerja yang terlibat bersiap-siap untuk ini ritual malam yang panjang, yaitu menyiapkan lapangan upacara, kostum, dan miniatur menerapkan kehidupan sehari-hari. Ada penyanyi wanita megah, tiang festival, perang berteriak, dan api unggun yang meledak batang bambu. Para imam mengenakan hiasan kepala kerbau terburu-buru tentang pohon suci. 
  3. Ma'boneballa 'Sebuah tarian dimulai menyenangkan dengan tarian seorang gadis tunggal (gellu' Tungga '), anak perempuan kemudian lebih bergabung dalam disertai oleh empat drumer. Tarian tersebut diberikan untuk Puang Tanriabeng dari Sa'dan 
  4. Ma'bondesan Sebuah tarian syukur dengan iringan seruling oleh sekelompok laki-laki bertelanjang dada dengan kuku panjang 
  5. Ma'bugi (1) Sebuah tarian syukur ceria dengan bernyanyi penari laki-laki dan perempuan 
  6. Ma'bugi (2) Sebuah ritual eksorsisme dimana penari menusuk diri dengan pisau tajam tanpa terluka
  7. Ma'burake Sebuah tarian dengan 10 gerakan disertai dengan suling lembang (seruling), geso'-geso '(kecapi satu-senar), Kamaru (tangan kecil drum) dan gandang boro (grand drum). Tarian ini adalah memberikan kontribusi terhadap Mr A.T. Tonglo dari Mappa-Balepe (Tana Toraja) dan Mrs AT Tonglo dari Bulo-Ulusalu (Mamasa) .. 
  8. Ma'dandan Sebuah tarian yang dilakukan oleh perempuan yang bergerak perlahan tongkat sambil menyanyikan sebuah lagu paduan suara setelah orang-orang telah menyelesaikan tarian Manimbong 
  9. Ma'dao bulan Sebuah tarian lima-gerakan suci yang dilakukan oleh 4 (atau beberapa daripadanya) perawan penari mengenakan gaun putih panjang. Mirip dengan tari Ma'burake dan dari sumber yang sama. 
  10. Ma'dondan Sebuah tarian yang agak ceria pemakaman dilakukan setelah korban kerbau oleh laki-laki muda dan perempuan bertepuk tangan sambil menari 
  11. Ma'dondi Sebuah paduan suara menyanyikan lagu menggambarkan kesedihan dan penderitaan keluarga 
  12. Ma'doabulan Sebuah kinerja dengan penari mengenakan gaun putih panjang 
  13. Ma'gandangi Sebuah tarian dilakukan oleh perempuan, sementara yang lain menumbuk padi 
  14. Ma'gellu Pangalla 'Lihat
  15. Ma'gellu Tungga 'Boneballa' tarian oleh satu penari tunggal 
  16. Ma'katia tari A untuk mengingatkan penonton kemurahan hati orang yang meninggal dan loyalitas. Biasanya ditarikan oleh perempuan tua di kostum khusus dengan hiasan kepala bulu panjang sambil menyanyikan sebuah lagu puitis. 
  17. Ma'marakka Sebuah tarian disertai dengan sebuah elegi (pa'marakka) dinyanyikan oleh seorang wanita dan disertai dengan seruling dalam ritual timur dan persembahan kepada para dewa

Rabu, 06 April 2011

Dari Toraja Menuju Nirwana

Kematian adalah ketakutan yang selalu menghantui sebagian besar umat manusia. Kematian identik dengan kegelapan, kehilangan dan ketiadaan. Ada kematian selalu ada tangis dan kesedihan. Mengapa manusia harus mengalami kematian dan kemana manusia setelah kematian. Ketidakpastian selalu membayangi manusia.
Gambaran umum tersebut tidak akan kita jumpai pada masyarakat di Tana Toraja tepatnya berada di Kabupaten Tana Toraja dan Kabupaten Toraja Utara berjarak kurang lebih 350 Km dari Kota Makassar. Kematian sebagai peristiwa besar dalam hidup seseorang yang menakjubkan. Mereka hidup di hamparan pegunungan batu yang membentang dari selatan hingga ke utara dengan suhu yang sangat dingin. Alam masih menjadi bagian integral dengan tradisi masyarakat Toraja. Tidak heran kesederhanaan menjadi ciri khas kehidupan orang Toraja. Bila melihat dari rumah adat yang menyerupai sebuah perahu itulah Tongkonan. Tongkonan yang memberikan kesan bahwa kehidupan bagi masyarakat Toraja adalah sebuah pengembaraan atau perjalanan.
Hampir di setiap tempat kita bisa menemukan banyak makam yang mempunyai daya magis. Inilah gambaran bahwa di Tana Toraja makam dan upacara pemakaman diletakkan pada suatu strata penting pada kebudayaan. Makam dapat kita jumpai dalam berbagai rupa. Ada makam berupa lubang dan dibuat pada tebing-tebing tinggi yang terjal. Salah satu tempat yang terkenal dengan makam ini adalah Desa Lemo. Lain lagi di Desa Sesean kita bisa menemukan lubang-lubang makam yang dipahat pada batu besar sehingga nampak menyerupai laci-laci. Makam ini dinamai Loko’Mata. Namun belakangan ini orang toraja lebih banyak yang menggunakan Patane sebagai makam keluarga. Patane adalah bangunan yang memiliki ruang untuk menyimpan beberapa jenasah.
Orang Toraja menyadari bahwa hidup manusia di bumi ini tidak kekal dan hanya sementara. Seperti bunga di padang layu ketika waktunya. Hilang bersama angin. Kematian mempunyai makna yang sangat dalam bagi orang toraja. Orang toraja memandang kematian adalah awal dan puncak kehidupan manusia di dunia. Segala sesuatu sesuatu bermula dari kematian. Dan semua orang akan datang menjumpai kematian.karena kematian adalah puncak dari sejarah hidup manusia maka kematian dirayakan melalui pesta yang meriah dan berhari-hari. Upacara ini disebut upacara Rambu Solo’. Tidaklah tepat bila kematian dianggap sesuatu yang menakutkan dan membuat orang meratapi kepergian seseorang. Uniknya upacara inilah yang menentukan seseorang dinyatakan telah meninggal dunia atau tidak. Tentunya sangat bertolak belakang dengan standar yang berlaku di dunia medis untuk menyatakan seseorang telah meninggal dunia atau tidak.
Rambu Solo’ merupakan acara yang begitu besar dan meriah. Banyak hewan-hewan yang harus dikurbankan pada acara tersebut. Untuk kaum bangsawan saja minimal 30 ekor kerbau wajib dikurbankan sebagai suatu kesempurnaan sebuah upacara yang sangat sakral dan sangat menentukan perjalanan mendiang ke alam puyo atau nirwana menurut keyakinan adat. Namun seiring perkembangan zaman upacara ini seringkali telah dimanipulasi sehingga kesakralan dan nilai-nilai mistis perlahan memudar. Solidaritas yang menjadi ciri khasnya tergantikan oleh pendangkalan momentum. Yang tinggal adalah sebuah pertunjukan dan hanya sebagai komoditas bagi wisatawan.
Kalau kehidupan adalah sebuah perjalanan panjang menuju keabadian maka kematian adalah batas kesadaran akan pencapaian-pencapaian manusia di dunia ini yang harus dilanjutkan hingga tujuan akhir yaitu Alam Puyo. Pada tahapan itu jasad manusia disimpan pada makam yang merupakan sebuah oase. Makam menurut orang toraja adalah inan kapelayoan, tempat seseorang yang akan menuju alam puyo beristirahat, melepaskan letih dan rasa dahaga.
Ketika kita takut dan hidup dalam kekuatiran akan kematian adalah tepat bila kita bisa berkunjung ke Tana Toraja untuk memahami arti kehidupan di balik kematian seseorang. Kematian seringkali dapat mengubah paradigma kita akan kehidupan. Kehidupan bukan sekedar air yang mengalir tapi lebih merupakan sebuah keputusan penting. Kita belajar akan hidup dari kematian.
Perjalanan ke Tana Toraja bukan hanya perjalan akan wisata alam dan budaya tetapi lebih kepada perjalanan untuk belajar hidup yang sempurna. Alam puyo adalah akhir dari sebuah perjalanan yaitu perjalanan menjadi manusia yang sempurna.

Selasa, 05 April 2011

Yang Mati Yang Bercerita

Bagi orang Tana Toraja, seperti larik puisi Subagio Sastrowardoyo, kematian makin akrab karena ada tradisi yang hidup turun-temurun.
DI desa Bulu Langkan, Kabupaten Tana Toraja –pada 2009 mekar menjadi Kabupaten Toraja Utara– penduduk bicara tentang kematian, seakan-akan begitu akrab. Di sana tak ada pemisahan, orang mati diperlakukan sebagai moyang yang harus dijaga terus-menerus dan kelak akan bercerita tentang silsilah keluarganya.
Tempat itu begitu sejuk. Dingin dengan pohon-pohon kecil. Entah di mana pohon-pohon besar yang seharusnya menghuni pegunungan; semua menjadi hamparan sawah. Tak ada yang tahu kapan itu bermula. Namun masyarakat setempat meyakini, dengan menggarap perbukitan yang curam dan menanaminya padi cukup menjadi bukti keuletan masyarakat Toraja.
Di toraja ada yang disebut dengan Ma'nene. Semua jenazah yang berumur puluhan hingga ratusan tahun dikeluarkan dari sebuah liang batu dan patane (kuburan modern yang terbuat dari dinding beton) untuk dijemur. Seluruh keluarga yang hadir ikut bersorak melihat keadaan jenazah, dari sanak famili, ayah, nenek, kakek, dan moyang. Satu per satu dijemur.
Orang-orang yang hidup menghampiri setiap jenazah. Mereka membelainya dengan lembut, merapikan pakaiannya yang terbungkus tebal dari bahan kasur kapok. Orang Toraja memanggil ibunya dengan kata indo, sementara ayah adalah ambe. Seorang perempuan muda duduk meraung di samping peti jenazah: “Indo kilalai kan dikka, oh indo.” Ibu ingatlah kami. Setelah itu dia pindah, “Ambe, oh ambe... matetonganmi dikka. Jagaikan ambe...” Bapak, tolong jaga kami.
Jenazah-jenazah itu tak perduli. Hanya terbaring dengan tubuh yang berdebu, usang dan jelek. Kulitnya yang kering seperti terbuat dari bahan plastik ketika dipegang, berlobang kecil karena digrogoti rayap. Tak sedikit pun bau yang keluar. Hanya apek dari balutan pakaian yang dikenakannya.
Ambe Lambaa meninggal usia 70 tahun pada 1980-an. Tingginya sekitar 165 cm. Ketika dikeluarkan dari dalam peti matinya yang cukup mahal dan berbentuk bulat, orang-orang tenganga heran. Ambe Lambaa kelihatan sempurna. Sekalipun mata, daun telinga, dan hidungnya sudah tak ada. “Oe gagahnya,” kata beberapa orang yang menyaksikannya. Di Toraja orang baik dan sabar akan abadi seperti Lambaa. Tuhan dan dewa-dewa melindungi mereka.
Semasa hidup Ambe Lambaa cukup dihormati. Dia adalah keluarga yang memiliki tatanan sosial tinggi. Peti jenazah yang digunakannya berbentuk bulat dengan ukiran. Untuk membentuk peti jenazah seperti itu memerlukan biaya cukup besar. Di Toraja sekali pesta baik kehidupan dan kematian akan menghabiskan ratusan juta rupiah. Untuk sebuah pesta kematian menggunakan peti bulat dan ukiran-ukiran yang rumit biasanya mencapai Rp 20 juta. Sementara untuk membuat arak-arakkan jenazah dari tongkonan khas kematian diperkirakan mencapai Rp 2 milyar.
Berabad-abad sebelumnya, ketika praktik pengawetan jenazah ini dijalankan, tak ada yang tahu persis kenapa dan kapan diawalinya. Yang jelas, sebelum agama Kristen memasuki Tana Toraja kali pertama sekitar 1913, orang Toraja memeluk kepercayaan aluk todolo atau kepercayaan kepada leluhur dan alam. Pada awalnya jenazah-jenazah itu dibaringkan dalam sebuah gua batu, kemudian diletakkan pada sebuah batu. Jenazah tersebut tak membusuk, malah mengering.
Hingga suatu ketika pengawetan jenazah dilakukan dengan menggunakan ramuan, menggunakan daun Pinus, minyak tanah, batang tille –tumbuhan yang menyerupai batang tebu tapi lebih kecil dan tak dimakan–, daun teh, dan garam. Bahan-bahan tersebut dicampurkan lalu dihaluskan dan dituangkan ke dalam mulut jenazah. Sisanya dioleskan pada kulit. Dan alam membantu pengawetan dan pengeringan jenazah dengan baik.
Memasuki tahun 1990, pengawetan jenazah dilakukan lebih sederhana, yaitu menyuntikkan bahan kimia atau lebih dikenal dengan nama formalin. Hasilnya puluhan jenazah tak seawet leluhur mereka puluhan dan ratusan tahun lalu. Di salah satu patane', sebuah peti kecil dibuka. Bungkusan kecil yang usang dengan kain rombeng mirip kepompong dibuka. Seorang gadis kecil berusia 10 tahun telentang. Selimut bermotif bunga kecil menutupi tubuhnya. Wajahnya sudah tak jelas lagi. Tak ada rambut. Tulang hidung kecil. Jari kaki imut-imut. Dia meninggal tiga tahun lalu. Namun kondisi jenazahnya sudah tak karuan. Tulang-tulangnya sudah mulai hancur, efek dari penggunaan bahan kimia
Pengawetan jenazah di Toraja adalah sesuatu yang fenomenal. Beberapa daerah di Indonesia memiliki adat serupa, tapi Toraja lebih dominan dan lebih dulu dikenal. Di Toraja, hubungan antara orang hidup dan orang mati adalah sakral dan sangat erat. Mereka tahu, makin tua kehidupan modern makin mengungkung adat. Tapi sebagian dari mereka ingin di awetkan bila mati; ingin anak-cucu mereka melihat dan mengenang leluhur, seperti apa yang mereka lakukan saat ini.
Tana Toraja sarat dengan adat istiadat memukau. Luasnya sekitar 3.205,77 km persegi dan sebagian besar daerahnya adalah pegunungan. Populasi penduduknya diperkirakan 600.000 jiwa. Untuk mengunjunginya butuh waktu sekitar 7 jam dari Makassar dengan menggunakan bus. Ongkosnya Rp 100.000 disini. Pemandangan sepanjang jalan cukup ciamik. Gunung-gunung batu menjulang seperti menara di sebuah kota besar, berkabut dan lembab.
Sumber :http://www.majalah-historia.com

Senin, 04 April 2011

Ulelean Parena Toraya

Judul: Ulelean Parena Toraya.
Penulis : Pdt. Junus Bunga Lebang.
Tahun : 2006
Penerbit : PT Siayoka, Rantepao – Tana Toraja.

Ulelan Parena Toraya adalah sebuah kumpulan 52 cerita rakyat Toraja yang telah lama beredar dalam masyarakat Toraja secara lisan selama ratusan tahun. Cerita yang sarat dengan nilai-nilai moral ini di ceritakan oleh orang tua atau nenek kepada anak-cucunya secara turun temurun pada malam hari, biasanya menjelang tidur. Dalam konteks masyarakat tradisional Toraja yang umumnya adalah petani, para orang tua mempunyai lebih banyak kesempatan untuk bercerita atau berkomunikasi secara santai dengan anak-anak mereka ketika padi sedang tumbuh di sawah. Sebab itu dalam bahasa Toraja cerita-cerita ini lebih dikenal dengan julukan “Ulelean Pare” (Ulelean=cerita; Pare=padi).Cerita-cerita ini menjadi salah satu pengisi waktu senggang para keluarga petani yang ternyata membangun keakraban antara orang tua dengan anak dan sekaligus menjadi sarana pembinaan keluarga dengan nilai-nilai agama dan moral yang dianggap perlu diwariskan kepada anak-cucu.
Dalam buku ini, Pdt. Junus Bunga Lebang (79),seorang Pendeta dan budayawan Toraja menceritakan kembali 52 cerita rakyat Toraja. Sebagai anak dari masanya,ia bertumbuh dengan cerita-cerita ini, melalui mana ia banyak mempelajari adat-istiadat,nilai-nilai moral maupun pengenalan sejarah orang Toraja. Sebagaimana tradisi lisan yang beredar di Tana Toraja, tentu banyak versi dan variasi dari cerita – cerita rakyat semacam ini. Yang ditampilkan di dalam buku ini merupakan versi yang penulis kenal. Penulis terdorong untuk menulis cerita-cerita rakyat semacam ini untuk memelihara kekayaan bahasa Toraja serta tradisi pendekatan pendidikan warisan budaya leluhur yang sangat berharga, namun semakin jarang dilakukan karena tergeser oleh media komunikasi modern antara lain televisi.
Untuk melestarikan kekayaan bahasa Toraja, penulis menuangkan cerita ini ke dalam bahasa Toraja. Namun seperti yang diungkapkan di atas, banyak orang Toraja yang sudah kurang paham atau fasih dalam berbahasa Toraja. Oleh karena itu, berdampingan dengan bahasa Toraja, disediakan pula terjemahan yang agak bebas dalam bahasa Indonesia. Hal ini dimaksudkan agar buku ini dapat dinikmati secara luas karena cerita rakyat Toraja adalah bagian budaya masyarakat Indonesia. Selain dari itu, beberapa cerita yang ada di dalam buku ini juga ada yang diterjemahkan ke dalam bahasa Inggris oleh salah seorang cucu penulis.

Resensi Oleh: Ery Hutabarat-Lebang
Sumber: http://torajacybernews.com

Bakso Babi

Bakso adalah makanan yang terbuat dari bahan dasar daging. Biasanya pedagang lebih sering menggunakan daging sapi. Selain daging sapi, bakso juga bisa dibikin dari ikan. Tapi bakso yang satu ini mungkin asing anda dengar yaitu Bakso Babi dari Toraja. Sebagai wilayah dengan mayoritas penduduk beragama nasrani, Babi menjadi makanan yang umum ditemukan di Toraja ini. Babi hadir dalam berbagai bentuk olahan seperti misalnya Pa’piong, Sate, Dendeng Babi, Babi Kecap, Pangrarang, Pantollo Pamarrasan dan lain-lain disini. Nah, buat anda yang tidak menginginkan makanan yang berbumbu terlalu berat, ada olahan Babi lain yang cukup menarik yakni dalam bentuk Bakso.
Para pedagang membuat bakso dari bahan daging Babi. Bakso Babi ini rasanya khas dan mengundang selera Hehehehe..... gerimis begini mengundag seleraku untuk menikmati Bakso dari TONDOKKU yaitu bakso Babi. hmm...... mak nyossssssss.
Penjual bakso disana (Toraja) secara konsisten tetap berada dijalurnya yaitu jualan Bakso Toraja bahkan hidangan Bakso yang ia tawarkan berbeda dengan Bakso Jawa pada umumnya yaitu ada siomay dan gorengan khas Bakso Toraja dengan cita rasa KUAH yang khas.
Harga jual bakso toraja selalu lebih mahal daripada bakso jawa, saat ini harga jual bakso jawa di Toraja masih dalam pasaran Rp.9000-10.000 namun bakso toraja sudah mencapai harga Rp.12.000-15.000/mangkuknya dengan takaran yang sebenarnya lebih sedikit dari pada bakso jawa namun cita rasanya dijamin bakso jawa kalah daripada citarasa bakso toraja.
Kalau anda jalan-jalan ke Toraja, jangan lupa makan bakso Babi (yang nasrari). Dari sekian banyaknya Penjual bakso Babi di Toraja, ada tiga lokasi yang paling ramai yaitu : (1) Jalan Poros Rantepao-Makale, Tepatnya di Alang-Alang, (2) Jalan Palopo atau biasa disebut Japal, Depan Bank BNI, (3) Jalan Andi Mappanyuki, Samping Perwakilan PO.BUS LITHA & CO lihat.

Minggu, 03 April 2011

Toraja 2011 vs Toraja 1978

Sudut pandang artikel kali ini lebih ke arah ulasan optimalisasi pesta adat Tana Toraja ke arah pariwisata. Dr. Gabriel Possenti Shindunata, Dari Pulau Buru ke Venezia, yang membahas tentang  pesta Rambu Solo' di Tana Toraja, 33 tahun yang lalu, tepatnya dimuat 18-21 Oktober 1978. Sudut pandang artikel Shindunata lebih personal, dan kalau diliat dari tone artikelnya (Pembantaian Kerbau yang Dramatis, Rumput Jalanan Sampai Tertunduk-tunduk, Bila yang Mati Hanya Orang Sederhana, dan Pemborosan yang Berlebihan), kelihatan sekali Shindunata tidak nyaman dengan praktik-praktik yang ada.
Ulasan atas Tana Toraja
1. Prestise dan Jumlah Persembahan

Kompas (2011)
Sayangnya, tradisi yang luhur tersebut belakangan ini larut pada prestise dan jumlah persembahan. Tidak sedikit keluarga dari kalangan berada menggelar pesta Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ dengan persembahan hewan dalam jumlah tidak terkendali. Dalam upacara Rambu Solo’, misalnya, sebuah keluarga bisa mempersembahkan ratusan kerbau dan babi yang nilainya miliaran rupiah.
Pesta kematian Ne’ Tapu’ di Kampung Deri, misalnya, menghabiskan dana sekitar Rp 3 miliar untuk penyediaan 108 kerbau persembahan dan ratusan babi.
Shindunata (1978)
Pembantaian kerbau itu juga mempunyai fungsi “status sosial”. Semakin banyak kerbau yang disembelih, berarti semakin tinggi derajat dan makin kaya orang yang telah mati atau keluarga yang merayakan kematiannya.
Di sini orang berlomba-lomba untuk menunjukkan diri bahwa ia mampu, sehingga ia berusaha apa pun untuk dapat mencapai tujuan itu.
Sekitar 40 ekor kerbau disembelih pada pesta ini.
Pesta kematian Nek Atta mungkin sama harganya dengan lima buah mobil Mercedes.
2. Gengsi untuk Menyumbang
Kompas (2011)
Rela berdiri berpenat-penat di dalam bak truk yang disewa rombongan keluarganya dari Palopo, sekitar 50 km dari Rantepao, ibu kota Toraja Utara. Ia datang bersama 10 saudaranya dan membawa seekor kerbau untuk disumbangkan..
Shindunata (1978)
Bila misalnya nenek si A mati dan disumbang kerbau oleh si B, maka bila keluarga si B mati, si A pun harus mengembalikan utangnya berupa sumbangan kerbau. Menggadaikan sawah untuk menyumbang kerbau, atau menjual milik untuk membalas utang adalah hal yang umum terdengar di Toraja.
3. Hewan Persembahan
Kompas (2011):
Harga babi: 4 juta-Rp 7 juta
Harga seekor tedong bonga bisa mencapai Rp 500 juta, sedangkan harga kerbau baliian Rp 150 juta per ekor.
Seekor kerbau Toraja paling murah Rp 30 juta.
Adapun babi dihargai Rp 5 juta-Rp 15 juta per ekor.
Shindunata (1978)
Satu ekor kerbau harganya sekitar Rp500.000 sampai dengan Rp 600.000.
Satu ekor tedong bonga bisa mencapai satu juta rupiah.
Satu babi harganya sekitar Rp 40.000 sampai dengan Rp 75.000
4. Adat vs Pariwisata
Kompas (2011)
Hal itu mencerminkan belum optimalnya pengelolaan pariwisata di Toraja.
Sayang, karakter warga Toraja yang kondusif bagi kepariwisataan itu belum diimbangi dengan kepekaan pemerintah setempat untuk menyiapkan sarana pendukung.
Shindunata (1978)
Tiba-tiba iringan itu berhenti. Orang bertanya-tanya apa sebabnya. Tahu-tahu ada pengumumdan dari panitia, iringan harus menunggu kedatangan Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin
Bisa saja upacara kematian itu dipergunakan untuk menarik wartawan. Namun hendaknya dijaga agar keluarga yang merayakan pesta jangan sampai dirugikan.
5. Intervensi Pemerintah dan Agama
Kompas (2011)
Menurut tokoh agama, Yoseph Pairunan (66), sebetulnya ajaran Aluk Todolo telah mengatur pelaksanaan Rambu Solo’ secara proporsional. Jumlah kerbau persembahan dibatasi paling banyak 24 ekor. Warga juga dilarang menjual tanah atau berutang untuk mengongkosi Rambu Solo’.
Menurut tokoh masyarakat Toraja, Jacobus Kamarlo Mayongpadang, pesta yang digelar secara jorjoran itu mencerminkan lemahnya kontrol Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Toraja Utara. Peraturan daerah tentang retribusi pemotongan hewan dianggap kurang efektif membatasi jumlah hewan yang dipersembahkan dalam upacara.
Selama ini pelaksana upacara dikenai retribusi Rp 200.000 untuk setiap kerbau dan Rp 50.000 untuk setiap babi persembahan. Yang jelas, penghasilan retribusi tak cukup untuk membenahi infrastruktur desa.
Shindunata (1978)
Pemerintah daerah Tanah Toraja sebenarnya sudah berusaha mencegah agar pesta-pesta kematian disederhanakan. Yakni dengan cara mempertinggi pajak pemotongan kerbau sumbangan. Satu kerbau yang disembelih dikenakan pajak Rp. 1.000, hingga makin banyak kerbau yang disembelih makin besar pajaknya.
Kalo membandingkan kondisi sosial suatu masyarakat berdasarkan artikel feature Kompas ini, yang tentunya tidak valid (and I aint an antropologist, too), keliatan sekali Tana Toraja tahun 1978 tidak terlalu banyak perbedaan dengan Tana Toraja tahun 2011, terkecuali soal inflasinya. Yang lainnya serupa.
Pelajaran lainnya adalah mekanisme disinsentif yang diterapkan oleh pemerintah untuk membatasi pemborosan (retribusi dan pajak pemotongan hewan) sama-sama diakui tidak efektif, apalagi sama-sama diakui bahwa pemerintah sendiri mengharapkan kontribusi pariwisata dari pesta adat ini.
Sebagai penutup, pemborosan dengan bungkus adat ataupun kebiasaan sebenarnya tersembunyi di setiap sisi kehidupan kita. Dari mulai resepsi pernikahan, pesta ulang tahun, sampe juga pemakaman.
Sumber:Kompas