|
Musik Bambu |
Kelompok musik
dari SD Negeri Randanan, Makale, Tana Toraja, Sulawesi Selatan, sedang
memainkan musik bambu tradisional Toraja yang disebut “Pa’pompang” dalam acara
pesta pemakaman almarhum Martha Uttu di Balaba’, Makale, Tana Toraja. Kalau
masyarakat Sunda, Jawa Barat bangga dengan musik angklung, orang Toraja pun
memiliki musik bambu. Orang Toraja menyebutnya Pa’pompang atau Pa’bas
karena suara bas terdengar dominan. Musik tradisional ini seakan melengkapi
kekayaan budaya dan wisata Tana Toraja, Sulawesi Selatan (Sulsel). Apa bedanya
dengan angklung atau musik bambu lainnya? Suara yang dihasilkan angklung bisa
digolongkan akustik, sedangkan musik bambu Toraja adalah jenis musik tiup.
Suara musik
tradisional ini memang khas dan bisa menghasilkan dua setengah oktaf tangga
nada. Meski tradisional, alat musik ini bisa dikolaborasikan dengan alat musik
lainnya seperti terompet, saksofon, organ atau piano dan bisa digunakan untuk
mengiringi semua lagu. Alat musik ini dibuat dari potongan-potongan bambu,
mulai dari yang kecil sampai yang besar. Suara yang dihasilkan
potongan-potongan bambu dengan rangkaian khusus itu pun sesuai dengan ukuran
besar kecilnya. Karena itu, agar menghasilkan kombinasi suara yang harmonis,
ukuran bambunya beragam sesuai nada yang akan dihasilkan. Satu kelompok Pa’pompang
biasanya terdiri dari 25 atau 35 orang berikut peniup suling. Alat musik bambu
ini bisa dimainkan orang dewasa maupun anak-anak SD bahkan anak TK sekalipun.
Anak kecil malah lebih gampang mempelajari jenis musik ini dibanding orang
dewasa.
Potongan bambu
yang besar dan tinggi menghasilkan nada rendah. Sebaliknya, potongan bambu yang
kecil menghasilkan nada tinggi. Potongan-potongan bambu itu awalnya dilubangi
dan dirangkai sedemikian rupa, sehingga menghasilkan bunyi. Agar pertemuan
bambu tersebut kuat, biasanya diikat dengan rotan, sedangkan celah sambungannya
ditutup dengan ter atau aspal agar suara yang dihasilkan bulat tidak cempreng. Namanya
musik bambu, materialnya memang serba bambu, termasuk suling atau seruling
sebagai pengiringnya. Bambu yang dipilih, biasanya bambu yang tipis dan ruasnya
panjang, tidak cacat, lurus dan tua.
Melestarikan
Alam Toraja memang sangat kaya dengan aneka macam bambu. Kalau tidak
ada bambu, bisa saja digantikan dengan pipa pralon. Hanya saja, selain harganya
mahal, ukuran pipanya sulit disesuaikan dengan ukuran bambu. Lagi pula, bambu
memang lebih alami dan kelihatan antik. Suling bambu merupakan pelengkap Pa’pompang.
Suling mempunyai tujuh lubang, termasuk yang ditiup di ujungnya. Semuel
Linggi (62) adalah salah seorang yang berjasa melestarikan dan mengembangkan
musik tradisional Toraja ini. Pensiunan guru Sekolah Menengah Kejuaruan (SMK)
Kristen Makale Tana Toraja ini, boleh disebut pakar musik bambu Toraja. Dia bukan
hanya piawai memainkan musik bambu atau Pa’pompang. Suami dari Tabita
Tarru ini adalah guru sekaligus produsen musik bambu Toraja.
Semuel belajar
musik bambu bersama anak sekolah minggu di gereja tahun 1960-an. Semuel sudah
menjadi pelatih musik bambu ketika duduk di kelas dua Sekolah Menengah Ekonomi
Atas (SMEA) Kristen Makale. Setamat dari SMEA yang kini berubah menjadi SMK
tersebut tahun 1965, Semuel mengajar di Sekolah Menengah Ekonomi Pertama
(SMEP), dan akhirnya guru SMEA hingga pensiun. Selain dikenal sebagai guru
matematika, Semuel berprofesi ganda sebagai guru sekaligus produsen musik
bambu. Tidak heran, dia diminta melatih kelompok musik bambu di hampir semua
wilayah Toraja. Namanya cukup dikenal sebagai pemusik bambu, hingga Semuel
diminta mengajar musik bambu di luar daerahnya, seperti daerah tetangga Toraja,
yakni Kabupaten Enrekang, Sulsel. Tetapi, murid-muridnya di daerah itu
belakangan mengklaim musik bambu Toraja sebagai musik tradisional Enrekang.
Menurut Semuel,
musik bambu tradisional Toraja itu hampir mirip dengan musik tiup dari cangkang
kerang di Minahasa, Sulawesi Utara. Awalnya, sejumlah guru asal Manado yang
ditempatkan di Toraja membuat musik bambu, tetapi potongan bambunya hanya
dilubangi, tidak dirangkai seperti yang dibuat orang Toraja dengan penuh
kreasi. Selain ke Enrekang, Semuel pun telah dipanggil ke beberapa daerah
mengajarkan musik bambu. Dia telah berpetualang ke Kalimantan seperti ke
Balikpapan, Bontang, Nunukan, Tenggarong menularkan ilmu musik bambu itu.
Komunitas
Toraja.
Umumnya yang
meminta Semuel mengajar musik bambu adalah komunitas masyarakat Toraja di
perantauan yang rindu dan ingin belajar sekaligus melestarikan musik
tradisional kampung halamannya. Selain ke Kalimantan, Semuel pun mengajarkan
ilmunya ke di Sorong Papua. Tetapi di daerah ini, tidak hanya orang Toraja yang
tertarik, orang Papua asli pun antusias belajar musik bambu. Pulau Jawa pun
sudah dirambah Semuel. Ikatan Keluarga Toraja (IKAT) bersama jemaat Gereja
Toraja Depok, Jawa Barat misalnya, tidak ketinggalan menimba ilmu sang guru
musik bambu ini. Selain dipergunakan sebagai musik pengiring dalam kebaktian di
gereja, Pa’pompang sering ditampilkan dalam acara-acara khusus
komunitas Toraja di Depok dan Jakarta seperti pada pesta perkawinan. Di Depok,
tidak hanya Semuel yang didatangkan. Satu set musik bambu produksinya juga
dipesan langsung dari Toraja.
Satu set musik
bambu Toraja yang terdiri dari 35 unit dijual Rp 2 juta. Harga itu belum
termasuk ongkos kirim. Dalam satu bulan, Semuel yang kini dibantu anak berikut
menantunya, mampu menyelesaikan dua set musik bambu. Kini musik bambu Toraja
telah tersebar di sejumlah daerah. Semuel optimistis, musik bambu tersebut bisa
lestari, sebab mereka yang telah dilatih termasuk di perantauan, secara tidak
langsung adalah kadernya. [SP/Marselius Rombe Baan]
*Berbagai Sumber*