Ma’ Gellu’ pada mulanya di tarikan setelah panen usai. Kehidupan masyarakat Toraja pada dahulu kala 80% hidup dari bertani, oleh karena itu tarian ma’Gellu’ di ciptakan untuk tarian setelah panen usai. Di malam hari di kala bulan terang sebagian orang menumbuk padi di lesung dan dengan iringan bunyi dari lesung, perempuan perempuan ikut menari, sebagai tanda ungkapan syukur kepada yang Kuasa atas berhasilnya panen. Ma’ Gellu’ menggambarkan para petani memanen di sawah dengan menggunakan ani ani, yang pada umumnya di lakukan oleh ibu ibu dan gadis gadis desa.Kegitan memanen di lakukan berhari hari bahkan berminggu minggu, sehingga cukup melelahkan, namun tidak terasa lelah karena mereka melakukannya dengan penuh semangat, akrab dan ceria.
Tarian Ma’gellu awalnya dikembangkan di Distrik Pangalla’ kurang lebih 45 km ke arah Timur dari kota Rantepao dan biasanya dipentaskan pada upacara khusus yang disebut Ma’Bua’, yang berkaitan dengan upacara pentasbihan Rumah adat Toraja/Tongkonan, atau keluarga penghuni tersebut telah melaksanakan upacara Rambu Solo’ yang sangat besar (Rapasaan Sapu Randanan). Saat ini tarian Ma’gellu’ sering juga dipertunjukkan pada upacara kegembiraan seperti pesta perkawinan, syukuran panen, dan acara penerimaan tamu terhormat. Tarian ini dilakukan oleh remaja putri dengan jumlah ganjil dan diiringi irama gendang yang ditabuh oleh remaja putra yang berjumlah empat orang. Busana serta aksesoris yang digunakan adalah khusus untuk penari dengan perhiasan yang terbuat dari emas danperak seperti Keris Emas/Sarapang Bulawan, Kandaure, Sa’pi’ Ulu’, Tali Tarrung, Bulu Bawan, Rara’, Mastura, Manikkata, Oran-oran, Lola’ Pali’ Gaapong, Komba Boko’ dan lain-lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar