Kamis, 29 Juli 2010

Legenda Eran Dilangi' "Tangga Menuju ke Sorga"

KONON, kata sebuah legenda, ketika kehidupan di “Bumi” masih diatur langsung dari “Langit” oleh PUANG MATUA (Tuhan, Sang Pencipta), semua aktivitas keseharian di bumi berlangsung aman, tenteram, dan damai.
Bila ada masalah yang muncul dalam perikehidupan sehari-hari diutusla wakil penduduk Bumi ke langit menemui Puang Matua untuk meminta nasihat. Jalur transportasi-komunikasi yang digunakan adalah “Eran diLangi’” sebuah tangga menjulang tinggi menuju langit yang sengaja diciptakan Puang Matua. Lalu, setelah Puang Matua bersabda atas persoalan yang dibentangkan ke hadapan-Nya, wakil penduduk Bumi itu pun turun lewat tanggga yang sama dan menyampaikan segala isi pembicaraanNya dengan Puang Matua kepada sekalian penduduk Bumi untuk kemudian dijadikan pegangan hidup. Selama beberapa generasi ruitinititas ini berjalan lancar. Sampai pada suatu ketika malapetaka itu muncul, berawal dari keinginan keluarga yang berniat mengawinkan anak mereka sesaudara kandung. Konon, keinginana itu dipicu oleh sikap pelit yang telah mereka kumpulkan kelek diwariskan kepada orang lain.
Karena keinginan ini tidak umum, diutusla anak lelakinya menemui Puang Matua di lagit untuk meminta petunjuk. Tak ada kata setuju dari Puang Matu. Akan tatapi, dasar manusia, seetiba di Bumi sang anak justru memutarbalikkan isi pesan Puang Matua, sehingga ia akhirnya “direstui” warga bumi untuk menghawini adik kandungnya sendiri. Puang Matua pun marah. Penduduk Bumi kena tulah. Ancaman wabah dan kelaparan terjadi di mana-mana. Sesembahan dan ritus yang digelar oleh penduduk Bumi ditampik-Nya. Di puncak kemarahanNya puang Matua merobohkan Eran diLangi’, sekaligus menandai putusnya jalur transportasi-komunikasi langsung antara Bumi dan Lngit. Sis-sia anak tangga menuju ke langit itu berkellimpangan jatuh ke Bumi, lalu membentuk bukit-bukit batu yang kini membentang dari wilayah Desa Rura kabupaten Enrekang hingga Rantepao di Tana Toraja.
TENTU saja itu semua hanya legenda. Akan tetapi, dalam kepercayaan asli masyarakat Toraja yang disebut Aluk Todolo, posisi “Legenda Eran diLangi’ tadi ternyata secara filosofis memiliki benang merah yang kuat dengan cerita tentang asal-usul aluk itu sendiri. Disebutkan bahwa ketika penghulu adat (tomina) mengajak penduduk naik ke langit untuk mencari aluk, ia dihadapkan pada pertanyaan, “Jalan manakah yang harus ditempuh karena kini sudah tidak ada lagi tangga ke lagit”??.... Sejenak kemudian ia teringat pada ucapan pada leluhur bahwa tangga ke langit itu sama artinya dengan “pinggir bibirmu dan ia ada di ujung lidahmu”. (Nakua tomina, Kendekki’ langnggan langi’ undaka’ Aluk. Na umbamo lakupolalan langngan ba’tangna langi’ na tae’o tu Eran diLangi’?? Apa nakua to diponene’: Samannamo Eran diLangi’ tu randan dipundukmu, samannamo enda’ dideata tu dara’ dilengko lilamu....)
Selain percaya pada Puang Matua sebagai dewa tertinggi yang mengatur kehidupan di jagat Bumi, penganut kepercayaan Aluk Todolo juga percya pada berbagai kekuatan yang ada di sekelilingnya. Karena itu, ada berbagai upacara. Namun, pada dasarnya upacara-upacara itu terbagi dalam dua kelompok besar, upacara kegembiraan (rambu tuka’) dan upacara kesedihan (rambu solo’).
Dalam setiap upacara selalu ada unsur-unsur magis. Sebutla pada upacara ma’bugi yang konon menggunakan siklus lima tahunnan. Dalam upacara untuk mengusir wabah penyakit ini, kadang-kadang disertai ritus yang mereka sebut ma’terre. Dalam ritus ini, dukun atau orang pintar yang bertindak sebagai pemimpin upacara menghapalkan mantra-mantra, lalu mereka yang terserang wabah biasanya kerasukan atau trance. Di tengah arena ditegakkan bambu yang hanya dipegang oleh beberapa orang. Lalu, orang yang kerasukan tadi disuruh naik dan setiba dipuncak turun dengan posisi kepala kebawah. Sesampai di tanah, pemimpin upacara menancapkan pisau ke kening si “sakit” hingga berdarah-darah.
“Anehnya, begitu luka tadi diusap dengan daun tabang (pepohonana sejenis perdu yang banyak tumbuh di kaki gunung di Tana Toraja), luka tadi langsung menutup. Tak ada bekas luka sama sekali dan orang tadi kembali sadar,” kata Ambe’ Ato’, penduduk desa Durian, kecamatan Makale. Dia mengaku beberapa kali menyaksikan peristiwa “langkah” itu di tengah-tengah para pemeluk kepercayaan Aluk Todolo yang tinggal di sekitar Gunung Ke’pe’, masih dalam wilayah kecamatan Makale. Kisah yang lebih seru adalah apa yang disebut “Roh tebang”. Biasanya itu terjadi pada malam hari. Orang “sakti” pemilik ilmu ini secara fisik tengah tidur, tetapi rohnya terbang melanglang buana. Masyarakat percaya karena apa yang ia lihat selama ‘terbang’, lalu ia ceritakan pada pagi harinya, biasanya benar-benar terjadi. Misalnya, ia mengatakan bertemu roh sesorang yang dalam waktu dekat akan meninggal, ternyata beberapa hari kemudian terdengar berita ada orang meninggal dunia; orang dengan ciri-cirinya seperti yang ia ceritakan.
“Memang sulit dipercaya ,tetapi susah juga untuk tidak mempercayainya karena biasanya apa yang ia katakan terbukti kebenarannya. Akan tetapi, sekarang orang yang punya kemampuan seperti itu sudah tyak perna lagi terdengar keberadaannya”, kata Mangeka, yang semasa kecil masih sempat hidup di tengah-tengah segala sesuatu yang berbau magis dan mistis. LEPAS dari itu semua, kalau kita datang ke Tana Toraja dan masuk ke dalam kehidupan masyarakat yang masih menganut kepercayaan Aluk Todolo, mitos dan legenda adalah bagian dari keseharian mereka.
Namun, dibalik itu semua tersimpan kearifan yang luar biasa. Paling tidak itu bisa disimak dari “petuah-petuah” yang mereka sampaikan, seperti dikatakan oleh salah seorang putra Tato’ Denna’ salah satu pemangku adat Aluk Todolo dari Siguntu’ dan Makale: ”Manusia itu memang aneh. Coba saja tengok, kaki kita yang terantuk batu, eh....mulut yang mengaduh...”

Selasa, 27 Juli 2010

Dari Tana Toraja Menatap Mesir Kuno

Tana Toraja yang akrab disapa “Tator” sebagai salah satu kabupaten di Sulsel, memiliki aneka simbol dan produk budaya yang sangat menarik diteliti. Berdasarkan hasil observasi yang dilakukan oleh Koes Hadinoto pada tahun 1989, susunan obyek wisata Tana Toraja terdiri atas: panorama alam, kebudayaan dan pola kehidupan masyarakat, peninggalan sejarah dan kepurbakalaan, upacara ritual rambu tuka’ dan rambu solo, seni tari dan kesenian, seni lukis, industri rumah dan kerajinan tangan.

Panorama alam nan indah sebagai ciri khas Tana Seribu Tongkonan ini, terdiri atas bukit-bukit batu menjulang tinggi, lembah-lembah yang hijau serta hamparan sawah yang berpetak-petak, sungguh merupakan anugerah sang pencipta yang patut disyukuri. Bahkan perpaduan harmonis antara alam yang indah dengan udara sejuk dan bersih ditandai oleh munculnya kabut di pagi hari tersebut merupakan unsur pendukung sejumlah daya pikat yang dimilikinya.

Berdasarkan catatan sejarah, Tana Toraja dahulu bernama Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo. Secara harafiah terminologi ini menggambarkan sebuah negeri yang bulat sebagai simbol kesatuan, bulat bagaikan bulan dan matahari. Secara filosofis diartikan sebagai sebuah negeri dimana bentuk pemerintahan serta masyarakatnya merupakan suatu kesatuan bulat, utuh dan tak terpisahkan. Ideologi pemersatu dan alat perekat sosio-kultural mereka, yakni keyakinan pada Aluk Todolo. Warisan leluhur ini memuat nilai-nilai atau aturan yang bersumber dari negeri Marinding Banua Puang yang dikenal dengan Aluk Pitung Sa’ bu Pitu Ratu’ Pitung Pulo Pitu atau Aluk Sanda Pitunna (aturan/agama 7777).

Para ahli sejarah dan ahli budaya telah menyatakan bahwa penduduk yang pertama-tama menguasai Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo pada zaman purba adalah penduduk yang berasal dari luar Sulawesi Selatan yang diperkirakan datang pada sekitar abad ke-6. Mereka datang dengan perahu/sampan melalui sungai- sungai yang besar, dan menuju ke pegunungan Sulawesi Selatan akhirnya menempati daerah pegunungan termasuk Tana Toraja. Kedatangan mereka secara berkelompok yang dalam sejarah Toraja dinamai Arroan (kelompok manusia ) dan menyusuri sungai-sungai dengan mempergunakan perahu. Segera setelah itu, mereka itu tak dapat lagi melanjutkan pelayaran karena air sungai deras dan berbatu-batu. Karena itu, mereka lalu menambat perahu-perahunya di pinggir-pinggir sungai dan tebing-tebing gunung yang dilalui oleh sungai. Kondisi pemukiman awal yang menggunakan perahu seperti inilah mungkin yang menjadi alasan mengapa dalam sejarah Toraja dan dongeng Toraja sangat terkenal suatu istilah yakni Banua di Toke(Banua = rumah di Toke’ = digantung).

Nama Toraja mulai dikenal setelah adanya hubungan Tondok Lepongan Bulan Tana Matarik Allo dengan daerah luar seperti Bugis Makassar. Kata Toraja berasal dari kata To yang berarti orang dan Riaja yang bermakna di atas atau orang yang berdiam di atas pegunungan sebelah utara daerah Sidenreng. Konon nama ini, diberikan oleh orang Bugis Luwu dan daratan Bugis lainnya. Dengan demikian, penggunaan istilah Toraja untuk pertama kali secara resmi dipakai untuk menyebut nama wilayah administratif pemerintahan Zelfbestuur Tana Toraja pada masa pemerintahan Negara Indonesia Timur (NIT) pada tahun 1947. Pada tahun 1959, wilayah ini menjadi daerah Kabupaten Tana Toraja di bawah pangkuan Negara Republik Indonesia.

Sejarah Tana Toraja berikut sejumlah warisan kultural yang dimiliki tersebut, tentu saja akan memikat setiap orang yang berkunjung. Bahkan akan merasa takjub seperti halnya sejarawan kondang sekaliber Herodotus yang menyatakan kekagumannya pada warisan kebudayaan Mesir kuno abad ke-5 SM. Keanehan Mesir berdasarkan hasil penelitian beliau setelah melakukan perjalanan wisata berkeliling negeri ini, pada masa berikutnya sempat dibuktikan oleh para peneliti. Bahkan mereka yang sempat melakukan perjalanan ilmiahnya di negeri Mesir, menurut catatan Lionel Casson dalam buah penanya “Ancient Egypt” merasa kerdil di hadapan patung-patung yang menjulang tinggi.

Keistimewaan dan daya tarik Tana Toraja terutama aneka warisan budayanya, tidaklah (mungkin belum) sebesar Mesir Kuno yang telah mempunyai reputasi internasional serta menjadi obyek penelitian masyarakat ilmiah dunia. Akan tetapi walaupun mereka yang mengunjungi secara fisik tidaklah merasa kerdil seperti halnya kaum ilmiawan melihat patung raksasa di Mesir, dapat dipastikan bahwa mereka yang mengunjungi Toraja secara ilmiah akan merasa kerdil pula. Maksudnya, ketika menelusuri aspek sosio-kultural masyarakat setempat sebagai patron budaya kekaguman itu akan muncul terutama pada ekspresi budaya yang dimanifestasikan melalui seni dan upacara suci.

Dalam tradisi dan budaya masyarakat Toraja sejak dahulu hingga kini, dikenal upacara Rambu Solo atau upacara pemakaman yang dilakukan pada saat matahari condong ke Barat. Modus pelaksanaannya berupa pengorbanan hewan yakni kerbau atau babi dilakukan di sebelah Barat dari rumah upacara. Pada umumnya upacara suci ini, diselenggarakan pasca panen terutama pada bulan Juni hingga bulan Oktober setiap tahun. Makna yang terkandung dalam upacara ritual ini yakni dimaksudkan agar jiwa (arwah) dari para mendiang dapat diterima dengan baik di sisi Tuhan.

Selain upacara ritual pemakaman (rambu solo), di kalangan masyarakat Toraja pun memiliki tradisi unik dalam mengurus jenazah yang membedakannya dengan daerah lain. Bukti konkret mengenai hal tersebut, tercermin melalui kuburan sisi batu karang terjal Londa yang terletak sekitar 310 km dari Makassar dan 30 km dari kota Makale. Untuk mengunjungi tempat ini, setiap orang harus menggunakan alat penerangan (lampu) atau lentera karena letak kuburan itu di dalam gua yang gelap. Gua-gua yang terbentuk secara alami selama berabad-abad lamanya mempunyai ruang yang lebar dan luas sehingga memungkinkan untuk menyimpan peti mayat di dalamnya.

Pemandangan unik lainnya yakni peletakan peti mayat pada gua itu yang diatur sedemikian rupa berdasarkan garis keluarga. Kuburan batu karang Londa yang terletak sekitar 5 km dari kota Rantepao tepatnya di desa Tikuna Malenong Kecamatan Sangalangi, secara ilmiah merupakan obyek penelitian yang sangat menarik terutama bagi mereka yang mendalami disiplin ilmu sejarah.

Satu hal yang tidak kalah menarik yakni pada makam kuno di Toraja terdapat patung-patung, yang tentu tujuannya sebagai alat untuk mengenang wajah seseorang yang dianggap mempunyai andil yang cukup penting dalam masyarakat. Karena itu, wajar jika pembuatan patung-patung dikhususkan pada para keluarga bangsawan Toraja.

Hal ini mirip dengan tradisi orang Mesir Kuno yang berdasarkan sejarahnya, mengenal ajaran tentang hidup abadi terutama bagi Fir’aun sesuai ajaran naskah keagamaan kuno. Sebagai pencerminan hidup abadi yakni mereka bersedia bekerja keras membuat pusara dan kuil besar yang terawetkan sejak 2000 tahun lalu. Nama raja atau penguasa yang dituliskan tersebut itulah yang dianggap sebagai keabadian, dimana orang akan selalu mengenangnya sepanjang masa.

Meskipun demikian, pertanyaan historis dan kegelisahan kultural yang muncul yakni akankah warisan budaya semolek “wajah” Tana Toraja ini akan tetap “kekal” sebagaimana wujud pengabadian wajah sejumlah figur melalui patung-patung itu?. Masih sanggupkah lafadz dzikir-dzikir sejarah yang berkumandang di antara setumpuk godaan “syaitan globalisasi” melawan ketidakpedulian orang pada dimensi masa lampau?. Di sinilah andil dan peran kita sebagai pemilik warisan budaya diperlukan untuk senantiasa merawatnya lewat kesadaran sejarah dan taubat budaya

http://sejarah.kompasiana.com/2010/07/05/dari-tana-toraja-menatap-mesir-kuno/

Minggu, 25 Juli 2010

Toraja Gudang Mutiara Yang Menawan

Kabupaten Tana Toraja (Tator) terletak di atas ketinggian antara 800-1000m di atas permukaan laut. Karena itu daerah ini termasuk daerah yang berhawa dingin. Selain itu lingkungan alam di Tana Toraja berbukit dan bergunung karang. Namun demikian tanahnya sebur sehinggabanyak dimanfaatkan sebagai tanah persawahan dan perkebunan. Teletak kurang lebih 300km ke arah utara dari Makassar dan termasuk salah satu kabupaten yang ada di Propinsi Sulawesi Selatan.

Lemo terletak kurang lebih 1km dari jalan utama Makale Rantepao. Di tempat ini jenazah dimakamkan pada dinding terjal di dalam batu-batu karang. Liang batu ini dipahat di dalam batu-batu karang yang tingginya karang berpuluh meter di atas tanah. Kenyataan inilah yang memberi inspirasi kepada Prof. Dr. J.H. Van Derveen, seorang ahli bahasa dan kebudayaan Toraja untuk menamakan kuburan semacam ini dengan sebutan Hanging Grave artinya kuburan tergantung karena kuburan-kuburan itu menjulang tinggi seolah-olah tergantung di udara. Liang batu jenis ini tersebar di desa-desa di seluruh Tana Toraja.

Untuk menaikkan jenazah sampai di pintu liang digunakan tangga dari bambu betung yang disambung-sambung. Selesai pemakaman tangga dibongkar kembali. Di lain tempat di daerah ini orang menggunakan cara berbeda. Dengan menggunakan tali-tali kulit kerbau yang sudah dikeringkan, jenazah bersama dengan empat orang yang akan menguburkan jenazah diulur dari atas puncak gunung batu ke bawah sampai di pintu liang batu.

Mengapa orang-orang Toraja menguburkan jenazah di atas gunung batu terjal dan tinggi yang sulit dijangkau? Apakah tradisi semacam ini sudah terjadi sejak zaman purba? Sebenarnya tidak. Di zaman purba orang Toraja menguburkan jenazah di dalam liang kayu yang disebut erong atau duni. Tradisi menguburkan jenazah ke dalam liang-liang batu yang tinggi baru dilaksanakan di sekitar permulaan abad 19, demikian Dr. C. Salombe, seorang putra dari daerah itu yang mencapai gelar doktor bahasa di Universitas Indonesia tahun 1978.

Di dalam bukunya ”The Torajanese and their rites, in memorium So’ Rinding Puang Sangalla” mengatakan bahwa ketika terjadi penyerangan orang-orang luar ke daerah itu maka mereka tak segan-segan merampok benda-benda berharga yang dimasukkan bersama jenazah ke dalam liang erong yang hanya ditempatkan di gua-gua ciptaan alam di kaki gunung batu. Untuk menjawab tantangan ni rupanya orang Toraja mulai memahat liangliang leluhur pada dinding batu

Pada masa sekarang ini hampir dapat dihitung dengan jari, jenazah yang dikuburkan di liang batu. Dengan berkembang pesatnya agama monoteisme dibarengi engan pesatnya perkembangan pendidikan maka dalam waktu 40 tahun terakhir di mana-mana hampir terlihat jenazah dikuburkan di dalam tanah. Namun demikian bagi keluarga yang mampu, mereka membangun kuburan Patane suatu kuburan keluarga yang terbuat dari beton.
Salah satu dari sekian banyak objek wisata yang menarik adalah Londa yang letaknya di desa Tikunna Malenong, 5km dari kota Rantepao. Londa merupakan sebuah kuburan alam berupa gua-gua batu di kaki gunung. Di dalam gua itulah diletakkan jenazah-jenazah dalam sebuah peti yang disebut erong atau duni. Erong adalah semacam peti mati yang tebuat dari kayu keras dan kuat. Bagian luar erong ditatah dengan ukiran yang indah. Di antara motif-motif ukiran yang terdapat pada erong terdapat motif yang tidak lagi dipakai pada ukiran rumah adat dan lumbung padi di Toraja misalnya ragam hias ular naga.

Sebelum memasuki gua-gua alam, sedikit di atas gua terdapat jajaran patung yang disebut tau-tau yang dibuat dari kayu nangka agar dapat bertahan lama. Tau-tau ini merupakan duplikat dari jenazah yang dimakamkan. Dengan menghitung berapa jumlah tau-tau yang ada, dapat diketahui berapa jenazah yang dimakamkan dalam liang.

Bila memasuki gua lebih dalam, dapat dilihat erong-erong yang diletakkan begitu saja. Untuk membedakan erong mana yang telah tua dapat dilihat dari warnanya. Erong yang berwarna hitam adalah erong yang diletakkan ketika mereka masih menganut animisme dan erong yang berwarna kecoklatan adalah erong yang diletakkan setelah masuknya agama Kristen. Jadi umurnya tidak setua erong yang berwarna hitam. Tapi ada erong yang telah hancur sehingga kerangka-kerangka manusia berserakan di dalam gua itu


Selain itu ada Palawa, perkampungan asli Toraja yang menawan, Objek wisata ini terletak 10km dari kota Rantepao, merupakan sebuah perkampungan asli masyarakat Toraja yang masih terpelihara baik. Deretan rumah-rumah khas Toraja yang disebut Tongkonan dan deretan lumbung padi yang disebut Alang dapat disaksikan di perkampungan ini.

Bentuk tongkonan sama dengan alang hanya saja tongkonan bentuknya lebih besar. Rumah tongkonan mempunyai bentuk yang khas. Atapnya berbentuk seperti perahu dan pada bagian depan dan belakang terdapat tulak somba yang bebentuk seperti salib. Apabila dua tulak somba ini dipindahkan ke bubungan akan mengingatkan kita pada tiang topang yang digunakan dalam perahu.

Kamis, 22 Juli 2010

"Tongkonan" dan "Alang"

Pembangunan rumah tongkonan dan lumbung alang harus dilandasi oleh hubungan saudara dengan hutan sebagai sumber bahan ramuan. Prinsip hubungan ini muncul dalam kontinuitas kehidupan. Penebangan pohon adalah mematikan karena itu harus ada upaya agar kayu mati tadi dihidupkan. Dalam budaya ini kayu mati menjadi hidup kalau bahan kayu rumah yang diletakkan secara horizontal bagian batang bawah berada di selatan (muara sungai), sedangkan bagian atas kayu menghadap sumber mata air (utara) ke langit yang tertinggi. Tiang-tiang dan dinding rumah juga memakai prinsip sama, yaitu semua bahan harus ditata tumbuh ke atas.

Hanya dengan perlakuan demikian maka kontinuitas hidup terjamin dan pohon-pohon ini menghidupkan penghuninya. Kemudian, dalam pelaksanaan ritus kehidupan atau kematian, bahan-bahan kayu dibutuhkan (dimatikan) dan untuk menjaga kontinuitas kehidupannya pohon-pohon baru seperti pohon berdaun lebar (lamba’), beringin, cendana, dan kedondong harus ditanam kembali (dihidupkan). Kedondong dipercayai sebagai penangkal petir melindungi pohon-pohon lain karena buahnya asam. Bila pohon-pohon ini tumbuh, maka akan mendatangkan rezeki bagi seluruh kampung. Hubungan saudara ini juga dikonkretkan dalam pembangunan pasangan rumah/lumbung. Rumah dikategorikan sebagai wanita (baine), sedangkan lumbung sebagai laki-laki (londongna banua). Hubungan antara keduanya adalah hubungan saudara.

Ini misalnya dibuktikan dengan pemakaian istilah kekerabatan untuk menamai tiang pusat rumah yang terbuat dari kayu nangka (a’riri posi’), yaitu anak dara-anak dara. Laki-laki memakai nama ini untuk memanggil saudara perempuannya, sedangkan yang terakhir memanggil saudara laki-lakinya anak laki-laki (anak muane). Tongkonan dan alang adalah mikro-kosmos mewakili makro-kosmos yang menekankan hubungan saudara, yaitu langit (laki-laki) dan bumi (wanita), atau Puang Matua pencipta (saudara laki-laki) yang berdiam di langit dan Datu Baine (saudara perempuan) yang berdiam di bumi. Proses pembangunan rumah/lumbung ini harus didasarkan pada kebenaran umum yang diturun-temurunkan (sangka’), yang sudah diuji kebenarannya, suatu praktik yang menghidupkan dan tidak mematikan. Hal ini ditandai dengan penempatan simbol-simbol di depan tongkonan yang mirip salib yang disebut jejeran kebenaran (dandanan sangka’).

Yang menarik adalah kebenaran umum dikonstruksi dalam bentuk cerita, yang bagi kebanyakan kita tidak lebih dari sekadar "cerita". Banyak cerita sangka’ yang diceritakan secara turun temurun (ulelean batu silambi’) tentang kecelakaan dalam penebangan pohon-pohon di hutan yang dibawa hanyut air sungai. Cerita demikian dapat ditemukan dalam berbagai versi dari kampung ke kampung. Singkatnya, perlakuan alam secara saudara harus didasarkan pada serangkaian kebenaran karena tongkonan adalah doa dan harapan yang menarik datangnya (ullambe) rezeki (dalle’), kebahagiaan (kamasannangan), keselamatan (kamarendengan), dan kekayaan (eanan).

Tuturan ritus

Masyarakat Toraja punya ideologi bahasa yang mirip dengan apa yang Austin dan Wittgenstein katakan, yaitu bertutur dan berbicara adalah suatu social action yang punya akibat. Yang paling ditakuti ialah kalau kegiatan berbicara itu mendatangkan bala (tula). Sebaliknya, yang paling didambakan adalah bila kegiatan bertutur mendatangkan kebaikan (kameloan). Dipercayai, misalnya, bahwa dalam nama pohon terdapat dua kekuatan, yaitu kekuatan mematikan dan menghidupkan. Dalam mitos turunnya Pong Mula Tau (manusia pertama) di Rura (sekarang masuk kecamatan Enrekang) Tangdilino’ menyuruh Pong Bulu Kuse dan Pong Sabannangna masuk ke dalam hutan untuk menebang pohon-pohon. Karena mereka serakah hendak menebang pohon tanpa melakukan upacara, semua pohon menyebutkan namanya, yang menyebabkan kematian (kada beko) akan terjadi pada manusia kalau mereka menebangnya. Keserakahan terhadap alam adalah pertanda hubungan non-saudara. Hanya dengan mediasi ritual likaran biang, yaitu upacara kehidupan dengan mengorbankan ayam di hutan, maka pohon-pohon itu mengungkap unsur-unsur dari totalitas kehidupan. Pohon nangka akan mendatangkan kekayaan bagi penghuninya, pohon uru akan mendatangkan banyak babi besar, pohon betau akan membangun manusia seutuhnya, dan seterusnya. Kearifan lokal yang dikonstruksi dalam tradisi lisan Toraja dapat dimanfaatkan untuk pengelolaan lingkungan. Inti utamanya adalah membangun hubungan manusia dan alam sebagai hubungan subyek-subyek, yaitu dengan menerapkan "hubungan saudara". Hubungan non-saudara (subyek-obyek) hanya akan mendatangkan sifat serakah, penebangan liar, dan lain-lain. Adapun hubungan saudara (subyek-subyek) yang didasari ajaran agama, kebenaran-kebenaran yang turun-temurun, serta mediasi ritual akan mendatangkan kesuburan dan kehidupan.

Stanilaus Sandarupa Anggota Asosiasi Tradisi Lisan, Dosen Antropolinguistik pada Fakultas Sastra, Unhas

Adat Ma' Barata (Pengurbanan Manusia) Dalam Upacara Rambu Solo' Di Tana Toraja

Adat Ma’ Barata (pengurbanan manusia) pada upacara Rambu Solo’ yang masih berlaku sampai masuknya Pemerintah Kolonial Belanda, adalah salah satu adat yang diadakan sebagai penghormatan serta sebagai tanda kepahlawanan/keberanian dari seorang bangsawan atau pahlawan dalam perang Topadatindo dan perang saudara pada permulaan abad ke-17. adat Ma’ Barata Bulan bukanlah aluk dalam Aluk Todolo, tetapi hanya sebagai adat sehingga dilarang sejak masuknya Belanda.

Adat Ma’ Barata ini hanya sebagai :

  • Tanda penghormatan kepada seseorang pahlawan yang telah mempertahankan kedaulatan negerinya dan kehormatan keluarganya serta masyarakatnya.
  • Tanda penghormatan kepada seseorang yang mati dalam peperangan terutana dalam perang saudara dahulu di Toraja.
  • Tanda penghormatan kepada seseorang yang berjasa.

Adat Ma’ Barata ini hanya dilakukan pada upacara Rapasan, dan seorang yang menjadi kurban Barata diikat tangannya dan ditambatkan pada Simbuang Batu (batu tugu peringatan pada ups Rapasan yang berdiri di tengan Rante), menunggu saatnya dipancung. Kurban Barata ini boleh saja laki – laki atau wanita yang ditangkap saat perang atau jika tidak ada perang maka ditangkap dengan cara Mangaun (mengintip untuk menangkap) dari orang – orang yang telah disepakati oleh para Topadatindo. Menurut kesepakatan Topadatindo yang dipegang oleh penerusnya, yang menjadi korban Barata adalah tawanan dalam perang atau orang – orang yang tidak ikut dalam persatuan melawan Arung Palakka ( To Ribang La’bo’, To Simpo Mataran) yang berasal dari daerah Karunanga, suatu daerah yang terletak di bagian utara pegunungan Toraja. Orang – orang inilah yang selalu menjadi buronan pada setiap saat adanya rencana adat Barata, itupun melalui pertarungan karena orang yang diburu selalu mengadakan perlawanan dengan mati-matian.

Oleh karena sering terjadi perkelahian yang hebat dalam menangkap Kurban Barat, maka sering Kurban Barata itu tak dapat ditangkap dengan hidup-hidup dan kurbannya ditangkap dengan mati, terpaksalah hanya mengambil kepala dari pada kurban itu dan dibawah ketempat Upacara Pemakaman sebagai tanda bahwa orang yang mati ini sudah dikurbankan Manusia untuknya sebagai tanda peranannya dimasyarakat pada masa hidupnya. Orang yang diupacarakan dengan adanya Kurban Barata ini dinamakan To di Pa’barataan.

Saat ini masih ada tongkonan-tongkonan yang berkuasa di Tana Toraja yang menyimpan Kepala/tengkorak Manusia yaitu tengkorak manusia Kurban Barata atau kepala yang dirampas dalam perang saudara di Tana Toraja, sebagai tanda bahwa turunan dari tongkonan ini adalah turunan pemberani serta turunannya dahulu ada yang dimakamkan dengan upacara adat Barata dan Tongkonan itu merupakan Tongkonan Penguasa yang Pemberani