Senin, 15 Agustus 2011

SAROAN, Kearifan Lokal Orang Toraja


Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan terdiri dari 4 wilayah adat, yaitu Wilayah Utara, Timur, Selatan dan Barat. Wilayah Utara dipimpin oleh seorang To Makaka (artinya seseorang yang diposisikan sebagai kakak). Wilayah Timur dipimpin oleh To Parengnge’ (orang yang bertanggung jawab memikul beban masyarakat). Wilayah Selatan dipimpin oleh Puang (Tuhan). Wilayah Barat dipimpin oleh To Ma’dika (orang yang dianggap berdarah putih). Istilah saroan hanya ada di Tana Toraja Utara atau hanya ada di wilayah adat To ditomakakai, sedangkan lembang berlaku umum di seluruh Tana Toraja. Semua saroan memiliki aturan sendiri, yang tidak selalu sama. Setiap warga yang bernaung dalam suatu saroan memiliki hak dan kewajiban dan harus patuh pada aturan adat. Aturan pada saroan merupakan aturan tak tertulis yang diteruskan turun-temurun kepada generasi penerusnya. Di tahun 1980an, aturan saroan sempat ditulis, namun mengundang kemarahan warganya. Penulisan ini justru dianggap akan mempermudah hilangnya aturan-aturan tersebut. Ada kekhawatiran, jika suatu ketika dokumen tersebut hilang atau rusak, maka hilang atau rusaklah aturan tersebut. Saroan merupakan perwakilan dari persatuan antara To Makaka (pemimpin warga Tana Toraja wilayah utara) dengan To Buda atau To Kamban atau Bulo Dia’pa’ (warga masyarakat Tana Toraja wilayah utara) yang dibentuk oleh para leluhur mereka. Saroan lahir dari tongkonan (rumah adat keluarga). Sedangkan, kumpulan dari beberapa saroan disebut dengan lembang (desa adat). Saroan mempunyai 2 fungsi yang menonjol, yaitu fungsi sebagai lembaga adat dan fungsi dalam musyawarah besar (kombongan kalua’). Sebagai lembaga adat, saroan berperan dalam upacara adat, misalnya upacara kematian. Sedangkan dalam musyawarah besar, pertemuan seluruh saroan (dalam
satu lembang) yang dihadiri oleh seluruh warga dipakai untuk membicarakan tentang rencana umum jadwal dan tata cara pengelolaan lahan pertanian dan lingkungan. Hasil dari kombongan kalua’ ini lalu dijabarkan lebih teknis dalam kombongan kalua’ saroan (pertemuan di dalam saroan), misalnya pengaturan jadwal pembenihan. Pertemuan kombongan kalua’ dilakukan tiap musim atau jika ada kejadian istimewa dalam lembang atau saroan, misalnya ada bencana alam, gagal panen, atau karena adanya kesalahan sosial yang dilakukan warga. Sementara kombongan kalua’ tingkat saroan dilakukan sesuai dengan kebutuhan tanpa terlepas dari kombongan kalua’ tingkat lembang.
Kearifan Lokal Pertanian Berkelanjutan di dalam Saroan
Leluhur orang Tana Toraja pertama kali datang dari laut dengan sebuah perahu (lembang). Mereka datang lengkap dengan aturan (aluk) dan adat (ada’) yang mengikat dan mengatur kehidupan mereka, namun perkembangan manusia yang makin cepat diiringi dengan kebutuhan yang tak terbatas, membuat mereka selalu melanggar aturan dan adat. Dengan munculnya masalah tersebut, maka datanglah aturan yang lebih lengkap disebut aluk sanda pitunna (yang terdiri dari 7777 pasal) dari langit yang dibawa oleh Tomanurung di langi’ (malaikat Tuhan) dengan tujuan melengkapi aturan yang mereka bawa sebelumnya. Sejumlah aturan tersebut mengatur kehidupan hubungan antarmanusia, hubungan manusia dengan hewan dan hubungan manusia dengan tanaman yang disebut aluk tallu lolona (aturan yang terfokus pada tiga pucuk kehidupan yaitu manusia, tanaman dan hewan). Aluk tallu lolona ini bermakna kelestarian dalam sebuah ekosistem lengkap antara semua makluk hidup yang ada di bumi Tana Toraja. Dari 7777 pasal aturan itu, 50 persen di antaranya adalah aturan pengelolaan sumber daya alam yang arif dan bermakna lestari, sedangkan sisanya mengatur hubungan dan tingkah laku manusia terhadap sesamanya dan terhadap hewan piaraan mereka. Aturan ini antara lain: aturan (aluk) khusus untuk tanaman padi disebut aluk tallu bulinnna. Aturan ini menyangkut pasal yang menekankan bahwa manusia (orang Tana Toraja) dianggap kaya jika memilki padi banyak. Sedangkan aturan khusus untuk ternak kerbau disebut aluk rendenan tedong; dari aluk ini termuat kritisan bahwa orang dikatakan kaya jika memiliki sejumlah kerbau, apalagi jika kerbau itu kerbau belang (tedong salego atau tedong bonga). Kedua nilai ini yang sangat berpengaruh pada strata sosial masyarakat Toraja artinya jika seseorang memiliki banyak kerbau dan banyak padi, maka dialah yang disebut orang kaya, sedangkan orang yang memiliki miliaran uang di bank kurang dihargai sebagai orang kaya. Saroan juga merupakan salah satu bagian dari aturan dan adat. Saroan terikat dengan nilai-nilai tongkonan, artinya bahwa setiap orang memiliki minimal sebuah tongkonan dan tongkonan itulah yang memiliki saroan. Barang siapa yang leluhurnya lahir dari tongkonan tersebut, maka berhak untuk menjadi anggota saroan milik tongkonan itu. Dari persoalan inilah lahirlah salah satu falsafah hidup “Tongkonan ditimba uaina, direktok kayunna, dikadette’ utanna: dipoada’ adana dipoaluk alukna”, artinya jika dilahirkan dari sebuah tongkonan maka ia berhak dapat warisan dari tongkonan, baik berupa sawah (uanina), hutan (kayunna) dan kebun (utanna). Falsafah inilah yang melandasi landscape tiap rumah di daerah ini terdiri atas sungai/parit, sawah, kebun dan pohon bambu yang tersusun berjejer dan berurutan, lalu ada rumah milik warga berikutnya. Tak heran bila jarak antarrumah di daerah ini bisa mencapai 500 m, bahkan lebih. Saroan memiliki aturan yang unik dalam pengelolaan lingkungan dan lahan pertanian sumber penghidupan mereka, antara lain: setiap batas kebun ditanami tanaman umur panjang, misalnya pohon uru (Emerillia sp) dan pohon buah-buahan misalnya mangga. Saat kebun mereka akan dibangun, untuk sementara kebun tersebut dibatasi dengan pohon pisang. Hal ini bertujuan agar pemilik rumah tidak terlalu merugi ketika pohon pisang tersebut ditebang. Jadi, sebenarnya penanaman batas kebun dengan tanaman umur panjang sangat membantu dalam menambah pendapatan untuk perekonomian keluarga pemiliknya. Aturan lain saroan adalah tanah yang miring harus dikuatkan dengan bala batu (dinding batu). Secara teknis tanah diolah sambil menyusun batu pada bagian yang rendah, mirip dengan memasang pondasi agar tanah tidak terkikis erosi. Saroan juga melarang penebangan kayu dekat mata air, dengan alasan pohon yang dekat dengan mata air ada penunggunya. Kebijakan ini tentu berdampak positif pada lestarinya mata air di daerah tersebut. Di saroan juga ada pembagian kerja. Di antaranya: To Sadang kalo’ (orang yang bertanggung jawab dalam pengaturan air), To Soyanantondok (orang yang bertugas sebagai humas antarsaroan) dan To Ada(orang yang bertanggung jawab dalam penyelesaian perselisihan). Aturan-aturan dalam saroan mengalami perubahan seiring berjalannya waktu. Jika ada perubahan dalam aturan saroan, masyarakat membicarakannya dalam kombongan kalua’.
Saroan & Lembang Jadi Milik Warga Tana Toraja
Saroan dan lembang sempat tenggelam karena proses penyeragaman desa di seluruh wilayah tanah air. Namun, berkat upaya bersama seluruh komponen masyarakat di Tana Toraja, kini masyarakat bias menerapkan lagi tradisi-tradisi saroan dan lembang. Adapun kronologi timbul tenggelamnya tradisi saroan dan lembang adalah sebagai berikut. Sebelum tahun 1932, aturan dan adat (aluk dan ada’) masih utuh dan dijalankan warganya dengan sempurna. Namun pada tahun yang bersamaan sampai awal Indonesia merdeka ada beberapa kombongan kalua’ yang dilaksanakan oleh masyarakat bersama dengan Pemerintah Belanda untuk melakukan inventarisasi aluk dan ada’ mana yang mendukung penjajah Belanda, maka aluk atau ada’ tersebut diakui oleh Belanda. Jika tidak mendukung Belanda, maka dimusnahkan. Hasilnya ada aluk yang masih diakui dan ada aluk yang dimusnahkan. Nama saroan dan lembang tetap diakui dan dipakai karena mendukung pemerintahan Belanda dalam proses pengorganisasian masyarakat untuk mengelola sumber daya manusia dan alam. Pada tahun 1945-1979, aturan lembang masih diakui pemerintah, namun tidak ada kewenangan untuk melaksanakannya secara sempurna, sehingga pelaksanaannya dalam aturan dan adat menjadi samarsamar, karena diganjal dengan aturan formal. Pada tahun 1979-1998, nama lembang diganti menjadi desa, sedangkan nama saroan diganti Rukun Keluarga (RK) dan Rukun Tetangga (RT) atau nama lain. Saat itu warga melakukan aluk dan ada’ secara sembunyi dan penuh dengan risiko, terutama aluk yang mengatur tentang saroan, sehingga ijin upacara adat itu harus diketahui oleh aparat.

Sumber : Daniel Salubongga

Tidak ada komentar:

Posting Komentar