Minggu, 03 April 2011

Toraja 2011 vs Toraja 1978

Sudut pandang artikel kali ini lebih ke arah ulasan optimalisasi pesta adat Tana Toraja ke arah pariwisata. Dr. Gabriel Possenti Shindunata, Dari Pulau Buru ke Venezia, yang membahas tentang  pesta Rambu Solo' di Tana Toraja, 33 tahun yang lalu, tepatnya dimuat 18-21 Oktober 1978. Sudut pandang artikel Shindunata lebih personal, dan kalau diliat dari tone artikelnya (Pembantaian Kerbau yang Dramatis, Rumput Jalanan Sampai Tertunduk-tunduk, Bila yang Mati Hanya Orang Sederhana, dan Pemborosan yang Berlebihan), kelihatan sekali Shindunata tidak nyaman dengan praktik-praktik yang ada.
Ulasan atas Tana Toraja
1. Prestise dan Jumlah Persembahan

Kompas (2011)
Sayangnya, tradisi yang luhur tersebut belakangan ini larut pada prestise dan jumlah persembahan. Tidak sedikit keluarga dari kalangan berada menggelar pesta Rambu Solo’ dan Rambu Tuka’ dengan persembahan hewan dalam jumlah tidak terkendali. Dalam upacara Rambu Solo’, misalnya, sebuah keluarga bisa mempersembahkan ratusan kerbau dan babi yang nilainya miliaran rupiah.
Pesta kematian Ne’ Tapu’ di Kampung Deri, misalnya, menghabiskan dana sekitar Rp 3 miliar untuk penyediaan 108 kerbau persembahan dan ratusan babi.
Shindunata (1978)
Pembantaian kerbau itu juga mempunyai fungsi “status sosial”. Semakin banyak kerbau yang disembelih, berarti semakin tinggi derajat dan makin kaya orang yang telah mati atau keluarga yang merayakan kematiannya.
Di sini orang berlomba-lomba untuk menunjukkan diri bahwa ia mampu, sehingga ia berusaha apa pun untuk dapat mencapai tujuan itu.
Sekitar 40 ekor kerbau disembelih pada pesta ini.
Pesta kematian Nek Atta mungkin sama harganya dengan lima buah mobil Mercedes.
2. Gengsi untuk Menyumbang
Kompas (2011)
Rela berdiri berpenat-penat di dalam bak truk yang disewa rombongan keluarganya dari Palopo, sekitar 50 km dari Rantepao, ibu kota Toraja Utara. Ia datang bersama 10 saudaranya dan membawa seekor kerbau untuk disumbangkan..
Shindunata (1978)
Bila misalnya nenek si A mati dan disumbang kerbau oleh si B, maka bila keluarga si B mati, si A pun harus mengembalikan utangnya berupa sumbangan kerbau. Menggadaikan sawah untuk menyumbang kerbau, atau menjual milik untuk membalas utang adalah hal yang umum terdengar di Toraja.
3. Hewan Persembahan
Kompas (2011):
Harga babi: 4 juta-Rp 7 juta
Harga seekor tedong bonga bisa mencapai Rp 500 juta, sedangkan harga kerbau baliian Rp 150 juta per ekor.
Seekor kerbau Toraja paling murah Rp 30 juta.
Adapun babi dihargai Rp 5 juta-Rp 15 juta per ekor.
Shindunata (1978)
Satu ekor kerbau harganya sekitar Rp500.000 sampai dengan Rp 600.000.
Satu ekor tedong bonga bisa mencapai satu juta rupiah.
Satu babi harganya sekitar Rp 40.000 sampai dengan Rp 75.000
4. Adat vs Pariwisata
Kompas (2011)
Hal itu mencerminkan belum optimalnya pengelolaan pariwisata di Toraja.
Sayang, karakter warga Toraja yang kondusif bagi kepariwisataan itu belum diimbangi dengan kepekaan pemerintah setempat untuk menyiapkan sarana pendukung.
Shindunata (1978)
Tiba-tiba iringan itu berhenti. Orang bertanya-tanya apa sebabnya. Tahu-tahu ada pengumumdan dari panitia, iringan harus menunggu kedatangan Menteri Perhubungan Rusmin Nuryadin
Bisa saja upacara kematian itu dipergunakan untuk menarik wartawan. Namun hendaknya dijaga agar keluarga yang merayakan pesta jangan sampai dirugikan.
5. Intervensi Pemerintah dan Agama
Kompas (2011)
Menurut tokoh agama, Yoseph Pairunan (66), sebetulnya ajaran Aluk Todolo telah mengatur pelaksanaan Rambu Solo’ secara proporsional. Jumlah kerbau persembahan dibatasi paling banyak 24 ekor. Warga juga dilarang menjual tanah atau berutang untuk mengongkosi Rambu Solo’.
Menurut tokoh masyarakat Toraja, Jacobus Kamarlo Mayongpadang, pesta yang digelar secara jorjoran itu mencerminkan lemahnya kontrol Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Toraja Utara. Peraturan daerah tentang retribusi pemotongan hewan dianggap kurang efektif membatasi jumlah hewan yang dipersembahkan dalam upacara.
Selama ini pelaksana upacara dikenai retribusi Rp 200.000 untuk setiap kerbau dan Rp 50.000 untuk setiap babi persembahan. Yang jelas, penghasilan retribusi tak cukup untuk membenahi infrastruktur desa.
Shindunata (1978)
Pemerintah daerah Tanah Toraja sebenarnya sudah berusaha mencegah agar pesta-pesta kematian disederhanakan. Yakni dengan cara mempertinggi pajak pemotongan kerbau sumbangan. Satu kerbau yang disembelih dikenakan pajak Rp. 1.000, hingga makin banyak kerbau yang disembelih makin besar pajaknya.
Kalo membandingkan kondisi sosial suatu masyarakat berdasarkan artikel feature Kompas ini, yang tentunya tidak valid (and I aint an antropologist, too), keliatan sekali Tana Toraja tahun 1978 tidak terlalu banyak perbedaan dengan Tana Toraja tahun 2011, terkecuali soal inflasinya. Yang lainnya serupa.
Pelajaran lainnya adalah mekanisme disinsentif yang diterapkan oleh pemerintah untuk membatasi pemborosan (retribusi dan pajak pemotongan hewan) sama-sama diakui tidak efektif, apalagi sama-sama diakui bahwa pemerintah sendiri mengharapkan kontribusi pariwisata dari pesta adat ini.
Sebagai penutup, pemborosan dengan bungkus adat ataupun kebiasaan sebenarnya tersembunyi di setiap sisi kehidupan kita. Dari mulai resepsi pernikahan, pesta ulang tahun, sampe juga pemakaman.
Sumber:Kompas

Tidak ada komentar: