Biar pun penularan HIV di satu daerah tidak terkait langsung dengan penduduk asli atau tidak, tapi tetap saja ada dikotomi antara kasus yang ditemukan pada penduduk asli atau pendatang. Seperti di Kab Toraja Utara (Torut), Prov Sulawesi Selatan (Sulsel) ini: Menurut Kepala Dinas Kesehatan Torut, Hendrik Kalatimang, “ …. dari hasil diagnosa, dua warga pendatang yang meninggal itu positif mengidap HIV/AIDS.” (HIV/AIDS Ancam Pariwisata Toraja Utara, Seputar Indonesia, 5/4-2011).
Bupati Torut, Frederik Batti Sorring, mengaku prihatin dengan penyebaran HIV/AIDS ke wilayah Torut, apalagi daerah ini merupakan tujuan wisata.
Kasus kematian dua penduduk Torut itu dikabarkan sebagai penyakit yang sudah mengancam Torut sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Sulsel. Dengan dua kasus kematian saja Pemkab Torut sudah panik, bagaimana jika kasus HIV/AIDS banyak yang terdeteksi kelak? Soalnya, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya bagian kecil (puncak gunung es yang menyembul ke atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut).
Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di satu daerah pada warga pendatang, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Disebutkan dari Januari–Maret 2011 dua warga pengidap HIV/AIDS meninggal.
Pertama, apakah pendatang yang terdeteksi HIV itu melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan penduduk asli? Jika jawabannya YA, maka ada risiko penyebaran HIV dari pendatang ke penduduk asli.
Kedua, ada kemungkinan yang terdetesi baru kasus HIV/AIDS pada pendatang karena mereka sudah memasuki masa AIDS yang ditandai dengan penyakit yang memaksa mereka berobat ke rumah sakit.
Ketiga, apakah ada jaminan bahwa laki-laki dewasa penduduk asli Torut tidak ada yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di Torut atau luar Torut dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK)?
Kalau jawabannya YA, maka tidak ada risiko penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual di Torut. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka di Torut ada risiko penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual.
Keempat, tidak dijelaskan sudah berapa lama dua penduduk pendatang itu bermukim di Torut. Untuk sampai pada masa AIDS, waktu terjadinya kematian, diperlukan waktu antara 5 – 15 tahun setelah tertular. Maka, perkiraan kedua penduduk yang meninggal itu tertular HIV antara tahun 1996 dan 2006
Kelima, kalau kedua orang itu sudah tinggal di Torut sebelum tahun 2006 maka ada kemungkinan mereka tertular di Torut. Tapi, kalau mereka menetap di Torut setelah tahun 2006 maka ada kemungkinan mereka tertular di luar Torut.
Disebutkan dalam berita: “Salah satu kesulitan mendeteksi seseorang mengalami gejala HIV adalah kurangnya kesadaran warga dalam melakukan pemeriksaan darah secara rutin.” Ini ngawur karena tidak semua orang harus memeriksakan darah secara rutin, apalagi terkait dengan HIV/AIDS.
Tidak semua orang berisiko tertular HIV. Lalu, siapa, saja, sih, yang berisiko tertular HIV? Selain itu banyak pula terjadi orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS. Tapi, mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Orang-orang yang berisiko tertular HIV adalah orang yang perilaku seksualnya berisiko yaitu yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kodom di dalam dan di luar nikah di Torut atau di luar Torut dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSKdi jalanan, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.).
Di Sulsel sendiri dikabarkan penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat)
Mereka itulah yang harus menjalani tes HIV. Untuk itulah penyuluhan harus digencarkan agar penduduk yang perilakunya berisiko menjalani tes HIV.
Kian banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka makin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Sebaliknya, jika kasus HIV/AIDS tidak banyak yang terdeteksi maka kasus-kasus itu akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.
Pilihan ada di tangan Pemkab Torut: menanggulangi penyebaran HIV dengan cara-cara yang rasional atau menunggu ‘ledakan AIDS’.
Bupati Torut, Frederik Batti Sorring, mengaku prihatin dengan penyebaran HIV/AIDS ke wilayah Torut, apalagi daerah ini merupakan tujuan wisata.
Kasus kematian dua penduduk Torut itu dikabarkan sebagai penyakit yang sudah mengancam Torut sebagai salah satu daerah tujuan wisata di Sulsel. Dengan dua kasus kematian saja Pemkab Torut sudah panik, bagaimana jika kasus HIV/AIDS banyak yang terdeteksi kelak? Soalnya, epidemi HIV erat kaitannya dengan fenomena gunung es. Kasus yang terdeteksi hanya bagian kecil (puncak gunung es yang menyembul ke atas permukaan air laut) dari kasus yang ada di masyarakat (bongkahan gunung es yang ada di bawah permukaan air laut).
Terkait dengan kasus HIV/AIDS yang terdeteksi di satu daerah pada warga pendatang, maka ada beberapa hal yang perlu diperhatikan. Disebutkan dari Januari–Maret 2011 dua warga pengidap HIV/AIDS meninggal.
Pertama, apakah pendatang yang terdeteksi HIV itu melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam atau di luar nikah dengan penduduk asli? Jika jawabannya YA, maka ada risiko penyebaran HIV dari pendatang ke penduduk asli.
Kedua, ada kemungkinan yang terdetesi baru kasus HIV/AIDS pada pendatang karena mereka sudah memasuki masa AIDS yang ditandai dengan penyakit yang memaksa mereka berobat ke rumah sakit.
Ketiga, apakah ada jaminan bahwa laki-laki dewasa penduduk asli Torut tidak ada yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah di Torut atau luar Torut dengan perempuan yang berganti-ganti atau dengan perempuan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti pekerja seks komersial (PSK)?
Kalau jawabannya YA, maka tidak ada risiko penyebaran HIV dengan faktor risiko hubungan seksual di Torut. Tapi, kalau jawabannya TIDAK, maka di Torut ada risiko penyebaran HIV dengan faktor risiko (mode of transmission) hubungan seksual.
Keempat, tidak dijelaskan sudah berapa lama dua penduduk pendatang itu bermukim di Torut. Untuk sampai pada masa AIDS, waktu terjadinya kematian, diperlukan waktu antara 5 – 15 tahun setelah tertular. Maka, perkiraan kedua penduduk yang meninggal itu tertular HIV antara tahun 1996 dan 2006
Kelima, kalau kedua orang itu sudah tinggal di Torut sebelum tahun 2006 maka ada kemungkinan mereka tertular di Torut. Tapi, kalau mereka menetap di Torut setelah tahun 2006 maka ada kemungkinan mereka tertular di luar Torut.
Disebutkan dalam berita: “Salah satu kesulitan mendeteksi seseorang mengalami gejala HIV adalah kurangnya kesadaran warga dalam melakukan pemeriksaan darah secara rutin.” Ini ngawur karena tidak semua orang harus memeriksakan darah secara rutin, apalagi terkait dengan HIV/AIDS.
Tidak semua orang berisiko tertular HIV. Lalu, siapa, saja, sih, yang berisiko tertular HIV? Selain itu banyak pula terjadi orang yang sudah tertular HIV tidak menyadari dirinya sudah mengidap HIV karena tidak ada tanda-tanda yang khas AIDS pada fisik mereka sebelum masa AIDS. Tapi, mereka sudah bisa menularkan HIV kepada orang lain, terutama melalui hubungan seksual tanpa kondom di dalam dan di luar nikah.
Orang-orang yang berisiko tertular HIV adalah orang yang perilaku seksualnya berisiko yaitu yang pernah atau sering melakukan hubungan seksual tanpa kodom di dalam dan di luar nikah di Torut atau di luar Torut dengan pasangan yang berganti-ganti atau dengan yang sering berganti-ganti pasangan, seperti PSK langsung (PSKdi jalanan, lokasi dan lokalisasi pelacuran, losmen, hotel melati dan hotel berbintang, serta di tempat-tempat hiburan malam), dan PSK tidak langsung (‘cewek bar’, ‘cewek disko’, ‘anak sekolah’, ‘mahasiswi’, ‘cewek SPG’, ‘ibu-ibu rumah tangga’, selingkuhan, WIL, dll.).
Di Sulsel sendiri dikabarkan penyebaran HIV didorong oleh PSK tidak langsung (Lihat)
Mereka itulah yang harus menjalani tes HIV. Untuk itulah penyuluhan harus digencarkan agar penduduk yang perilakunya berisiko menjalani tes HIV.
Kian banyak kasus HIV/AIDS yang terdeteksi maka makin banyak pula mata rantai penyebaran HIV yang diputus. Sebaliknya, jika kasus HIV/AIDS tidak banyak yang terdeteksi maka kasus-kasus itu akan menjadi ‘bom waktu’ ledakan AIDS di masa yang akan datang.
Pilihan ada di tangan Pemkab Torut: menanggulangi penyebaran HIV dengan cara-cara yang rasional atau menunggu ‘ledakan AIDS’.
2 komentar:
semua insan masyarkat harus berperan dalam memerangi HIV... jangan sampai wisata Toraja ternodai dengan kasus2 tersebut
SIP... masyarakat toraja harus berperan aktif dalam masalah ini.
Posting Komentar