Kamis, 22 Juli 2010

"Tongkonan" dan "Alang"

Pembangunan rumah tongkonan dan lumbung alang harus dilandasi oleh hubungan saudara dengan hutan sebagai sumber bahan ramuan. Prinsip hubungan ini muncul dalam kontinuitas kehidupan. Penebangan pohon adalah mematikan karena itu harus ada upaya agar kayu mati tadi dihidupkan. Dalam budaya ini kayu mati menjadi hidup kalau bahan kayu rumah yang diletakkan secara horizontal bagian batang bawah berada di selatan (muara sungai), sedangkan bagian atas kayu menghadap sumber mata air (utara) ke langit yang tertinggi. Tiang-tiang dan dinding rumah juga memakai prinsip sama, yaitu semua bahan harus ditata tumbuh ke atas.

Hanya dengan perlakuan demikian maka kontinuitas hidup terjamin dan pohon-pohon ini menghidupkan penghuninya. Kemudian, dalam pelaksanaan ritus kehidupan atau kematian, bahan-bahan kayu dibutuhkan (dimatikan) dan untuk menjaga kontinuitas kehidupannya pohon-pohon baru seperti pohon berdaun lebar (lamba’), beringin, cendana, dan kedondong harus ditanam kembali (dihidupkan). Kedondong dipercayai sebagai penangkal petir melindungi pohon-pohon lain karena buahnya asam. Bila pohon-pohon ini tumbuh, maka akan mendatangkan rezeki bagi seluruh kampung. Hubungan saudara ini juga dikonkretkan dalam pembangunan pasangan rumah/lumbung. Rumah dikategorikan sebagai wanita (baine), sedangkan lumbung sebagai laki-laki (londongna banua). Hubungan antara keduanya adalah hubungan saudara.

Ini misalnya dibuktikan dengan pemakaian istilah kekerabatan untuk menamai tiang pusat rumah yang terbuat dari kayu nangka (a’riri posi’), yaitu anak dara-anak dara. Laki-laki memakai nama ini untuk memanggil saudara perempuannya, sedangkan yang terakhir memanggil saudara laki-lakinya anak laki-laki (anak muane). Tongkonan dan alang adalah mikro-kosmos mewakili makro-kosmos yang menekankan hubungan saudara, yaitu langit (laki-laki) dan bumi (wanita), atau Puang Matua pencipta (saudara laki-laki) yang berdiam di langit dan Datu Baine (saudara perempuan) yang berdiam di bumi. Proses pembangunan rumah/lumbung ini harus didasarkan pada kebenaran umum yang diturun-temurunkan (sangka’), yang sudah diuji kebenarannya, suatu praktik yang menghidupkan dan tidak mematikan. Hal ini ditandai dengan penempatan simbol-simbol di depan tongkonan yang mirip salib yang disebut jejeran kebenaran (dandanan sangka’).

Yang menarik adalah kebenaran umum dikonstruksi dalam bentuk cerita, yang bagi kebanyakan kita tidak lebih dari sekadar "cerita". Banyak cerita sangka’ yang diceritakan secara turun temurun (ulelean batu silambi’) tentang kecelakaan dalam penebangan pohon-pohon di hutan yang dibawa hanyut air sungai. Cerita demikian dapat ditemukan dalam berbagai versi dari kampung ke kampung. Singkatnya, perlakuan alam secara saudara harus didasarkan pada serangkaian kebenaran karena tongkonan adalah doa dan harapan yang menarik datangnya (ullambe) rezeki (dalle’), kebahagiaan (kamasannangan), keselamatan (kamarendengan), dan kekayaan (eanan).

Tuturan ritus

Masyarakat Toraja punya ideologi bahasa yang mirip dengan apa yang Austin dan Wittgenstein katakan, yaitu bertutur dan berbicara adalah suatu social action yang punya akibat. Yang paling ditakuti ialah kalau kegiatan berbicara itu mendatangkan bala (tula). Sebaliknya, yang paling didambakan adalah bila kegiatan bertutur mendatangkan kebaikan (kameloan). Dipercayai, misalnya, bahwa dalam nama pohon terdapat dua kekuatan, yaitu kekuatan mematikan dan menghidupkan. Dalam mitos turunnya Pong Mula Tau (manusia pertama) di Rura (sekarang masuk kecamatan Enrekang) Tangdilino’ menyuruh Pong Bulu Kuse dan Pong Sabannangna masuk ke dalam hutan untuk menebang pohon-pohon. Karena mereka serakah hendak menebang pohon tanpa melakukan upacara, semua pohon menyebutkan namanya, yang menyebabkan kematian (kada beko) akan terjadi pada manusia kalau mereka menebangnya. Keserakahan terhadap alam adalah pertanda hubungan non-saudara. Hanya dengan mediasi ritual likaran biang, yaitu upacara kehidupan dengan mengorbankan ayam di hutan, maka pohon-pohon itu mengungkap unsur-unsur dari totalitas kehidupan. Pohon nangka akan mendatangkan kekayaan bagi penghuninya, pohon uru akan mendatangkan banyak babi besar, pohon betau akan membangun manusia seutuhnya, dan seterusnya. Kearifan lokal yang dikonstruksi dalam tradisi lisan Toraja dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan lingkungan. Inti utamanya adalah membangun hubungan manusia dan alam sebagai hubungan subyek-subyek, yaitu dengan menerapkan "hubungan saudara". Hubungan non-saudara (subyek-obyek) hanya akan mendatangkan sifat serakah, penebangan liar, dan lain-lain. Adapun hubungan saudara (subyek-subyek) yang didasari ajaran agama, kebenaran-kebenaran yang turun-temurun, serta mediasi ritual akan mendatangkan kesuburan dan kehidupan.

Stanilaus Sandarupa Anggota Asosiasi Tradisi Lisan, Dosen Antropolinguistik pada Fakultas Sastra, Unhas

Tidak ada komentar: