Selasa, 28 Juni 2011

Penyebaran Aluk Sanda Pitunna

Aluk adalah aturan keagamaan yang menjadi sumber dari budaya dan pandangan hidup leluhur suku Toraja yang mangandung nilai-nilai religius yang mengarahkan pola-pola tingkah laku hidup dan ritual suku Toraja untuk mengabdi kepada Puang Matua. Cerita tentang perkembangan dan penyebaran Aluk terjadi dalam 2 Tahap yaitu :
  • Tipamulanna Aluk ditampa dao langi’ yakni permulaan penciptaan Aluk diatas langit 
  • Mendemme’ di kapadanganna yakni Aluk diturunkan kebumi oleh Puang Buru Langi’ dirura. Kedua tahapan ini merupakan mitos.
 




Selain dari pada itu terdapat Aluk Sanda Pitunna disebarluaskan oleh tiga tokoh, yaitu :
  • Pongkapadang bersama Burake Tattiu’ menuju bagian barat Tana Toraja yakni ke daerah Bonggakaradeng, sebagian Saluputti, Simbuang sampai pada Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, dengan membawa pranata Sosial yang disebut dalam bahasa Toraja “To Unnirui Suke Pa’pa, to ungkandei kandian saratu” yakni pranata Sosial yang tidak mengenal Strata. 
  • Pasontik bersama Burake Tambolang menuju ke daerah-daerah sebelah timur Tana Toraja, yaitu daerah Pitung Penanian, Rantebua, Tangdu, Ranteballa, Ta’bi, Tabang, Maindo sampai ke Luwu Selatan dan Utara dengan membawa pranata social yang disebut dalam Bahasa Toraja “ To Unnirui’ Suke dibonga, To ungkandei Kandean Pindan”, yaitu prana Sosial yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata social 
  • Tangdilino bersama Burake Tangngana ke daerah bagian tengah Tana Toraja dengan membawa pranata Sosial “To Unnirui’ Suke dibonga, to ungkandei kandean pindan” yaitu pranata social yang menyusun tata kehidupan masyarakat dalam tiga strata sosoal.  Tangdilino diketahui menikah dua kali, yaitu Buen Manik, perkawinan ini membuahkan delapan anak. Perkawinan Tangdilino dengan Salle Bi’ti’ dari Makale membuahkan seorang anak. Kesembilan anak Tangdilino tersebar keberbagai daerah, yaitu Pabane menuju Kesu’, Parenge menuju Buntao’, Pasontik ke Pantilang, Pote’ Malla ke Rongkong (luwu), Bobonglangi menuju Pitu Ulunna Salu Karua Ba’bana Minanga, Bue ke daerah Duri, Bengkudu Ma’dandan ke Bala (Mengkendek, Sirrang ke Dangle.

Jumat, 17 Juni 2011

Sekali lagi Mengenai Toraja

Satu kelompok minoritas yang sudah berhasil mendapat perhatian nasional dan internasional adalah suku Toraja di Sulawesi Selatan. Kelebihan kelompok ini, yang mulai terlihat di tahun 80-an, disebabkan terutama dari industri pawisata, dengan daya tarik indahnya alam pedesaan dan prosesi upacara kematian spektakuler yang melibatkan penyembelihan kerbau secara besar-besaran.
Menghuni pegunungan terjal daerah pedalaman Sulawesi yang lembab, suku Toraja menanam padi untuk sekedar hidup dan kopi untuk mendapatkan penghasilan. Secara tradisional, mereka tinggal di desa di puncak bukit yang dikelilingi benteng terdiri dari dua hingga empat puluh rumah indah dengan atap yang luas dan besar, menyerupai tanduk kerbau. Sampai akhir tahun 80an, desa-desa ini secara politis dan ekonomis adalah desa swasembada, sebagian karena adanya perlindungan terhadap perdagangan budak dan sebagian akibat permusuhan antar kelompok yang disertai dengan perburuan kepala manusia.
Toraja mempunyai hubungan yang kuat secara emosional, ekonomi, dan politik antar kelompok mereka yang berbeda-beda. Pertalian yang paling dasar adalah rarabuku, yang bisa diterjemahkan sebagai keluarga. Toraja memandang kelompok ini sebagai hubungan darah dan tulang, yang dimaksud sebagai hubungan di antara orang-tua dan anak atau keluarga inti.
Ketika Toraja membentuk kekerabatan secara bilateral, baik melalui ibu dan bapak, kemungkinan untuk melebarkan konsep rarabuku semakin berkembang ke segala arah. Suatu kelompok lain yang penting dari sistem kekerabatan Toraja dimana mereka berafiliasi adalah tongkongan (rumah leluhur), yang berbeda dengan banua (rumah biasa). Tongkonan adalah unit sosial terdiri atas sekelompok orang yang menganggap mereka berasal dari satu keturunan nenek moyang asli. Struktur fisik tongkongan pada waktu-waktu tertentu diperbarui dengan mengganti atapnya. Ritual ini dihadiri oleh anggota kelompok sosial dan diiringi oleh tarian yang menyerupai ratapan, di mana roh-roh diminta untuk datang. Bentuk afiliasi penting yang ketiga disebut saroan, atau kerja sama kelompok desa. Kelompok-kelompok ini diperkirakan berasal dari kelompok para petani yang berasal dari dusun kecil. Berawal dari kerjasama dalam pekerjaan dan perdagangan, kerjasama saroan berkembang ke dalam aktivitas ritual juga. Pada saat ritual pengorbanan dan pemakaman terjadi, kelompok-kelompok ini saling bertukar daging dan makanan lain.
Keluwesan afiliasi ini adalah mereka bertanggung jawab sepenuhnya pada persiapan dan penampilan rumah mayat untuk pemakaman. Karena ada suatu ketidakjelasan afiliasi (maksudnya, klaim terhadap keturunan tidak hanya berdasarkan hubungan darah tetapi juga atas pengakuan sosial dari masyarakat melalui perbuatan baik di mata publik), karena itu orang Toraja mencoba membuktikan pentingnya hubungan melalui partisipasi dan kontribusi nyata pada upacara pemakaman, yang memungkinkan kesempatan untuk membuktikan bukan hanya ketaatan kepada almarhum orang-tua, tetapi juga usaha  untuk mendapatkan bagian dari warisan tanah yang ditinggalkan. Banyaknya tanah yang bisa diwarisi seseorang dari almarhum mungkin tergantung dari jumlah kerbau yang dikorbankan di pemakaman almarhum orang-tua. Kadang-kadang seseorang bahkan menggadaikan tanah mereka untuk bisa mendapatkan kerbau yang bisa dikorbankan di pemakaman agar mereka bisa ikut mendapat bagian warisan tanah almarhum. Karena itulah, persaingan untuk pengadaaan pesta besar sangat tinggi.
Toraja mempunyai dua macam ritual utama. Yang pertama disebut ritual timur -- dikenal sebagai upacara matahari terbit dan asap naik – ditujukan untuk kesuburan tanah dan kemakmuran. Acara panen padi adalah bagian dari ritual barat atau dikenal sebagai upacara matahari terbenam, termasuk didalamnya upacara pemakaman. Keduanya melibatkan binatang korban seperti kerbau, babi, maupun ayam sebagai persembahan kepada nenek moyang, serta distribusi daging yang sangat rumit untuk apa saja yang hidup. Melalui distribusi daging, kerjasama yang melibatkan hutang budi dan kewajiban diturunkan dari generasi ke generasi.
Dengan ledakan industri minyak di tahun 60an dan 70an, terjadi migrasi besar-besaran di antara pemuda-pemuda dari dataran tinggi Sulawesi yang mencari pekerjaan di Kalimantan timur laut.
Selama periode ini, banyak dari kaum muda ini menjadi pemeluk Kristen. Tetapi ketika mereka kembali ke desa mereka sebagai laki-laki kaya, mereka ingin memamerkan status sosial mereka dalam bentuk upacara pemakaman, menyebabkan apa disebut seorang Antropology Toby Alice Volkman sebagai "inflasi ritual ”. Pameran-pameran status ini membangkitkan perdebatan seru tentang keaslian ritual tersebut, apa yang kemudian disebut sebagai ritual orang kaya baru. Sementara pada periode bersamaan, pemerintah Indonesia sedang memajukan kebijakan yang menganjurkan perkembangan ekonomi di sektor non-minyak. Sebagian kebijakan ini memerlukan perkembangan di sektor pawisata, dengan adanya liputan-liputan oleh media Amerika, menyebabkan gelombang orang asing datang berbondong-bondong untuk memahami ritual pembantaian dan penyembelihan kerbau di Toraja. Jumlah mereka meningkat di awal tahun 90-an.

Rabu, 01 Juni 2011

Arsitektur Tongkonan

Sejarah
Menurut mitos, rumah Toraja yang pertama dibangun di surga oleh Puang Matua, Sang Pencipta (lihat: Agama). Dibangun pada empat tiang, dan atapnya terbuat dari kain India. Selanjutnya, Puang Matua memerintahkan pembangunan rumah lain, pada tiang besi dan atap bambu. Ketika nenek moyang manusia turun ke bumi pada paruh selatan Toraja (di daerah yang berbatasan dengan Kabupaten Enrekang), ia meniru rumah surgawi, dan sebuah rumah besar upacara diadakan untuk acara ini.
Pendiri Desa mantan Toraja, tokoh penting di Toraja, disebut Tangdilino '. Dekat Mengkendek (Toraja selatan), rumah dibangun yang memiliki atap dengan dua ujung tekukan ke atas. Bentuk khusus ini dijelaskan dalam berbagai cara. Kisah pertama menekankan kemiripan dengan perahu - karena, menurut mitos, nenek moyang orang Toraja datang dengan perahu dari Delta Mekong di Cina Selatan - klaim cerita kedua yang atap berbentuk lengkung tampak seperti langit. Hal ini, memang, tercermin dalam beberapa doa oleh kepercayaan animisme Aluk Todolo kuno.
Status dan gengsi
Secara historis, hanya kaum bangsawan memiliki hak untuk membangun tongkonan ini rumit dan ukiran indah. Rumah-rumah yang mulia yang paling penting adalah kursi kekuasaan politik bagi penguasa lokal yang didominasi kelompok-kelompok kecil desa. Masing-masing keluarga memiliki prestasi lama berlalu, penuh mitos, misteri, dan leluhur. Semua keluarga bangsawan, tentu saja, memiliki sejarah yang signifikan untuk membenarkan klaim mereka atas kekayaan dan status, sedangkan orang-orang biasa kebanyakan tinggal di rumah undecorated - kebanyakan gubuk bambu - banua disebut. Kadang-kadang status terkait dengan tongkonan dan orang-orang yang diizinkan untuk menghuni rumah-rumah ini, bervariasi menurut daerah yang berbeda dalam Toraja itu sendiri.
Tiga jenis Tongkonan dapat dibedakan. Yang pertama disebut LAYUK tongkonan, yang termasuk otoritas adat tertinggi. Jenis tongkonan digunakan untuk menjadi pusat pemerintahan - sebuah posisi yang bahkan sampai hari ini tampaknya harus dihormati. Jenis kedua adalah pekamberan tongkonan, yang termasuk anggota keluarga klan dan kelompok sekitar fungsionaris adat. Jenis ketiga disebut tongkonan batu, dan milik rakyat biasa (bukan fungsionaris adat).
Gaya Tongkonan telah berubah sedikit dari waktu ke waktu. Struktur tertua umumnya kecil, dengan hanya sebuah kurva kecil untuk atap. Sebagai rumah datang untuk mewujudkan ambisi aristokratis, secara bertahap dibangun lebih tinggi dan kurva dari atap diperpanjang telah menjadi lebih dan lebih besarkan. Sebagai akibatnya, ruang hidup di dalam tongkonan berkurang akibat peningkatan prestise dan status, sebagai bagian luar rumah tumbuh menjadi lebih berwarna dan penuh semangat dalam penampilan.
Dekorasi Rumah
Banyak rumah ukiran desain yang berasal dari motif tumbuhan dan hewan. Nama desain ini mengingatkan pada kehidupan sehari-hari, dan sangat rendah hati, misalnya, vines labu. tumbuhan air dan binatang seperti kepiting, berudu, gulma air, dan sebagainya adalah tanda kesuburan. Tanaman air trailing, lusciously tumbuh di segala arah, sering digambarkan karena mereka mampu berkembang biak dengan cepat, sementara masih menempel di batang pusat. Diharapkan bahwa keturunan rumah juga akan banyak dan menempel pada klan keluarga.
ukiran lainnya merupakan kerbau, hiasan pusaka atau telinga berat beras. Semua motif yang terhubung ke kekayaan yang diinginkan dan kelimpahan. Kutub dinding utama, di bagian depan tongkonan, selalu dihiasi dengan kepala kerbau bergaya. Di atas façade, di segitiga atap pelana, ada gambar pinang dan sunbursts, karena beberapa mengambil bagian dari tongkonan untuk mewakili Surga. Tentu saja, menjadi mediator antara bumi dan langit, ayam selalu menjadi bagian dari dekorasi. Yang paling misterius dari semua makhluk yang kadang-kadang ditemukan di depan sebuah tongkonan adalah katik disebut, burung, besar berleher panjang dengan lambang di atas kepalanya. Ini adalah salah satu ayam, atau burung legenda dari hutan. Beberapa, bagaimanapun, klaim ini adalah burung enggang, gambar yang sering digunakan di seluruh Asia Tenggara.
Hubungan dengan dunia spiritual
Tata letak rumah adat Toraja dijiwai dengan makna simbolis. Orientasi dari Tongkonan memiliki konotasi kosmologis, dan desain dekorasi diukir di bagian depan memiliki makna simbolis karena berisi berbagai pesan tentang hirarki sosial dan struktur, dan hubungan ke dunia roh.
Seperti dijelaskan di atas, Puang Matua pencipta dikaitkan dengan Utara, dan karena itu tongkonan juga harus menghadap Utara. Selatan rumah dikaitkan dengan akhirat (surga, atau Puya) dan para leluhur. Barat dan Timur yang berhubungan dengan tangan kiri dan kanan dari tubuh manusia, tetapi juga dengan dunia para dewa (Timur) dan para leluhur dalam bentuk didewakan mereka (Barat).
Sumber: http://www.toraja.net