Selasa, 13 September 2011

Persekutuan Orang Toraja

  • Lambang persekutuan Toraja ialah Tongkonan berdasarkan hubungan kekerabatan/keturanan Darah Daging. Prinsip Tongkonan ialah  bahwa setiap keluarga- sepasang suami istri- membangun rumah atas usaha sendiri atau secara bersama-sama dengan anak-anak dan cucu-cucu. Rumah itu adalah Tongkonan dari setiap orang yang berada dalam garis keturunan dari suami-istri yang mendirikan rumah. Orang Toraja cukup mudah menelusuri garis keturunannya melalui hubungan Tongkonan. Seseorang biusa menjadi Tongkonan dari berbagai Tongkonan, karena orang Toraja tentunya kawin-kawin antara berbagai Tongkonan. Tongkonan yang pertama di kenal adalah Tongkonan Banua Puang di Marinding yang di bangun oleh Tangdilino’. Jadi orang Toraja adalah satu persekutuan, walaupun dengan struktur masyarakat yang berbeda-beda. Ossoran Nene’ Silsila orang Toraja – akhirnya bermuara pada persekutuan Sangtorayan yang berasal dari Tongkonan Banua Puang.
  • Gotong ronyong adalah ciri khas masyarakat tradisional. Motif utama adalah saling membutuhkan, teristimewa di bidang kerja sawah, atau dalam menghadapi Rambu Tuka’, Rambu Solo’. Kasiturusan ikatan gotong royong adalah semacam asuransi atau arisan sosial yang pada dasa mengharapkan imbalan, namum, tidak perlu ditagih, apalagi bahwa jasa yang diharapa itu setimpal dengan yang pernah di berikan. Nilai gotong royong disini bukanlah nilai ekonomis melainkan nilai partisipasi dalam persekutuan. Orang yang tidak ikut berpartisipasi bisa di cap Ti’pek Lanmai Kasiturusan/ atau Kada Kalebu keluar dari persekutuan. Contoh pada menjamu  tamu (Ma’toratu) : apabila satu keluarga tiba-tiba kedatangan tamu, apalagi tamu terhormat, maka menurut kebiasaan/adat tuan rumah akan berusaha menjamu tamu sebaik mungkin. Maka di potonglah seekor Babi bila itu memungkinkan. Para tetangga akan serentak berpartisipasi, buka saja dengahn sumbangan tenaga, melainkan dengan apa saja yang dibutuhkan untuk menjamu tamu itu sebaik mungkin.
  • Saling memberi adalah pula tanda persekutuan. Dalam bentuk modern sekarang tanda persekutuan itu masih dapat para peserta nikah kota-kota. Orang sering memberi hadiah bukan dari segi ekonomis untuk membantu keluarga baru itu, melainkan primer sebagai ungkapan hunbungan yang akrap,ungkapan rasa yang beradadalam satu persekutuan.
  • Pengembalian pemberian. Kalau seorang memberi garam atau lombok kepda tetangga lalu dibayar kembali, maka hal itu merupakan penghinaan atau penolakan hunbungan persekutuan. Hal itu berarti bahwa yang bersangkutuan tidak ingin orang lain meminta bantuan dari padanya, pembayaran utang pada Rambu Solo’ tidak dilihat dari segi ekonomis : melainkan dari segi saling mengakui sebagai anggota persekutuan, memberi bukanlah soal formal, melainkan merupakan kewajiban yang tidak tertulis dan tidak mutlak dianggap hutang. Namun perkembangan modern menformalkan saling memberi itu menjadi hutang- piutang yang akhirnya mengurangi atau bahkan membahayakan motif persekutuan.
  • Kehadiran pada suatu pesta baik pada Rambu Tuka’ atau Rambu Solo’, dalah tanda persekutuan. Kehadiran seseorang tidak bisa diganti oleh Babi atau Kerbau, sekalipun mungkin ada “Hutang” yang mau di bayar. Tidak pantas hanya mengirim Babi atau Kerbau. Absensia seseorang bisa dianggap penghinaan atau paling tidak menganggu hubungan persekutuan.
  • Dari ungkapan-ungkapan dapat pula kita menarik betapa tingginya nilai persekutuan itu dalam kehidupan orang Toraja. “Misa’ Kada di Potuo, Panta Kada di Pomate”. Asal mula ungkapan ini tidak terlalu jelas. Menurut beberapa informal asalnya dari “Tonna Titulak Buntunna Bone” – waktu perang melawan Bone, para pemimpin Toraja, To Paditindo, mempersatukan diri membendung kekuatan Bone, bahkan mengusir orang Bone kembali ke negerinya. “Besatu kita teguh, bercerai kita runtuh”. “Tengko Situru’, batakan Siolanan”. Kebenaran ungkapan ini telah terbukti dalam sejarah Untulak Buntunna Bone. Ungkapan yang lebih asli menurut istilah konteksnya ialah : “ Sangkutu’ Banne, Sangbuke Amboran”...Persekutuan itu bagaikan serumpun seikat benih padi, bagaikan benih yang penuh takaran untuk ditaburkan. Gambaran paralelisme ini mengungkapkan suatu persekutuan tanpa perbedaan semuanya adalah benih-benih yang sama dan disatukan/dipersekutukan dalam satun ikatan atau dalam satu tempat benih. Kutu’ adalah himpunan butir-butir. Banne adalah bibit yang terpilih dari butir-butir yang terbaik, penuh dengan daya hidup. Buke = sangat penuh. Sangbuke berarti takaran dari butir-butir padi dari Kutu’ bibit. Istilah ini menggambarkan suatu persekutuan yang dinamis dan penuh vitalitas. Dari istilah “Misa’ Kada Di Potuo, Pantan Kada Di Pomate”, memang terbayang suatu persekutuan tetapi persekutuan demikian belum menjamin persamaan dalam persekutuan itu, karena orang bisa saja bersatu dibawah satu komando karena ketaatan entah kepada kepentingan bersama. Selanjutnya unsur persekutuan masih bisa di jabarkan dari nilai-nilai hidup lainnya.