Lo'Ko Mata suatu lokasi yang diciptakan Tuhan Yang Maha Kuasa mengambil posisi di lereng gunung Sesean pada ketinggian ± 1400m di atas permukaan laut. Suatu tempat yang sangat menawan, fantastic dan bila seseorang datang dan menyaksikan serta merenungkan ciptaan ini rasa kangen pasti ada.
Selain itu Anda dapat menyaksikan panorama alam yang sangat indah dan deru arus sungai di bawah kaki kuburan alam ini. Yang terletak di desa Pangden ±30 km dari kota Rantepao. Nama Lo'ko' Mata diberi kemudian oleh karena batu alam yang dipahat ini menyerupai kepala manusia, tetapi sebenarnya Liang Lo'ko' Mata sebelumnya bernama Dassi Dewata atau Burung Dewa, oleh karena liang ini ditempati bertengger dan bersarang jenis-jenis burung yang indah-indah warna bulunya, dengan suara yang mengasyikkan kadang menakutkan.
Pada abad XIV (1480) datanglah pemuda kidding yang memahat batu raksasa ini untuk makam mertuanya yang bernama Pong Raga dan Randa Tasik (I) selanjutnya pada abad XVI tahun 1675 lubang yang kedua dipahat oleh Kombong dan Lembang. Dan pada abad XVII lubang yang ketiga dibuat oleh Rubak dan Datu Bua'. Liang pahat ini tetap digunakan sampai saat ini saat kita telah memasuki abad XX. Luas areal wisata Lo'ko' Mata ± 1 ha dan semua lubang yang ada sekitar 60 buah.
Ma’ Gellu’ pada mulanya di tarikan setelah panen usai. Kehidupan masyarakat Toraja pada dahulu kala 80% hidup dari bertani, oleh karena itu tarian ma’Gellu’ di ciptakan untuk tarian setelah panen usai.Di malam hari di kala bulan terang sebagian orang menumbuk padi di lesung dan dengan iringan bunyi dari lesung, perempuan perempuan ikut menari, sebagai tanda ungkapan syukur kepada yang Kuasa atas berhasilnya panen.Ma’ Gellu’ menggambarkan para petani memanen di sawah dengan menggunakan ani ani, yang pada umumnya di lakukan oleh ibu ibu dan gadis gadis desa.Kegitan memanen di lakukan berhari hari bahkan berminggu minggu, sehingga cukup melelahkan, namun tidak terasa lelah karena mereka melakukannya dengan penuh semangat, akrab dan ceria.
Tarian Ma’gellu awalnya dikembangkan di Distrik Pangalla’ kurang lebih 45 km ke arah Timur dari kota Rantepao dan biasanya dipentaskan pada upacara khusus yang disebut Ma’Bua’, yang berkaitan dengan upacara pentasbihan Rumah adat Toraja/Tongkonan, atau keluarga penghuni tersebut telah melaksanakan upacara Rambu Solo’ yang sangat besar (Rapasaan Sapu Randanan). Saat ini tarian Ma’gellu’ sering juga dipertunjukkan pada upacara kegembiraan seperti pesta perkawinan, syukuran panen, dan acara penerimaan tamu terhormat. Tarian ini dilakukan oleh remaja putri dengan jumlah ganjil dan diiringi irama gendang yang ditabuh oleh remaja putra yang berjumlah empat orang. Busana serta aksesoris yang digunakan adalah khusus untuk penari dengan perhiasan yang terbuat dari emas danperak seperti Keris Emas/Sarapang Bulawan, Kandaure, Sa’pi’ Ulu’, Tali Tarrung, Bulu Bawan, Rara’, Mastura, Manikkata, Oran-oran, Lola’ Pali’ Gaapong, Komba Boko’ dan lain-lainnya.
Orang menenggak minuman keras adalah pemandangan lumrah dan wajar ditemui di Tana Toraja. Tua muda, laki-laki dan perempuan, turut di dalamnya. Tempatnya, di mana saja, di pinggir jalan, di rumah, bahkan depan kantor polisi sekali pun.
Yang ditenggak, entah itu ballo' ataupun minuman keras buatan pabrik, pokoknya tak ada larangan. Sejak dulu, nenek moyang orang Toraja sangat akrab dengan minuman keras. Minuman yang digemari umumnya adalah tuak enau, berasal dari cairan pohon induk atau nira (Borassus flabellifer) yang difermentasi. Saya masih ingat perkataan salah seorang kakek di kampung, ”Tannia toraya ke tae na mangngiru.” Artinya, bukan orang Toraja kalau tidak meneggak minuman keras. Sembari berkata begitu, kakek itu menawarkan ballo’ kepada saya. Ballo’ wajib hadir dalam ritual-ritual adat Toraja, baik sebagai kelengkapan upacara maupun untuk menyambut para tamu. Bagi orang Toraja sendiri, meminum ballo’ biasa dilakukan untuk menghangatkan tubuh dari terkaman dingin, dan diyakini dapat menambah tenaga bagi peminumnya. Bukan untuk mabuk-mabukan. Jadi sangat jarang dijumpai orang mabuk karena meneggak ballo’. Minuman beralkohol rendah dengan kadar 5-10 persen ini, warnanya agak putih seperti air beras namun sangat encer. Baunya sangat khas mirip bau asam cuka dan rasanya agak pahit sedikit kecut. Orang Toraja menyebut rasa ini seperti “manis-manis jambu”. Untuk mencicipi ballo’ di Toraja, khususnya di Pasar Makale, sangatlah mudah. Silakan saja berkeliling di sekitarnya. Tiap sudut dan perempatan jalan pasti ada yang membawa jerigen yang berisi ”Bir Toraja”. Biasanya para passari atau penyadap nira menjual langsung ballo’ dalam jerigen-jerigen 10-20 liter di seputaran pasar Makale, dan ada pula yang menjualnya ke warung-warung ballo’ dan warung makan yang banyak tersebar di pasar ini, maupun terminal regional Makale. Tak heran jika hampir seluruh dari warung makan menyajikan ballo’ sebagai ”air putih”. Para pedagang berasal dari desa-desa di sekitar Makale menjual ballo’ yang baru diturunkan dari suke (bambu tempat menadah cairan tuak), pada pagi atau sore hari. Ballo’ sifatnyatidak tahan lama. Apabila ballo’ itu telah bermalam (ma’bongimo) maka rasanya akan menjadi ballo’ messuk (kecut), peminumnya akan sakit perut. Makanya ballo’ yang enak hanya dapat dinikmati di daerah Toraja. Mari kita lihat di ibukota kabupaten, Makale. Di sudut barat pasar Makale, sekitar 20 warung ballo’ berderet seperti menciptakan dunia remang-remang sendiri. Barisan warung sepanjang 200 meter itu terlihat jelas karena bersampingan dengan los-los barang campuran, pakaian, dan penjual bumbu masakan. Lantaran letaknya yang begitu terbuka, warung-warung tuak tersebut seperti menjadi penyambut pengunjung pasar Makale. Semua angkutan dan penumpang yang datang dari berbagai penjuru Makale dan sekitarnya berhenti dan turun di jalur ini. Mau tak mau, mereka akan melihat jelas aktivitas manusia-manusia di warung yang dikenal dengan sebutan galampang, yang secara harfiah berarti tempat beristirahat. Setiap pagi dan sore hari, tong-tong plastik ukuran besar yang menampung galonan liter ballo’ dikumpulkan dari passari, baik yang melintas atau yang datang menawarkan ballo’ kepada warung-warung di galampang. Dalam sehari, tiap warung mampu menjual 50 liter lebih ballo’. Terlebih ketika hari pasar tiba, bisa-bisa mencapai 60-70 liter. Jumlah ini bergabung dengan minuman pabrik minuman beralkohol lain seperti bir, anggur, dan minuman putih yang biasa dicampurkan dengan ballo’. Dunia remang Galampang adalah dunia yang kompleks. Secara fisik, galampang yang berukuran 3 x 3 meter itu menjadi tempat berkumpulnya para peminum dari segala penjuru Makale sejak pasar berdiri tahun 1986. Tempat sekecil inilah yang menjadi tempat puluhan orang berpesta ballo. Bau kecut dari ballo, orang mabuk, ikan bakar, dan rayuan pelayan-pelayan warung menjadi suasana khas di galampang. Pelayan-pelayan di sini, kebanyakan berasal dari pelosok Toraja. Selain bekerja sebagi pelayan, ada sebagian yang secara terang-terangan menawarkan layanan syahwat kepada pengunjung. Galampang memang adalah serba remang. Perempuan yang masuk dalam jeratan transaksi syahwat di galampang disebut boncis. Namun ada juga yang memanggil mereka kalli lotong. Sebutan ini mulai marak disandangkan pada mereka pada awal tahun 2000-an. Berasal dari kata kalli yang artinya celana dalam dan lotong artinya hitam. Asal muasal penyebutan bagi pekerja seks komersial di kawasan galampang ini, tak jelas dari mana. Ironis memang bahwa di galampang, dunia hitam itu terbentang di depan mata siapa saja yang bermaksud singgah beristirahat. Orang Toraja memang senang berkumpul dan minum-minum. Lihatlah mereka berdesakan di warung-warung. Meski kapasitas pengunjung yang dapat ditampung satu warung maksimal 10 orang, orang-orang tampak tak peduli. Jika warung telah penuh, pengunjung biasanya minum di bale-bale tepat di depan warung. Ada pula yang menikmati minumannya dengan berjongkok membentuk lingkaran kecil disekitar galampang. Jika bertepatan dengan hari pasar yang jatuh enam hari sekali, galampang akan disesaki oleh orang yang melepaskan penat setelah lelah berbelanja di pasar Makale. Mereka biasanya sekadar meminum segelas ballo’ atau sebotol bir. Harga ballo’ di sini relatif mahal dibandingkan minuman pabrik seperti bir, anggur, dan minuman putih lainnya. Untuk menikmati pahit manisnya segelas ballo’, kita harus rela mengeluarkan uang sebesar Rp3.000 - Rp5.000. Namun jika memesan satu teko, harganya agak murah, cuma Rp7.000. Hingar bingar house-music di kawasan ini terdengar serak. Siang malam irama dari satu warung ke warung lainnya seolah saling berkejaran. Namun sekarang, karena alasan keamanan, pemilik warung harus menutup dagangannya di bawah jam 10 malam. Di sekitar galampang juga banyak pa’kurung, atau ayam yang dikurung dan dirawat khusus. Pagi-pagi sekali, para pemilik ayam ini memandikan, memberi makan, mengurut, dan menjemur jagoan mereka di sepanjang jalan di depan galampang. Barisan kurungan ayam (salokko) yang terbuat dari anyaman bambu menjadi pemandangan yang begitu akrab. Penghuni galampang tak lepas dari judi sabung ayam, seperti orang Toraja umumnya. Dunia Preman Premanisme memang tak bisa dilepaskan dari denyut nadi pasar. Pria bertato, hanya mengenakan baju singlet dengan mata yang merah, membuat pengunjung pasar takut untuk melintas.”Ada orang yang kerjanya cuma nongkrong dan mabuk di warung di galampang,” kata seorang pedagang voucher pulsa ponsel, yang letak kiosnya berhadapan dengan galampang. Sambil menunjuk ke sekelompok orang yang asik menenggak ballo di sudut galampang. Kebetulan sekali rumah saya terletak tepat di depan galampang. Dari wajah mereka saja, saya sudah mengenali. Merekalah para laki-laki yang bermata merah, dengan rajah menghiasi tubuh, yang memegang gelas tuak, yang menguasai pasar. Saya terbiasa menerima kehadiran mereka. Kadang mereka tersenyum jika saya melintas atau sekadar mengucapkan, ”Halo sangmane!” (Hai, kawan!). Tapi tak usah terlalu khawatir melintasi kawasan ini. Walaupun di sini sarang para pemabuk, tapi sangat jarang terdengar keributan, perkelahian dan pemalakan. Mungkin karena para penghuni galampang ini sudah saling mengenal satu sama lain atau ikatan persaudaraan mereka yang memang kuat. Kasus kriminal yang paling besar dan menggemparkan Toraja terjadi pada tahun 2001. Seorang pedagang yang bersuku Makassar menikam seorang anak sekolah mabuk yang sering memalak dagangannya di galampang. Dulu sebelum direlokasi, galampang lama merupakan tempat gelap, sempit, dan kumuh. Bayangkan jika, seorang pemabuk bertemu pemabuk lain di tempat gelap dan sempit. Bersenggolan sedikit saja akan memicu perkelahian. Namun setelah dipindahkan, perkelahian sudah sangat jarang. Mungkin lantaran mereka bersebelahan dengan pemukiman penduduk di kawasan pasar Makale. Masalah keamanan memang sangat dijaga oleh para pengunjung di sini. Memang, selama saya tinggal di kawasan ini, saya tak pernah mendengar kasus pencurian yang dilakukan oleh para penghuni Galampang. ”Barang-barang dagangan di kios-kios hanya ditutup dengan terpal, tak akan ada yang mencurinya,” tutur seorang salah satu pedagang campuran yang bersebelahan dengan galampang. Sebelumnya, daerah ini adalah tempat yang paling ramai dibandingkan tempat berbelanja lainnya di pasar. Namun, setelah galampang berada disini, orang mulai enggan datang berbelanja. Mungkin karena banyak pemabuk berkeliaran. Keberadaan galampang yang berdampingan dengan pedagang komoditas lain, berakibat kurangnya pendapatan pedagang lainnya. Relokasi galampang memang sangat bermasalah. Selain penataannya amburadul, kawasan ini sempat ditentang oleh masyarakat sekitar. Pengunjung galampang sebenarnya bukan hanya kaum pengangguran dan preman, ada juga pegawai negeri sipil, polisi dan tentara yang sering nongkrong. Kehadiran mereka mencolok di galampang karena seragam yang dikenakan. Demikian juga anak sekolah yang membolos masih menggunakan seragam. Bahkan ada guru sekolah yang sering minum di situ. Bagi para peminum, galampang adalah surga yang menyajikan kenikmatan seteguk ballo’ dan rayuan kalli lotong. Yang melepas lelah di sini, termasuk para pengangguran, kuli, tukang becak, tukang ojek, dan sopir angkutan umum. Mereka, rakyat yang masuk kategori marjinal dalam indikator sosial dan pembangunan ini, adalah penyumbang utama bagi denyut dan napas di galampang.
(paraphrased from a book by Terance Bigalke, see below)
By 1917 a complex mosaic of grievances toward mission and government existed in the Sa'dan highlands. If the government was seen as the agent for making decisions that affected people's lives in the villages, the mission was viewed as the intelligence-gathering apparatus funneling reports from teachers, students, and the missionaries themselves to the Dutch rulers. While gathering damaging information through his active participation in village affairs, the missionary dispensed unsettling pronouncements on Torajan custom and the god of the Whites, confirming with words what his actions had already told them: "the Dutch want you to become Christian." By sending troops and armed police, the colonial government put steel into the missionary's request for manpower and materials to build schools, and enforced his passion against gambling and cockfighting. While van de Loosdrecht might say "that the mission asks and urges but the government orders and punishes," the Torajan was more likely to conclude that "the mission asks and urges, then the government orders and punishes.
The fears that the Dutch were out to obliterate the indigenous religion reached their height when the governor journeyed to Rantepao on March 2, 1917 to meet with the missionaries in what Torajans widely held to be a plot to convert all Torajans to Christianity.
The rumor had some basis in truth. Indeed, the governor was meeting with the Dutch civil commanders from Makale and Rantepao and the mission personnel to discuss van de Loosdrecht's proposal to abolish not only cockfighting but the death feast itself and ban markets on Sundays, essentially transforming the market system from a six-day cycle to a seven-day cycle, with the Sabbath off.
The incomplete information leaking from this meeting made a profound impression on Torajan headmen. Many of them met at the Rantepao headmen's hall and made strong statements of protest against the anticipated forced Christianization. The rumor soon spread that the death feast, cockfighting, and the Sunday market would all be abolished. The immediate fears stimulated by the governor's presence in Rantepao exacerbated long-standing animosities generated by the village schools. These schools, in the minds of most villagers, were a kind of forced labor. Having little sense of the school's utility to the village, people focused on their own losses, in terms of children's labor in the fields or at home, and the cost of clothing them for school. They resented being jailed or fined when their children were absent from school, and many objected to the taxing of death feasts to support the school. In the final analysis, the perceived attack on indigenous religion and custom, combined with the villagers' objections to the schools, might not have produced the eventual violent reaction they did had not the mission and government made such a determined effort to undercut some of the stalwarts of the old elite. By selectively removing and sending into exile the linchpins of the elite, the Dutch may have failed to recognize the general sense of alarm this caused among the headmen. If it could happen to Pong Maramba, Ne' Lapu, and Danduru, why not to Ne' Mattandung or anyone viewed as opposing the mission? Opposition began to mount against the increased interference of mission and government in village affairs.
Behind the scenes of isolated resistance, the headmen had begun to take positions that envisioned the expulsion of the Dutch. From the beginning, some of them had seen the Dutch as passing overlords destined not to control the highlands for long. As early as 1909, some of the headmen hatched a plot first to attack the Dutch in Makale and Rantepao, then to move on to conquer Palopo and Makassar.
On July 21, 1917 the Tikala district head (puang) Arung Langi, and the Bori headman, Pong Arung, reported to the Rantepao prosecutor that Ne' Mattandung's adopted son Pong Massanka had organized a gambling party in his kampong; they broadly hinted that the named persons harbored plans to revolt.
There was no love lost between these two informers and Ne' Mattandung, their animosity originating in the days of Tikala raids into Balusu for slaves and ransom. Vague plans for rebellion had been in the wind since 1916, but they assumed a sense of urgency only after the incendiary rumors emanating from the governor's visit to Rantepao swept through the area. The rebels planned simultaneous attacks on all Dutch compounds in Makale and Rantepao towns, and on the houses of the four missionaries, to drive all the Dutch from the highlands. Arms were collected and stored in preparation for the rebellion. Given the lack of political unity at the time, the plan, and the preparations for implementing it, seem quite impressive. Before the principal plan had a chance to develop fully, however, the subplot initiated by Ne' Mattandung and his followers prematurely came to a climax. About July 15, 1917 Pong Massangka led a dozen followers into Rantepao on market day to wait in ambush for Commander Brouwer, who typically took a walk around the market each day in the late afternoon. Hiding knives in their clothes, the band watched the Dutchman, with his wife and young son, approach to within two hundred meters of where they were hiding behind some trees. Suddenly the child stumbled and fell, beginning to wail. Rather than take the protesting child through the crowded market, Brouwer and his wife decided to return home at once, thwarting the plot of the would-be assassins.
When Massangka and his supporters returned to Pangli, Ne' Mattandung held a gambling party for them. They then made a second plan for an assassination, this time of van de Loosdrecht at his house in Barana, just north of Rantepao. On the evening of the 26th the group, joined by others who had not participated in the earlier attempt, slaughtered a pig and prepared rice for a ceremonial meal before starting off for the missionary's house.
A courier had just returned with word from Ne' Mattandung that he agreed with their plan to attack the missionary. Suddenly someone appeared with the news that van de Loosdrecht had been seen at a schoolmaster's house in Bori, some twenty minutes away. Under cover of darkness, thirteen of the celebrants then hurried off to carry out their plan. After the band reached the Bori bridge, the designated assassin Pong Massangka alias Ne' Babu' left them and approached the porch where the missionary was reading by lamplight at the open window. Leaping onto the porch, the young warrior plunged his lance through van de Loosdrecht's lower chest; as he slumped to the floor, the dying missionary knocked over the lamp, and flames engulfed the porch as the band slipped away.
Passions pent up over the period of several rice harvests poured out that night and the next. With the active or passive support of many villagers Pong Massangka and his followers swept through To' Karau market an hour away, burning the newly constructed market stalls. They then returned to Pangli where they burned three bridges linking the village with the road to Rantepao - a road resented by Massangka because, without consulting him, the government had confiscated a portion of his rice fields for a right-of-way. The inhabitants of Pangli were whipped into an anti-Dutch frenzy, and they built barricades around village entrances, preparing to fight the Dutch troops that they knew would soon arrive. Reports indicate that the Dutch expected a fierce battle in Pangli. Commander Brouwer, with his half-brigade of armed police, proceeded from Bori to Balusu, bypassing the stronghold at Pangli. Two brigades of infantry from Palopo and two from Enrekang were already on their way to deal with any heavy resistance. Brouwer went to Balusu, because he suspected that Ne' Mattandung was somehow involved in the murder of the missionary. At dusk all the surrounding villages lit fires in support of Mattandung's truculence, and by the next morning five hundred armed supporters hovered in the hills surrounding the unwelcome authorities. Half a day of cat and mouse left one Torajan dead, shot as he advanced on the messenger bearing a summons to Ne' Mattandung. The stalemate ended with the arrival of reinforcement troops from Palopo and police forces from Makale. In the face of this triangular advance, Mattandung's warriors dispersed throughout the hilly terrain, fighting ineffectually with lances and long knives against the Dutch firearms. Several more Torajans were killed and captured and the resistance crumbled. The round-up of rebels and active sympathizers continued for two weeks, with hundreds being detained. Mattandung's capture and the surrender of Pangli without a fight exposed the weakness of the leadership behind the plots to kill Brouwer and van de Loosdrecht.
The various plots to expel the Dutch from the highlands had misfired, and fifty-six persons from Rantepao were exiled. With the departure of Tandibua and his lieutenants, Ne' Mattandung and his, Pong Massangka and the tragic Pong Arung (who committed suicide in jail), the steel went out of the Torajan resistance to change - particularly the change dictated by the mission and a mission-sympathetic government. Pong Maramba and Danduru had preceded them, Tangki Langi, an influential headman in Pangala convicted in a sawah dispute, followed. The missionary who succeeded van de Loosdrecht recorded the whispers passing through Toraja: "the Dutch are killing all our great men."
Sumber : http://www.batusura.de/pangli.htm
For more information, refer to: Tana Toraja: A Social History of an Indonesian People (Singapore: Singapore University Press, 2005) by Terance Bigalke. ISBN: 9971693186
Agama Kristen mulai diperkenalkan di Toraja oleh seorang misionaris Belanda yang bernama A.A.van de Lostrect pada tahu 1913. Kegiatan penginjilan terus dilakukan sampai berdirinya Gereja Toraja tahun 1947, dengan bentuk yang amat diwarnai oleh Gereja Gerevomeerd di Belanda. Pandangan teologia yang dibawa oleh misionaris ini sangat negatif terhadap etika maupun ritual dari budaya nenek moyang yang dicap kafir . Berbagai larangan yang didasarkan pada dogma Gereformeerd kemudian disusun. Kalupun ada etika dalam budaya yang sebenarnya tidak bertentangan dengan ajaran gereja, hal itu tetap dianggap tidak cukup. Apa yang diajarkan Gereja adalah segala-galanya. Kalaupun ada upacara-upacara yang diijinkan, hal itu senantiasa diupayakan bersih dari nilai-nilai kekafiran budaya nenek moyang. Jika kita menghubungkan kenyataan ini dengan analisis Richard Niegbuhr tentang sikap terhadap budaya, maka sikap yang anut adalah “Kristus melawan Kebudayaan”.
Sekarang ini hampir semua orang Toraja memeluk agama Kristen. Tetapi tampaknya etos dan pandangan dunia yang diharapkan Gereja dapat membentuk struktur sosial dan pranata sosial masyarakat Toraja berdasarkan nilai-nilai Kekristenan, tetap mengalami perlawanan dari budaya Toraja yang telah mengakar dalam diri masyarakat Toraja. Bentuk perlawanan itu memang tidak terlihat secara eksplisit, bahkan tidak disadari. Meminjam teori psikoanalisa Freud, penulis melihat bahwa kalaupun masyarakat Toraja telah beragama, etos dan pandangan dunia yang berlatar belakang budaya nenek moyang, tetap tersimpan dalam dirinya dalam alam bawah sadar. Pada saat-saat tertentu, cara berfikir dan cara bertindak orang Toraja akan sangat dipengaruhi oleh memori yang tersimpan dalam alam bawah sadar itu. Uniknya, memori ini tersimpan secara turun temurun.
Dalam hal ini bahwa perjumpaan budaya nenek moyang orang Toraja dan agama Kristen yang datang dari konteks Barat telah menciptakan kondisi masyarakat Toraja dalam suatu tarik menarik. Pada satu sisi agama Kristen diakui sebagai dasar iman. Tetapi pada sisi lain, etos dan pandangan dunia yang lahir dari budaya nenek moyang tetap berpengaruh, walaupun hal itu tidak tampak secara eksplisit. Hal ini menyebabkan kondisi masyarakat Toraja sering menampilkan sikap yang dualisme dan juga sering dikotomis. Contoh kasus berikut, kiranya dapat menjelaskan teori ini:
a.Ketika seseorang telah beragama Kristen, idealnya rujukan etikanya adalah Firman Tuhan (Alkitab). Apapun yang dipikirkan atau dilakukan idealnya selalu menempatkan Firman Tuhan sebagai penuntun sekaligus kontrol. Tetapi hal berbeda menjadi fenomena masyarakat Toraja. Ketika mereka berada dalam konteks gereja (misalnya ibadah atau kegiatan keagamaan lain), rujukan etika adalah Alkitab: “Itu tidak sesuai dengan firman Tuhan”; “Inilah kehendak Yesus”. Demikian sering dikatakan. Tetapi ketika mereka mulai beralih dalam kehidupan sehari hari, maka hal itu berubah menjadi : ”Menurut orang tua….”. (Maksudnya nenek moyang), “Jangan begitu, itu tidak sesuai dengan budaya kita”.. Dengan ungkapan-ungkapan seperti ini, masyarakat Toraja telah menunjukkan keterikatannya dengan budaya nenek moyang, walaupun ketika di tanya, bisa saja dia mengatakan : “Ah, kita kan sudah Kristen”.
Inilah salah satu contoh karakter dualisme dalam diri orang Toraja. Pada satu sisi, agama diakui. Namun pada sisi lain, petunjuk nenek moyang tetap menjadi pegangan. Ironisnya, masyarakat lebih takut melanggap pamali (pantangan yang diajarkan budaya) ketimbang larangan Alkitab. Mereka lebih taat kepada pemuka adat daripada pemuka agama. Alasannya, pelanggaran terhadap pamali akan langsung berhadapan dengan nasib buruk. Tetapi jika melanggar perintah Tuhan, belum tentu dihukum.
b.Dalam budaya nenek moyang orang Toraja, ada stratifikasi sosial yang cukup menonjol. Ketika perbudakan masih berlaku di Toraja, dikenal golong puang (penguasa, tuan) dan kaunan (budak). Namun pada zaman kolonial Belanda hal itu dilarang. Tetapi dalam prakteknya, masyarakat adat Toraja tetap membedakan empat kasta dalam masyarakat yang diurut dari yang tertinggi yaitu tana’ Bulaan (Keturunan Raja. Bulaan artinya Emas); tana’ bassi (Keturunan bangsawan. Bassi artinya Besi), tana’ karurung (Bukan bangsawan, tetapi bukan juga orang kebanyakan. Karurung adalah sejenis kayu yang keras) dan yang terendah adalah tana’ kua-kua (kua-kua, sejenis kayu yang rapuh). Dalam hubungan dengan upacara-upacara adat, dikenal pula golongan imam (to minaa atau to parenge’) dan orang awam (to buda).
Dengan berkembangnya agama Kristen, orang Toraja Kristen menerima bahwa semua manusia sama di hadapan Tuhan. Di dalam Tuhan tidak ada penggolongan seperti itu. Namun dalam penerapannnya di masyarakat, pengakuan terhadap kasta seseorang tetap ada. Akibatnya, ketika mereka berdiri sebagai warga gereja, yang dituruti adalah para penatua atau pendeta, namun dalam kehidupan sehari-hari, wibawa para keturunan raja dan bangsawan serta pemuka masyarakatlah yang berpengaruh. Hal ini menyebabkan sering terjadi benturan antara pemuka agama dan pemuka masyarakat. Pemuka agama berpedoman pada ajaran agama, sedangkan pemuka masyarakat berpedoman pada budaya nenek moyang. Akibatnya, fenomena dualisme muncul lagi. Ketika masyarakat berada dalam posisi sebagai warga jemaat, maka keputusan pemuka agamalah yang diikuti. Entah bertentangan dengan budaya atau tidak, yang jelas Firman Tuhan mengajarkan. Demikian pula sebaliknya. dalam posisi sebagai anggota masyarakat, keputusan pemuka adatlah yang diikuti, entah sesuai dengan ajaran agama atau tidak. Dari sudut pandang pemimpin, ada pula kencenderungan apatisme pemuka agama dalam kegiatan yang berhubungan dengan budaya nenek moyang, dan juga apatisme pemuka masyarakat dalam kegiatan gereja.
Hal ini juga berhubungan dengan asas kepemimpinan bottom up dan dan top down. Dalam konteks gereja teori yang berlaku adalah asas bottom up yang demokratis. Sedangkan dalam kontek kehidupan sehari-hari asas top down-lah yang berlaku. Jika demikian, masyarakat – entah sadar atau tidak – sedang dibentuk dalam dua teori kepemimpinan yang bertolak belakang itu. Implikasinya bisa menjadi bumerang bagi wibawa gereja atau wibawa adat ketika terjadi persilangan. Maksudnya asas bottom up mau dipaksakan dalam komunitas budaya, dan asas top down hendak dipaksakan dalam komunitas agama. Pemaksaan itu bisa saja dilakukan para pemuka adat atau warga biasa dalam gereja yang tidak nyaman dengan asas botom up. Atau oleh para pemuka agama yang merasa tidak nyaman dengan asas top down dalam masyarakat. Kita sudah bisa menebak akibatnnya : konflik dalam gereja atau konflik sosial dalam masyarakat, atau konflik antara institusi gereja dan institusi masyarakat.
Dengan demikian kita dapat melihat bahwa kondisi sosial masyarakat Toraja yang terus menerus berubah saat ini senantiasa berada dalam tarik menarik antara budaya nenek moyang dengan agama. Tarik menarik itu bisa berimplikasi pada dualisme, tetapi bisa juga muncul dikotomi antara yang gerejani dan budayani. Di dalam gereja, mereka menjadi orang Toraja yang berakar dalam budaya nenek moyang, tetapi tampil dengan “pakaian” Kekristenan. Ketika mereka keluar dari wilayah gereja, maka pakaian itu kembali dilepaskan untuk dipakai lagi ketika mereka kembali ke gereja. Jadi di dalam masyarakat, mereka berpegang teguh pada budaya, namun ketika mereka memasuki dunia kekristenan, maka “pakaian” Kristennya di pakai.