Dua Lokasi tambang yang berada di wilayah kabupaten Toraja Utara sudah mulai diekploitasi atau produksi. Dua lokasi pertambangan itu, masing tambang Galena (Timah Hitam) di Lembang Sangkaropi, kecamatan Sa'dan dan Tambang Biji Besi di Talimbangan kecamatan Buntu Pepasan.
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Toraja Utara, Simon Pongsisonda yang ditemui wartawan akhir pekan lalu, menyatakan sejak dua minggu terakhir, truk-truk sudah mengangkut material tanah dan batu dari lokasi pertambangan menuju ke pelabuhan Palopo. Material ini selanjutnya akan diekspor ke Cina untuk dikelolah menjadi barang jadi.
"Sudah dari awal Maret 2011 mereka sudah produksi dengan kapsitas produksi seribu sampai dua ribu ton material per minggu," jelas Simon.
Diuraikan, hingga saat ini material yang diangkut dari dua lokasi tambang di Toraja Utara masih menumpuk di pelabuhan Palopo. "Nanti kalau sudah sekitar lima puluh ribu ton baru dikapalkan ke Cina," katanya.
Lokasi tambang Sangkaropi memiliki ijin penggalian bahan mineral Galena (timah hitam), namun di dalam area itu terdapat banyak bahan mineral ikutan, seperti emas, tembaga, dan seng. Sedangkan di lokasi tambang Talimbangan, bahan galian utama adalah besi dengan mineral ikutan seperti emas, tembaga, timah hitam, seng, dan perak.
Kandungan mineral yang ada di dua lokasi ini cukup besar. Hanya saja, saat ini pemegang hak eksplorasi dan eksploitasi masih dihadang oleh aturan kehutanan yang sangat ketat. Menurut data, luas area pertambangan di luar kawasan hutan lindung yang saat ini dikelolah oleh PT Makale Toraja Mining sebesar 5 hektare. Sedangkan di dalam kawasan hutan masih tersisa 95,19 hektare. Kandungan mineral yang ada di Sangkaropi yang sudah dikelolah diperkirakan mencapai 310 ribu ton.
"Kalau yang di kawasan APL (areal penggunaan lain -red) waktu produksi maksimal lima tahun. Tapi kalau sampai ke dalam hutan bisa mencapai 20 tahun," jelas Simon Pongsisonda.
Sementara luas area yang dikelolah oleh PT Kutama Mining Indonesia di Talimbangan saat sebesar 200 hektare dan area yang belum dijamah di dalam hutan lindung sebesar 1.800 hektare, dengan perkiraan cadangan mineral 10.483.000 ton.
"Dengan kandungan mineral sebanyak ini, umur tambang diperkirakan bisa mencapai 20 tahun. Itu pun kalau tidak ada lagi lokasi lain yang kita temukan, kalau masih ada, berarti waktunya masih bisa lebih panjang," tambah Simon.
Menurut Simon, kedua perusahaan swasta yang mengelolah dua lokasi tambang itu sudah memiliki ijin dan semua persyaratan adminitrasi maupun lingkungan hidup, termasuk Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan UPL/UKL.
"Persyaratan ijin pertambangan sekarang sangat ketat. Tidak mungkin kita beri ijin kalau mereka belum melengkapi semua persyaratan, " jelasnya.
Satu Milyar Per Tahun
Ditanya soal royalti yang diperoleh pemerintah kabupaten Toraja Utara dari dua pertambangan itu, Simon mengatakan, pemerintah kabupaten Toraja Utara mendapat royalti 32 persen dari harga jual bahan tambang di pasar internasional. Dijelaskan, dari 100 persen royalti pertambangan, 20 persen diantaranya merupakan hak pemerintah pusat. Dari 80 persen sisanya, 16 persen merupakan bagian pemerintah provinsi, sedangkan 64 persen lagi dibagi dua antara kabupaten penghasil dan kabupaten tetangga. Dari prosentase ini, Distamben Toraja Utara menargetkan pendapatan sekitar Rp 1 milyar per tahun dari usaha pertambangan ini.
"Semua kabupaten di Sulsel juga akan mendapat bagi hasil pajak dari pertambangan di daerah ini. Kita juga mendapat pajak jenis itu dari usaha pertambangan dari daerah lain. Itu sudah aturan undang-undang," urai Simon.
Keuntungan lain yang diperoleh masyarakat Toraja Utara dari aktivitas pertambangan ini adalah penyerapan tenaga kerja dan community development atau pengembangan masyarakat di sekitar areal pertambangan.
"Misalnya kalau tidak ada sekolah akan dibangun sekolah, kalau sudah ada, ditingkatkan kualitas bangunan dan mutunya,demikian juga dengan fasilitas kesehatan, listrik, air minum, dan transportasi," ujarnya.
Saat ini, kata Simon, hampir semua tenaga kerja di dua area pertambangan itu merupakan tenaga kerja lokal dengan upah yang lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR) Sulsel. Sedangkan beberapa tenaga ahli masih memakai tenaga kerja luar.
Kendala yang dihadapi saat ini, jelas Simon, yakni akses jalan tambang, yang akan dibangun dari daerah Sa'dan hingga ke Batusitanduk (Luwu) sepanjang kurang lebih 40 kilometer. Jalan ini sudah disurvey, namun karena terkendalan pembebasan lahan dan hutan lindung sehingga belum bisa dibangun hingga saat ini. Sementara ini aktivitas angkutan material tambang masih menggunakan jalan umum.
"Surveynya sudah dilakukan. Rencananya lebar jalan tambang itu sekitar 10 meter, tetapi karena melewati hutan lindung maka harus minta ijin dulu ke Menteri Kehutanan. Juga soal pembebasan lahan di sepanjang area yang akan dilalui jalan," kata Simon. (aka)
Sumber: Kareba
Kepala Dinas Pertambangan dan Energi (Distamben) Toraja Utara, Simon Pongsisonda yang ditemui wartawan akhir pekan lalu, menyatakan sejak dua minggu terakhir, truk-truk sudah mengangkut material tanah dan batu dari lokasi pertambangan menuju ke pelabuhan Palopo. Material ini selanjutnya akan diekspor ke Cina untuk dikelolah menjadi barang jadi.
"Sudah dari awal Maret 2011 mereka sudah produksi dengan kapsitas produksi seribu sampai dua ribu ton material per minggu," jelas Simon.
Diuraikan, hingga saat ini material yang diangkut dari dua lokasi tambang di Toraja Utara masih menumpuk di pelabuhan Palopo. "Nanti kalau sudah sekitar lima puluh ribu ton baru dikapalkan ke Cina," katanya.
Lokasi tambang Sangkaropi memiliki ijin penggalian bahan mineral Galena (timah hitam), namun di dalam area itu terdapat banyak bahan mineral ikutan, seperti emas, tembaga, dan seng. Sedangkan di lokasi tambang Talimbangan, bahan galian utama adalah besi dengan mineral ikutan seperti emas, tembaga, timah hitam, seng, dan perak.
Kandungan mineral yang ada di dua lokasi ini cukup besar. Hanya saja, saat ini pemegang hak eksplorasi dan eksploitasi masih dihadang oleh aturan kehutanan yang sangat ketat. Menurut data, luas area pertambangan di luar kawasan hutan lindung yang saat ini dikelolah oleh PT Makale Toraja Mining sebesar 5 hektare. Sedangkan di dalam kawasan hutan masih tersisa 95,19 hektare. Kandungan mineral yang ada di Sangkaropi yang sudah dikelolah diperkirakan mencapai 310 ribu ton.
"Kalau yang di kawasan APL (areal penggunaan lain -red) waktu produksi maksimal lima tahun. Tapi kalau sampai ke dalam hutan bisa mencapai 20 tahun," jelas Simon Pongsisonda.
Sementara luas area yang dikelolah oleh PT Kutama Mining Indonesia di Talimbangan saat sebesar 200 hektare dan area yang belum dijamah di dalam hutan lindung sebesar 1.800 hektare, dengan perkiraan cadangan mineral 10.483.000 ton.
"Dengan kandungan mineral sebanyak ini, umur tambang diperkirakan bisa mencapai 20 tahun. Itu pun kalau tidak ada lagi lokasi lain yang kita temukan, kalau masih ada, berarti waktunya masih bisa lebih panjang," tambah Simon.
Menurut Simon, kedua perusahaan swasta yang mengelolah dua lokasi tambang itu sudah memiliki ijin dan semua persyaratan adminitrasi maupun lingkungan hidup, termasuk Analisa Mengenai Dampak Lingkungan (AMDAL) dan UPL/UKL.
"Persyaratan ijin pertambangan sekarang sangat ketat. Tidak mungkin kita beri ijin kalau mereka belum melengkapi semua persyaratan, " jelasnya.
Satu Milyar Per Tahun
Ditanya soal royalti yang diperoleh pemerintah kabupaten Toraja Utara dari dua pertambangan itu, Simon mengatakan, pemerintah kabupaten Toraja Utara mendapat royalti 32 persen dari harga jual bahan tambang di pasar internasional. Dijelaskan, dari 100 persen royalti pertambangan, 20 persen diantaranya merupakan hak pemerintah pusat. Dari 80 persen sisanya, 16 persen merupakan bagian pemerintah provinsi, sedangkan 64 persen lagi dibagi dua antara kabupaten penghasil dan kabupaten tetangga. Dari prosentase ini, Distamben Toraja Utara menargetkan pendapatan sekitar Rp 1 milyar per tahun dari usaha pertambangan ini.
"Semua kabupaten di Sulsel juga akan mendapat bagi hasil pajak dari pertambangan di daerah ini. Kita juga mendapat pajak jenis itu dari usaha pertambangan dari daerah lain. Itu sudah aturan undang-undang," urai Simon.
Keuntungan lain yang diperoleh masyarakat Toraja Utara dari aktivitas pertambangan ini adalah penyerapan tenaga kerja dan community development atau pengembangan masyarakat di sekitar areal pertambangan.
"Misalnya kalau tidak ada sekolah akan dibangun sekolah, kalau sudah ada, ditingkatkan kualitas bangunan dan mutunya,demikian juga dengan fasilitas kesehatan, listrik, air minum, dan transportasi," ujarnya.
Saat ini, kata Simon, hampir semua tenaga kerja di dua area pertambangan itu merupakan tenaga kerja lokal dengan upah yang lebih tinggi dari upah minimum regional (UMR) Sulsel. Sedangkan beberapa tenaga ahli masih memakai tenaga kerja luar.
Kendala yang dihadapi saat ini, jelas Simon, yakni akses jalan tambang, yang akan dibangun dari daerah Sa'dan hingga ke Batusitanduk (Luwu) sepanjang kurang lebih 40 kilometer. Jalan ini sudah disurvey, namun karena terkendalan pembebasan lahan dan hutan lindung sehingga belum bisa dibangun hingga saat ini. Sementara ini aktivitas angkutan material tambang masih menggunakan jalan umum.
"Surveynya sudah dilakukan. Rencananya lebar jalan tambang itu sekitar 10 meter, tetapi karena melewati hutan lindung maka harus minta ijin dulu ke Menteri Kehutanan. Juga soal pembebasan lahan di sepanjang area yang akan dilalui jalan," kata Simon. (aka)
Sumber: Kareba