Orang menenggak minuman keras adalah pemandangan lumrah dan wajar ditemui di Tana Toraja. Tua muda, laki-laki dan perempuan, turut di dalamnya. Tempatnya, di mana saja, di pinggir jalan, di rumah, bahkan depan kantor polisi sekali pun.
Yang ditenggak, entah itu ballo' ataupun minuman keras buatan pabrik, pokoknya tak ada larangan.
Sejak dulu, nenek moyang orang Toraja sangat akrab dengan minuman keras. Minuman yang digemari umumnya adalah tuak enau, berasal dari cairan pohon induk atau nira (Borassus flabellifer) yang difermentasi. Saya masih ingat perkataan salah seorang kakek di kampung, ”Tannia toraya ke tae na mangngiru.” Artinya, bukan orang Toraja kalau tidak meneggak minuman keras. Sembari berkata begitu, kakek itu menawarkan ballo’ kepada saya.
Ballo’ wajib hadir dalam ritual-ritual adat Toraja, baik sebagai kelengkapan upacara maupun untuk menyambut para tamu. Bagi orang Toraja sendiri, meminum ballo’ biasa dilakukan untuk menghangatkan tubuh dari terkaman dingin, dan diyakini dapat menambah tenaga bagi peminumnya. Bukan untuk mabuk-mabukan. Jadi sangat jarang dijumpai orang mabuk karena meneggak ballo’. Minuman beralkohol rendah dengan kadar 5-10 persen ini, warnanya agak putih seperti air beras namun sangat encer. Baunya sangat khas mirip bau asam cuka dan rasanya agak pahit sedikit kecut. Orang Toraja menyebut rasa ini seperti “manis-manis jambu”.
Untuk mencicipi ballo’ di Toraja, khususnya di Pasar Makale, sangatlah mudah. Silakan saja berkeliling di sekitarnya. Tiap sudut dan perempatan jalan pasti ada yang membawa jerigen yang berisi ”Bir Toraja”. Biasanya para passari atau penyadap nira menjual langsung ballo’ dalam jerigen-jerigen 10-20 liter di seputaran pasar Makale, dan ada pula yang menjualnya ke warung-warung ballo’ dan warung makan yang banyak tersebar di pasar ini, maupun terminal regional Makale. Tak heran jika hampir seluruh dari warung makan menyajikan ballo’ sebagai ”air putih”.
Para pedagang berasal dari desa-desa di sekitar Makale menjual ballo’ yang baru diturunkan dari suke (bambu tempat menadah cairan tuak), pada pagi atau sore hari. Ballo’ sifatnyatidak tahan lama. Apabila ballo’ itu telah bermalam (ma’bongimo) maka rasanya akan menjadi ballo’ messuk (kecut), peminumnya akan sakit perut. Makanya ballo’ yang enak hanya dapat dinikmati di daerah Toraja.
Mari kita lihat di ibukota kabupaten, Makale. Di sudut barat pasar Makale, sekitar 20 warung ballo’ berderet seperti menciptakan dunia remang-remang sendiri. Barisan warung sepanjang 200 meter itu terlihat jelas karena bersampingan dengan los-los barang campuran, pakaian, dan penjual bumbu masakan. Lantaran letaknya yang begitu terbuka, warung-warung tuak tersebut seperti menjadi penyambut pengunjung pasar Makale.
Semua angkutan dan penumpang yang datang dari berbagai penjuru Makale dan sekitarnya berhenti dan turun di jalur ini. Mau tak mau, mereka akan melihat jelas aktivitas manusia-manusia di warung yang dikenal dengan sebutan galampang, yang secara harfiah berarti tempat beristirahat.
Setiap pagi dan sore hari, tong-tong plastik ukuran besar yang menampung galonan liter ballo’ dikumpulkan dari passari, baik yang melintas atau yang datang menawarkan ballo’ kepada warung-warung di galampang. Dalam sehari, tiap warung mampu menjual 50 liter lebih ballo’. Terlebih ketika hari pasar tiba, bisa-bisa mencapai 60-70 liter. Jumlah ini bergabung dengan minuman pabrik minuman beralkohol lain seperti bir, anggur, dan minuman putih yang biasa dicampurkan dengan ballo’.
Dunia remang
Galampang adalah dunia yang kompleks. Secara fisik, galampang yang berukuran 3 x 3 meter itu menjadi tempat berkumpulnya para peminum dari segala penjuru Makale sejak pasar berdiri tahun 1986. Tempat sekecil inilah yang menjadi tempat puluhan orang berpesta ballo. Bau kecut dari ballo, orang mabuk, ikan bakar, dan rayuan pelayan-pelayan warung menjadi suasana khas di galampang.
Pelayan-pelayan di sini, kebanyakan berasal dari pelosok Toraja. Selain bekerja sebagi pelayan, ada sebagian yang secara terang-terangan menawarkan layanan syahwat kepada pengunjung. Galampang memang adalah serba remang. Perempuan yang masuk dalam jeratan transaksi syahwat di galampang disebut boncis. Namun ada juga yang memanggil mereka kalli lotong. Sebutan ini mulai marak disandangkan pada mereka pada awal tahun 2000-an. Berasal dari kata kalli yang artinya celana dalam dan lotong artinya hitam. Asal muasal penyebutan bagi pekerja seks komersial di kawasan galampang ini, tak jelas dari mana. Ironis memang bahwa di galampang, dunia hitam itu terbentang di depan mata siapa saja yang bermaksud singgah beristirahat.
Orang Toraja memang senang berkumpul dan minum-minum. Lihatlah mereka berdesakan di warung-warung. Meski kapasitas pengunjung yang dapat ditampung satu warung maksimal 10 orang, orang-orang tampak tak peduli. Jika warung telah penuh, pengunjung biasanya minum di bale-bale tepat di depan warung. Ada pula yang menikmati minumannya dengan berjongkok membentuk lingkaran kecil disekitar galampang.
Jika bertepatan dengan hari pasar yang jatuh enam hari sekali, galampang akan disesaki oleh orang yang melepaskan penat setelah lelah berbelanja di pasar Makale. Mereka biasanya sekadar meminum segelas ballo’ atau sebotol bir. Harga ballo’ di sini relatif mahal dibandingkan minuman pabrik seperti bir, anggur, dan minuman putih lainnya. Untuk menikmati pahit manisnya segelas ballo’, kita harus rela mengeluarkan uang sebesar Rp3.000 - Rp5.000. Namun jika memesan satu teko, harganya agak murah, cuma Rp7.000.
Hingar bingar house-music di kawasan ini terdengar serak. Siang malam irama dari satu warung ke warung lainnya seolah saling berkejaran. Namun sekarang, karena alasan keamanan, pemilik warung harus menutup dagangannya di bawah jam 10 malam.
Di sekitar galampang juga banyak pa’kurung, atau ayam yang dikurung dan dirawat khusus. Pagi-pagi sekali, para pemilik ayam ini memandikan, memberi makan, mengurut, dan menjemur jagoan mereka di sepanjang jalan di depan galampang. Barisan kurungan ayam (salokko) yang terbuat dari anyaman bambu menjadi pemandangan yang begitu akrab. Penghuni galampang tak lepas dari judi sabung ayam, seperti orang Toraja umumnya.
Dunia Preman
Premanisme memang tak bisa dilepaskan dari denyut nadi pasar. Pria bertato, hanya mengenakan baju singlet dengan mata yang merah, membuat pengunjung pasar takut untuk melintas.”Ada orang yang kerjanya cuma nongkrong dan mabuk di warung di galampang,” kata seorang pedagang voucher pulsa ponsel, yang letak kiosnya berhadapan dengan galampang. Sambil menunjuk ke sekelompok orang yang asik menenggak ballo di sudut galampang.
Kebetulan sekali rumah saya terletak tepat di depan galampang. Dari wajah mereka saja, saya sudah mengenali.
Merekalah para laki-laki yang bermata merah, dengan rajah menghiasi tubuh, yang memegang gelas tuak, yang menguasai pasar. Saya terbiasa menerima kehadiran mereka. Kadang mereka tersenyum jika saya melintas atau sekadar mengucapkan, ”Halo sangmane!” (Hai, kawan!).
Tapi tak usah terlalu khawatir melintasi kawasan ini. Walaupun di sini sarang para pemabuk, tapi sangat jarang terdengar keributan, perkelahian dan pemalakan. Mungkin karena para penghuni galampang ini sudah saling mengenal satu sama lain atau ikatan persaudaraan mereka yang memang kuat. Kasus kriminal yang paling besar dan menggemparkan Toraja terjadi pada tahun 2001. Seorang pedagang yang bersuku Makassar menikam seorang anak sekolah mabuk yang sering memalak dagangannya di galampang.
Dulu sebelum direlokasi, galampang lama merupakan tempat gelap, sempit, dan kumuh. Bayangkan jika, seorang pemabuk bertemu pemabuk lain di tempat gelap dan sempit. Bersenggolan sedikit saja akan memicu perkelahian. Namun setelah dipindahkan, perkelahian sudah sangat jarang. Mungkin lantaran mereka bersebelahan dengan pemukiman penduduk di kawasan pasar Makale.
Masalah keamanan memang sangat dijaga oleh para pengunjung di sini. Memang, selama saya tinggal di kawasan ini, saya tak pernah mendengar kasus pencurian yang dilakukan oleh para penghuni Galampang. ”Barang-barang dagangan di kios-kios hanya ditutup dengan terpal, tak akan ada yang mencurinya,” tutur seorang salah satu pedagang campuran yang bersebelahan dengan galampang.
Sebelumnya, daerah ini adalah tempat yang paling ramai dibandingkan tempat berbelanja lainnya di pasar. Namun, setelah galampang berada disini, orang mulai enggan datang berbelanja. Mungkin karena banyak pemabuk berkeliaran. Keberadaan galampang yang berdampingan dengan pedagang komoditas lain, berakibat kurangnya pendapatan pedagang lainnya.
Relokasi galampang memang sangat bermasalah. Selain penataannya amburadul, kawasan ini sempat ditentang oleh masyarakat sekitar.
Pengunjung galampang sebenarnya bukan hanya kaum pengangguran dan preman, ada juga pegawai negeri sipil, polisi dan tentara yang sering nongkrong. Kehadiran mereka mencolok di galampang karena seragam yang dikenakan. Demikian juga anak sekolah yang membolos masih menggunakan seragam. Bahkan ada guru sekolah yang sering minum di situ.
Bagi para peminum, galampang adalah surga yang menyajikan kenikmatan seteguk ballo’ dan rayuan kalli lotong. Yang melepas lelah di sini, termasuk para pengangguran, kuli, tukang becak, tukang ojek, dan sopir angkutan umum. Mereka, rakyat yang masuk kategori marjinal dalam indikator sosial dan pembangunan ini, adalah penyumbang utama bagi denyut dan napas di galampang.
Sejak dulu, nenek moyang orang Toraja sangat akrab dengan minuman keras. Minuman yang digemari umumnya adalah tuak enau, berasal dari cairan pohon induk atau nira (Borassus flabellifer) yang difermentasi. Saya masih ingat perkataan salah seorang kakek di kampung, ”Tannia toraya ke tae na mangngiru.” Artinya, bukan orang Toraja kalau tidak meneggak minuman keras. Sembari berkata begitu, kakek itu menawarkan ballo’ kepada saya.
Ballo’ wajib hadir dalam ritual-ritual adat Toraja, baik sebagai kelengkapan upacara maupun untuk menyambut para tamu. Bagi orang Toraja sendiri, meminum ballo’ biasa dilakukan untuk menghangatkan tubuh dari terkaman dingin, dan diyakini dapat menambah tenaga bagi peminumnya. Bukan untuk mabuk-mabukan. Jadi sangat jarang dijumpai orang mabuk karena meneggak ballo’. Minuman beralkohol rendah dengan kadar 5-10 persen ini, warnanya agak putih seperti air beras namun sangat encer. Baunya sangat khas mirip bau asam cuka dan rasanya agak pahit sedikit kecut. Orang Toraja menyebut rasa ini seperti “manis-manis jambu”.
Untuk mencicipi ballo’ di Toraja, khususnya di Pasar Makale, sangatlah mudah. Silakan saja berkeliling di sekitarnya. Tiap sudut dan perempatan jalan pasti ada yang membawa jerigen yang berisi ”Bir Toraja”. Biasanya para passari atau penyadap nira menjual langsung ballo’ dalam jerigen-jerigen 10-20 liter di seputaran pasar Makale, dan ada pula yang menjualnya ke warung-warung ballo’ dan warung makan yang banyak tersebar di pasar ini, maupun terminal regional Makale. Tak heran jika hampir seluruh dari warung makan menyajikan ballo’ sebagai ”air putih”.
Para pedagang berasal dari desa-desa di sekitar Makale menjual ballo’ yang baru diturunkan dari suke (bambu tempat menadah cairan tuak), pada pagi atau sore hari. Ballo’ sifatnyatidak tahan lama. Apabila ballo’ itu telah bermalam (ma’bongimo) maka rasanya akan menjadi ballo’ messuk (kecut), peminumnya akan sakit perut. Makanya ballo’ yang enak hanya dapat dinikmati di daerah Toraja.
Mari kita lihat di ibukota kabupaten, Makale. Di sudut barat pasar Makale, sekitar 20 warung ballo’ berderet seperti menciptakan dunia remang-remang sendiri. Barisan warung sepanjang 200 meter itu terlihat jelas karena bersampingan dengan los-los barang campuran, pakaian, dan penjual bumbu masakan. Lantaran letaknya yang begitu terbuka, warung-warung tuak tersebut seperti menjadi penyambut pengunjung pasar Makale.
Semua angkutan dan penumpang yang datang dari berbagai penjuru Makale dan sekitarnya berhenti dan turun di jalur ini. Mau tak mau, mereka akan melihat jelas aktivitas manusia-manusia di warung yang dikenal dengan sebutan galampang, yang secara harfiah berarti tempat beristirahat.
Setiap pagi dan sore hari, tong-tong plastik ukuran besar yang menampung galonan liter ballo’ dikumpulkan dari passari, baik yang melintas atau yang datang menawarkan ballo’ kepada warung-warung di galampang. Dalam sehari, tiap warung mampu menjual 50 liter lebih ballo’. Terlebih ketika hari pasar tiba, bisa-bisa mencapai 60-70 liter. Jumlah ini bergabung dengan minuman pabrik minuman beralkohol lain seperti bir, anggur, dan minuman putih yang biasa dicampurkan dengan ballo’.
Dunia remang
Galampang adalah dunia yang kompleks. Secara fisik, galampang yang berukuran 3 x 3 meter itu menjadi tempat berkumpulnya para peminum dari segala penjuru Makale sejak pasar berdiri tahun 1986. Tempat sekecil inilah yang menjadi tempat puluhan orang berpesta ballo. Bau kecut dari ballo, orang mabuk, ikan bakar, dan rayuan pelayan-pelayan warung menjadi suasana khas di galampang.
Pelayan-pelayan di sini, kebanyakan berasal dari pelosok Toraja. Selain bekerja sebagi pelayan, ada sebagian yang secara terang-terangan menawarkan layanan syahwat kepada pengunjung. Galampang memang adalah serba remang. Perempuan yang masuk dalam jeratan transaksi syahwat di galampang disebut boncis. Namun ada juga yang memanggil mereka kalli lotong. Sebutan ini mulai marak disandangkan pada mereka pada awal tahun 2000-an. Berasal dari kata kalli yang artinya celana dalam dan lotong artinya hitam. Asal muasal penyebutan bagi pekerja seks komersial di kawasan galampang ini, tak jelas dari mana. Ironis memang bahwa di galampang, dunia hitam itu terbentang di depan mata siapa saja yang bermaksud singgah beristirahat.
Orang Toraja memang senang berkumpul dan minum-minum. Lihatlah mereka berdesakan di warung-warung. Meski kapasitas pengunjung yang dapat ditampung satu warung maksimal 10 orang, orang-orang tampak tak peduli. Jika warung telah penuh, pengunjung biasanya minum di bale-bale tepat di depan warung. Ada pula yang menikmati minumannya dengan berjongkok membentuk lingkaran kecil disekitar galampang.
Jika bertepatan dengan hari pasar yang jatuh enam hari sekali, galampang akan disesaki oleh orang yang melepaskan penat setelah lelah berbelanja di pasar Makale. Mereka biasanya sekadar meminum segelas ballo’ atau sebotol bir. Harga ballo’ di sini relatif mahal dibandingkan minuman pabrik seperti bir, anggur, dan minuman putih lainnya. Untuk menikmati pahit manisnya segelas ballo’, kita harus rela mengeluarkan uang sebesar Rp3.000 - Rp5.000. Namun jika memesan satu teko, harganya agak murah, cuma Rp7.000.
Hingar bingar house-music di kawasan ini terdengar serak. Siang malam irama dari satu warung ke warung lainnya seolah saling berkejaran. Namun sekarang, karena alasan keamanan, pemilik warung harus menutup dagangannya di bawah jam 10 malam.
Di sekitar galampang juga banyak pa’kurung, atau ayam yang dikurung dan dirawat khusus. Pagi-pagi sekali, para pemilik ayam ini memandikan, memberi makan, mengurut, dan menjemur jagoan mereka di sepanjang jalan di depan galampang. Barisan kurungan ayam (salokko) yang terbuat dari anyaman bambu menjadi pemandangan yang begitu akrab. Penghuni galampang tak lepas dari judi sabung ayam, seperti orang Toraja umumnya.
Dunia Preman
Premanisme memang tak bisa dilepaskan dari denyut nadi pasar. Pria bertato, hanya mengenakan baju singlet dengan mata yang merah, membuat pengunjung pasar takut untuk melintas.”Ada orang yang kerjanya cuma nongkrong dan mabuk di warung di galampang,” kata seorang pedagang voucher pulsa ponsel, yang letak kiosnya berhadapan dengan galampang. Sambil menunjuk ke sekelompok orang yang asik menenggak ballo di sudut galampang.
Kebetulan sekali rumah saya terletak tepat di depan galampang. Dari wajah mereka saja, saya sudah mengenali.
Merekalah para laki-laki yang bermata merah, dengan rajah menghiasi tubuh, yang memegang gelas tuak, yang menguasai pasar. Saya terbiasa menerima kehadiran mereka. Kadang mereka tersenyum jika saya melintas atau sekadar mengucapkan, ”Halo sangmane!” (Hai, kawan!).
Tapi tak usah terlalu khawatir melintasi kawasan ini. Walaupun di sini sarang para pemabuk, tapi sangat jarang terdengar keributan, perkelahian dan pemalakan. Mungkin karena para penghuni galampang ini sudah saling mengenal satu sama lain atau ikatan persaudaraan mereka yang memang kuat. Kasus kriminal yang paling besar dan menggemparkan Toraja terjadi pada tahun 2001. Seorang pedagang yang bersuku Makassar menikam seorang anak sekolah mabuk yang sering memalak dagangannya di galampang.
Dulu sebelum direlokasi, galampang lama merupakan tempat gelap, sempit, dan kumuh. Bayangkan jika, seorang pemabuk bertemu pemabuk lain di tempat gelap dan sempit. Bersenggolan sedikit saja akan memicu perkelahian. Namun setelah dipindahkan, perkelahian sudah sangat jarang. Mungkin lantaran mereka bersebelahan dengan pemukiman penduduk di kawasan pasar Makale.
Masalah keamanan memang sangat dijaga oleh para pengunjung di sini. Memang, selama saya tinggal di kawasan ini, saya tak pernah mendengar kasus pencurian yang dilakukan oleh para penghuni Galampang. ”Barang-barang dagangan di kios-kios hanya ditutup dengan terpal, tak akan ada yang mencurinya,” tutur seorang salah satu pedagang campuran yang bersebelahan dengan galampang.
Sebelumnya, daerah ini adalah tempat yang paling ramai dibandingkan tempat berbelanja lainnya di pasar. Namun, setelah galampang berada disini, orang mulai enggan datang berbelanja. Mungkin karena banyak pemabuk berkeliaran. Keberadaan galampang yang berdampingan dengan pedagang komoditas lain, berakibat kurangnya pendapatan pedagang lainnya.
Relokasi galampang memang sangat bermasalah. Selain penataannya amburadul, kawasan ini sempat ditentang oleh masyarakat sekitar.
Pengunjung galampang sebenarnya bukan hanya kaum pengangguran dan preman, ada juga pegawai negeri sipil, polisi dan tentara yang sering nongkrong. Kehadiran mereka mencolok di galampang karena seragam yang dikenakan. Demikian juga anak sekolah yang membolos masih menggunakan seragam. Bahkan ada guru sekolah yang sering minum di situ.
Bagi para peminum, galampang adalah surga yang menyajikan kenikmatan seteguk ballo’ dan rayuan kalli lotong. Yang melepas lelah di sini, termasuk para pengangguran, kuli, tukang becak, tukang ojek, dan sopir angkutan umum. Mereka, rakyat yang masuk kategori marjinal dalam indikator sosial dan pembangunan ini, adalah penyumbang utama bagi denyut dan napas di galampang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar