Tongkonan berasal dari kata tongkon yang berarti duduk, kemudian dibubuhi akhiran an, maka artinya menjadi tempat duduk bersama. Dahulu tongkonan adalah ini merupakan pusat pemerintahan, kekuasaan adat dan perkembangan kehidupan sosial budaya masyarakat Tana Toraja. Tongkonan tidak bisa dimiliki oleh perseorangan, melainkan dimiliki secara turun-temurun oleh keluarga atau marga suku Tana Toraja.
Dengan sifatnya yang demikian, tongkonan mempunyai beberapa fungsi, antara lain: pusat budaya, pusat pembinaan keluarga, pembinaan peraturan keluarga dan kegotongroyongan, pusat dinamisator, motivator dan stabilisator sosial. Dengan demikian fungsi Tongkonan tidaklah sekedar sebagi tempat untuk duduk bersama, lebih luas lagi meliputi segala aspek kehidupan. Apabila mempelajari letak dan upacara-upacara yang dilaksanakan, melalui simbol-simbolnya akan diketahui bahwa Tongkonan adalah simbol sosial dan simbol alam raya. Oleh karena itu orang Toraja sangat men"sakral"kan Tongkonan. Memelihara Tongkonan, secara pribadi berarti memelihara diri, secara bersama-sama pula masyarakat berupaya melestarikannya.
Oleh karena Tongkonan mempunyai kewajiban sosial dan budaya yang juga bertingkat-tingkat dimasyarakat, maka dikenal beberapa jenis tongkonan,antara lain yaitu :
- Tongkonan Layuk atau Tongkonan Pesio' Aluk, yaitu Tongkonan tempat menciptakan dan menyusun aturan-aturan sosial keagamaan.
- Tongkonan Pekaindoran atau Pekamberan atau Tongkonan kaparengngesan yaitu Tongkonan yang satu ini berfungsi sebagai tempat pengurus atau pengatur pemerintahan adat, berdasarkan aturan dari Tongkonan Pesio' Aluk.
- Tongkonan Batu A'riri yang berfungsi sebagai tongkonan penunjang. Tongkonan ini yang mengatur dan berperan dalam membina persatuan keluarga serta membina warisan tongkonan.
Bentuk Tongkonan
Bentuk Tongkonan yaitu berlapis tiga, berbentuk segi empat yang melambangkan empat azas kehidupan manusia yang disebut Ada 'A 'pa eto 'na, terdiri dari kelahiran, kehidupan, pemujaan dan kematian. Segi tempat ini juga dianggap sebagai simbol dari empat penjuru angin. Tongkonan harus selalu menghadap arah utara yang melambangkan awal kehidupan, dengan bagian belakang rumah menghadap arah selatan yang melambangkan akhir kehidupan.
Bagian-bagian Rumah
Model Tongkonan senantiasa mengikuti model desa, secara konsepsional harus bersegi empat. Struktur ruangan mengikut struktur makro-kosmos yang terdiri dari tiga lapisan benua, yakni bagian atas (Rattiangbanua), bagian tengah (kale banua) dan bagian bawah (Sulluk banua).
Bagian atas digunakan sebagai tempat menyimpan benda-benda pusaka yang dianggap mempunyai nilai sakral. Atap Tongkonan terbuat dari bambu-bambu pilihan yang disusun tumpang tindih, dikait oleh beberapa reng bambu dan diikat oleh tali bambu/rotan. Fungsi dan susunan demikian untuk mencegah masuknya air hujan melalui celah-celah, dan sebagai lubang ventilasi. Susunan bambu ditaruh di atas kaso yang terdapat pada rangka atap. Susunan tarampak minimal 3 lapis, maksimal 7 lapis, setelah itu disusun hingga membentuk seperti perahu.
Bagian tengah digunakan untuk tempat tinggal dan melakukan aktivitas di dalam rumah. Bagian tengah yang merupakan badan rumah ini berlantaikan papan kayu uru yang disusun di atas pembalokan lantai, memanjang sejajar balok utama. Dindingnya disusun dengan sambungan pada sisi-sisi papan. Dinding yang berfungsi sebagai rangka dinding yang memikul beban, terbuat dari bahan kayu uru atau kayu kecapi.
Bagian tengah sebagai ruang tempat tinggal, dibagi pula atas tiga bilik yaitu bilik bagian depan disebut Tando', berfungsi sebagai tempat beristirahat, tempat tidur nenek, kakak dan anak laki-laki serta tempat mengadakan sesajen. Jendela pada ruang Tangdo berjumlah 2 buah, menghadap ke utara. Bagian tengah disebut Sali dibagi lagi menjadi dua bagian, yakni bagian timur tempat kegiatan sehari-hari dan sebagai dapur, ruang menerima tamu, ruang keluarga, dan kamar mandi. Di bagian barat digunakan tempat persemayaman jenazah pada waktu diadakan upacara kematian.
Bagian belakang disebut Sumbung yang digunakan sebagai tempat pengabdian dan tempat tidur kepala keluarga bersama anak-anak, khususnya anak gadis, serta untuk menyimpan benda-benda pusaka. Lantainya ditinggikan pertanda bahwa penghuni Tongkonan mempunyai kekuasaan dan derajat yang tinggi. Sumbung ini berada di bagian selatan, maksudnya anak-anak gadis dan anak kecil memerlukan pengawasan ketat, dengan perlindungan dari anak-anak laki-laki yang bertempat di ruang Tando.
Bagian bawah yang merupakan kolong rumah merupakan tempat hewan peliharaan. Fondasinya menggunakan batuan gunung, diletakkan bebas di bawah Tongkonan, tanpa pengikat antara tanah, kolong dan fondasi itu sendiri.
Ragam Hias
Tongkonan dapat dilihat sebagai produk yang menampilkan nilai-nilai estetik, dengan bentuknya yang anggun disertai kekayaan ragam hias yang mengandung makna yang terkait dengan sistem budaya mereka. Pada mulanya, orang Toraja hanya mengenal empat macam ukiran yang disebut Garonto Passura artinya dasar ukiran, antara lain pa'barre allo yaitu ukiran yang menyerupai matahari atau bulan, benda yang mulia di atas bumi berasal dari Sang Pencipta yang memberi hidup dan kehidupan bagi umatNya: pa' tedong ukiran yang menyerupai kepala kerbau, ukiran ini sebagai lambang kerja keras dan kemakmuran, oleh karenanya diletakkan pada tiang-tiang yang berdiri tegak sebagai tulang punggung bangunan, yang berarti bekerja adalah tulang punggung kehidupan; pa' manuk londong ukiran yang menyerupai ayam jantan, sebagai lambang dari norma, aturan yang berasal dari langit yang menata kehidupan manusia. Bersama-sama Pa'barre allo diletakkan di atas bagian depan Tongkonan, dan pa' sussuk yaitu ukiran yang menyerupai garis-garis lurus, sebagai lambang kebersamaan dan kesatuan dalam lingkup kerabat yang tergabung dalam kelompok Tongkonan. Ukiran ini diletakkan pada dinding bagian atas yang menghiasi ruangan. Dari keempat dasar ukiran tersebut dikembangkan terus, hingga sekarang sudah dikenal lebih dari 150 macam ukiran.
Selain motif-motif utama tersebut, ada pula motif lain yang juga memiliki makna. Motif pa'daun balu adalah daun sirih yang merupakan lambang penghormatan kepada dewa-dewa. Motif pa' bua tina adalah lambang pohon waru yang merupakan hiasan dinding rumah sebagai lambang persatuan dalam keluarga. Pa'sala'bi' dibungai berarti 'pagar' yang biasanya terdapat pada dinding dan pagar rumah bangsawan. Motif ini mengandung arti sebagai penangkal masuknya orang jahat dan mencegah penyakit sampar. Motif Pa' bunga menyerupai bunga yang melambangkan pentingnya pengetahuan bagi manusia. Pa' kangkung adalah ukiran yang menyerupai pucuk kangkung menghiasi rumah bangsawan, motif yang mengandung harapan agar senantiasa memperoleh rejeki sebagaimana kangkung yang selalu tumbuh subur di tempat berair. Pa' erong berarti peti mayat yang hanya digunakan untuk peti mayat keluarga bangsawan, yang menaruh harapan agar yang meninggal senantiasa memberi berkah kepada keluarga yang ditinggalkan. Pa 'bunga kaliki simbol bunga pepaya yang bermakna agar nasehat yang menyakitkan pun dapat membawa kebaikan dalam hidup. Pa' sisik bale lambang sisik ikan agar cita-cita yang tinggi dapat tercapai. Pa'kollong buku melambangkan leher merpati yang bermakna agar manusia dapat hidup bebas menentukan pilihannya. Motif Koyo adalah burung bangau lambang manusia yang penyabar. Pa'dara dena berarti dada burung pipit lambang keteguhan hati dan pendirian yang tetap.Tongkonan adalah rumah adat adat masyarakat Toraja. Atapnya melengkung menyerupai Perahu, terdiri atas susunan bambu (sampai saat ini sebagian tongkonan meggunakan atap seng). Di bagian depan terdapat deretan tanduk kerbau. Bagian dalam ruangan dijadikan tempat tidur dan dapur. Bahkan tongkonan digunakan juga sebagai tempat untuk menyimpan Mayat. Tongkona berasal dari kata tongkon(artinya duduk bersama-sama). Tongkonan dibagi berdasarkan tingkatan atau peran dalam masyarakat (stara sosial Masyarakat Toraja).Di depan tongkonan terdapat lumbung padi, yang disebut ‘alang‘. Tiang-tiang lumbung padi ini dibuat dari batang pohon palem (bangah) saat ini sebagian sudah di cor, Di bagian depan lumbung terdapat berbagai ukiran, antara lain bergambar ayam dan matahari, yang merupakan simbol untuk menyelesaikan perkara.Khususnya di Sillanan-Pemanukan (Tallu Lembangna) yang dikenal dengan istilah Ma'duangtondok terdapat tongkonan yaitu Tongkonan Karua (delapan rumah tongkonan)dan Tongkonan A'pa'(empat rumah tongkonan)yang memegang peranan dalam masyarakat sekitar.
Tongkonan karua terdiri dari:
1. Tongkonan Pangrapa'(Kabarasan)Tongkonan karua terdiri dari:
2. Tongkonan Sangtanete Jioan
3. Tongkonan Nosu (To intoi
masakka'na)
4. Tongkonan Sissarean
5. Tongkonan Tomentaun
6. Tongkonan Tomanta'da
7. Tongkonan To'lo'le Jaoan
8. Tongkonan Tomassere'
Tongkonan A'pa' terdiri dari:
1. Tongkonan Peanna Sangka'
2. Tongkonan To'induk
3. Tongkonan Karorrong
4. Tongkonan Tondok Bangla' (Pemanukan)
Banyak rumah adat yang konon di katakan tongkonan di Sillanan, tetapi menurut masyarakat setempat, bahwa yang dikatakan tongkonan hanya 12 seperti tercata di atas. Rumah adat yang lain disebut banua pa'rapuan. Yang dikatakan tongkonan di Sillanan adalah rumah adat dimana turunannya memegang peranan dalam masyarakat adat setempat. Keturunan dari tongkonan menggambarkan strata sosial masyarakat di Sillanan. Contoh Tongkonan Pangrapa' (Kabarasan)/ pemegang keuasaan pemerintahan. Bila ada orang yang meninggal dan dipotongkan 2 ekor kerbau, satu kepala kerbau dibawa ke Tongkonan Pangrapa' untuk dibagi-bagi turunannya.
Stara sosial di masayarakat Sillanan di bagi atas 3 tingkatan yaitu:
1. Ma'dika (darah biru/keturunan bangsawan); 2. To Makaka (orang merdeka/bebas); 3. Kaunan (budak), budak masih dibagi lagi dalam 3 tingkatan.Stara sosial di masayarakat Sillanan di bagi atas 3 tingkatan yaitu:
Sejarah Kabarasan:
Pada awalnya Kabarasan dipegang oleh Tintribuntu yang berkedudukan di Buntu Lalanan (rumah adat Buntu sebelah barat). Kemudian Anaknya Tintribuntu yaitu Tome kawin dengan anak dari Tongkonan Sangtanete Jioan (Tongkonan Sangtanete sebelah timur). Sampai dipertahankan oleh Pong Paara' di Sangtanete Jioan. Setelah Pong Paara' meninggal (tidak ada anaknya), akhirnya muncul pemberani dari Doa' (Rumah adat Doa') yaitu So'Padidi (alias Pong Arruan). Kabarasan dipindahkann ke Doa'. Kekuasaan lemah di Doa' setelah So' Padidi meninggal, karena semua anknya adalah perempuan 3 orang, sehingga muncul tipu muslihat yang mengatakan bahwa bisa di potongkan kerbau 3 ekor saja. Karena minimal kerbau dikorbankan adalah 4, maka Doa' dianggap tidak mampu memegang kekuasaan. Akhirnya dibawa Boroalla ke Tonngkonan Pangrapa', sampai saat ini.
Mengenal lebih dekat Rumah Adat Tana Toraja yakni Tongkonan. Tana Toraja merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Sulawesi Selatan. Untuk menuju Tana Toraja dari Jakarta, anda dapat menggunakan pesawat terbang menuju Makassar terlebih dahulu, lebih kurang 2 jam penerbangan. Sesampainya di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, anda dapat melanjutkan perjalanan menuju Tana Toraja. Jika anda mengunakan pesawat udara dari Makassar menuju Bandara Pongtiku di Toraja, anda hanya membutuhkan waktu 40 menit penerbangan. Namun, penerbangan menuju Toraja biasanya hanya dijadwalkan 2 kali dalam seminggu. Jika anda menggunakan jalur darat, anda dapat menggunakan bus umum dari kota Makassar menuju Makale, pusat kota Tana Toraja. Perjalanan dari kota Makassar menuju Makale ini membutuhkan waktu lebih kurang 8 jam perjalanan melintasi jalan berbukit. Tongkonan merupakan sebutan bagi rumah adat Tana Toraja.
Nah, untuk melihat Tongkonan atau rumah adat Toraja, anda dapat menuju dusun Kadundung, desa Nonongan, kecamatan Sanggalangi, kabupaten Tana Toraja menggunakan angkutan umum ataupun kendaraan pribadi. Jarak menuju desa Nonongan dari pusat kota Makale sekitar 14 kilometer. Namun untuk lebih mempermudah perjalanan menuju desa Nonongan, anda dapat menggunakan jasa dari biro perjalanan yang tersedia di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Konon, kata Tongkonan berasal dari bahasa Toraja, Tongkon yang berarti duduk. Rumah adat di Toraja disebut Tongkon, karena pada awalnya rumah ini merupakan pusat pemerintahan dan kekuasaan adat. Tongkonan bukanlah rumah pribadi perseorangan melainkan diwariskan secara turun temurun oleh keluarga atau marga suku Toraja. Di rumah adat inilah, keluarga Toraja biasanya berkumpul untuk berdiskusi ataupun bertukar pendapat. Namun seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat Toraja kini juga membuat beberapa Tongkonan yang khusus diperuntukkan bagi obyek wisata.
Ketika anda berada di Tana Toraja, tidak semua Tongkonan dapat anda kunjungi. Anda hanya boleh berkunjung ke Tongkonan yang secara khusus dijadikan obyek wisata. Sementara Tongkonan milik keluarga Tana Toraja hanya boleh dikunjungi oleh anggota keluarga Toraja yang memiliki Tongkonan itu. Untuk memperoleh informasi lebih lengkap tentang Tongkonan mana yang dapat dikunjungi oleh wisatawan, anda dapat bertanya kepada tetua adat atau penduduk ketika berada di Tana Toraja. Apapun fungsi Tongkonan itu, bentuk Tongkonan di Tana Toraja tetaplah sama. Arsitektur bangunan rumah terbuat dari kayu pohon. Tongkonan memiliki atap yang terbuat dari daun nipa atau kelapa. Jika dilihat dari bagian samping rumah, bentuk atap Tongkonan seperti kepala dan sepasang tanduk kerbau. Di kehidupan masyarakat Toraja, kerbau dijadikan simbol status sosial. Ketika keluarga Toraja menyelenggarakan upacara adat khususnya ritual pemakaman, mereka tak pernah lupa untuk menyembelih kerbau. Jumlah kerbau yang disembelih itu tergantung dari kemampuan ekonomi keluarga yang menyelanggarakan acara adat. Setelah disembelih, tanduk kerbau itu dipasang di dalam Tongkonan milik keluarga Toraja. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau dalam sebuah Tongkonan, semakin tinggi pula status sosial pemilik Tongkonan itu di kalangan masyarakat Toraja. Jika memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam Tongkonan, anda dapat melihat beberapa ornamen ukiran khas Toraja yang terbuat dari tanah liat. Untuk ornament di dalam Tongkonan, masyarakat Toraja biasanya menggunakan empat warna dasar yakni hitam, merah, kuning, serta putih.
Bagi suku Toraja, keempat warna itu memiliki warna tersendiri. Di Toraja, warna hitam melambangkan kematian, kuning menjadi simbol anugerah dan kekuasaan Illahi, putih lambang warna daging dan tulang yang berarti suci, sementara merah menjadi simbol warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Sama halnya dengan jumlah tanduk kerbau, ornament di dalam Tongkonan juga melambangkan kemewahan. Semakin banyak anda menjumpai ornament ukiran di dalam sebuah Tongkonan, Tongkonan itu dinilai semakin memiliki kemewahan tersendiri di kalangan masyarakat Toraja.
Pada awalnya Kabarasan dipegang oleh Tintribuntu yang berkedudukan di Buntu Lalanan (rumah adat Buntu sebelah barat). Kemudian Anaknya Tintribuntu yaitu Tome kawin dengan anak dari Tongkonan Sangtanete Jioan (Tongkonan Sangtanete sebelah timur). Sampai dipertahankan oleh Pong Paara' di Sangtanete Jioan. Setelah Pong Paara' meninggal (tidak ada anaknya), akhirnya muncul pemberani dari Doa' (Rumah adat Doa') yaitu So'Padidi (alias Pong Arruan). Kabarasan dipindahkann ke Doa'. Kekuasaan lemah di Doa' setelah So' Padidi meninggal, karena semua anknya adalah perempuan 3 orang, sehingga muncul tipu muslihat yang mengatakan bahwa bisa di potongkan kerbau 3 ekor saja. Karena minimal kerbau dikorbankan adalah 4, maka Doa' dianggap tidak mampu memegang kekuasaan. Akhirnya dibawa Boroalla ke Tonngkonan Pangrapa', sampai saat ini.
Mengenal lebih dekat Rumah Adat Tana Toraja yakni Tongkonan. Tana Toraja merupakan salah satu kabupaten yang berada di provinsi Sulawesi Selatan. Untuk menuju Tana Toraja dari Jakarta, anda dapat menggunakan pesawat terbang menuju Makassar terlebih dahulu, lebih kurang 2 jam penerbangan. Sesampainya di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar, anda dapat melanjutkan perjalanan menuju Tana Toraja. Jika anda mengunakan pesawat udara dari Makassar menuju Bandara Pongtiku di Toraja, anda hanya membutuhkan waktu 40 menit penerbangan. Namun, penerbangan menuju Toraja biasanya hanya dijadwalkan 2 kali dalam seminggu. Jika anda menggunakan jalur darat, anda dapat menggunakan bus umum dari kota Makassar menuju Makale, pusat kota Tana Toraja. Perjalanan dari kota Makassar menuju Makale ini membutuhkan waktu lebih kurang 8 jam perjalanan melintasi jalan berbukit. Tongkonan merupakan sebutan bagi rumah adat Tana Toraja.
Nah, untuk melihat Tongkonan atau rumah adat Toraja, anda dapat menuju dusun Kadundung, desa Nonongan, kecamatan Sanggalangi, kabupaten Tana Toraja menggunakan angkutan umum ataupun kendaraan pribadi. Jarak menuju desa Nonongan dari pusat kota Makale sekitar 14 kilometer. Namun untuk lebih mempermudah perjalanan menuju desa Nonongan, anda dapat menggunakan jasa dari biro perjalanan yang tersedia di Bandara Sultan Hasanuddin Makassar. Konon, kata Tongkonan berasal dari bahasa Toraja, Tongkon yang berarti duduk. Rumah adat di Toraja disebut Tongkon, karena pada awalnya rumah ini merupakan pusat pemerintahan dan kekuasaan adat. Tongkonan bukanlah rumah pribadi perseorangan melainkan diwariskan secara turun temurun oleh keluarga atau marga suku Toraja. Di rumah adat inilah, keluarga Toraja biasanya berkumpul untuk berdiskusi ataupun bertukar pendapat. Namun seiring dengan perkembangan jaman, masyarakat Toraja kini juga membuat beberapa Tongkonan yang khusus diperuntukkan bagi obyek wisata.
Ketika anda berada di Tana Toraja, tidak semua Tongkonan dapat anda kunjungi. Anda hanya boleh berkunjung ke Tongkonan yang secara khusus dijadikan obyek wisata. Sementara Tongkonan milik keluarga Tana Toraja hanya boleh dikunjungi oleh anggota keluarga Toraja yang memiliki Tongkonan itu. Untuk memperoleh informasi lebih lengkap tentang Tongkonan mana yang dapat dikunjungi oleh wisatawan, anda dapat bertanya kepada tetua adat atau penduduk ketika berada di Tana Toraja. Apapun fungsi Tongkonan itu, bentuk Tongkonan di Tana Toraja tetaplah sama. Arsitektur bangunan rumah terbuat dari kayu pohon. Tongkonan memiliki atap yang terbuat dari daun nipa atau kelapa. Jika dilihat dari bagian samping rumah, bentuk atap Tongkonan seperti kepala dan sepasang tanduk kerbau. Di kehidupan masyarakat Toraja, kerbau dijadikan simbol status sosial. Ketika keluarga Toraja menyelenggarakan upacara adat khususnya ritual pemakaman, mereka tak pernah lupa untuk menyembelih kerbau. Jumlah kerbau yang disembelih itu tergantung dari kemampuan ekonomi keluarga yang menyelanggarakan acara adat. Setelah disembelih, tanduk kerbau itu dipasang di dalam Tongkonan milik keluarga Toraja. Semakin banyak jumlah tanduk kerbau dalam sebuah Tongkonan, semakin tinggi pula status sosial pemilik Tongkonan itu di kalangan masyarakat Toraja. Jika memiliki kesempatan untuk masuk ke dalam Tongkonan, anda dapat melihat beberapa ornamen ukiran khas Toraja yang terbuat dari tanah liat. Untuk ornament di dalam Tongkonan, masyarakat Toraja biasanya menggunakan empat warna dasar yakni hitam, merah, kuning, serta putih.
Bagi suku Toraja, keempat warna itu memiliki warna tersendiri. Di Toraja, warna hitam melambangkan kematian, kuning menjadi simbol anugerah dan kekuasaan Illahi, putih lambang warna daging dan tulang yang berarti suci, sementara merah menjadi simbol warna darah yang melambangkan kehidupan manusia. Sama halnya dengan jumlah tanduk kerbau, ornament di dalam Tongkonan juga melambangkan kemewahan. Semakin banyak anda menjumpai ornament ukiran di dalam sebuah Tongkonan, Tongkonan itu dinilai semakin memiliki kemewahan tersendiri di kalangan masyarakat Toraja.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar